Sosialisasi Dari Sisi Yang Bersesuaian dan Yang Bertentangan Dengan Islam


PENDAHULUAN
Makalah ini membahas tentang bab sosialisme,sisi yang bersesuaian dan yang bertentangan dengan islam,  bagaimana proses sosialisasi terjadi, pengertian sosialisasi dan agen-agen sosialisasi[1]. Makalah ini memberi pemahaman
kepada pembaca tentang makna sosialisasi, bahwa manusia adalah mahluk sosial yang senantiasa mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dalam bentuk pergaulan hidup yang disebut masyarakat. Dalam kebersamaan dengan masyarakat tersebutlah mereka perlu melakukan sosialisasi agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sosialisasi
Proses sosialisasi dapat diartikan sebagai proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati norma-norma serta nilai-nilai masyarakat tempat ia menjadi anggota sehingga terjadi pembentukan sikap untuk berprilaku sesuai dengan tuntutan atau prilaku masyarakatnya.
Proses pembelajaran berlangsung secara bertahap, perlahan tapi pasti dan berkesinambungan. Pada awalnya proses itu berlangsung dalam lingkungan keluarga, kemudian berlanjut pada lingkungan sekitarnya, lingkungan tetangga, kampung, kota hingga lingkungan negara dan dunia[2]. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, sosialisasi berarti suatu proses belajar seseorang anggota masyarakat untuk mengenal dan mengahayati kebudayaan masyarakat di lingkungannya. Sosialisasi juga didefinisikan sebagai suatu proses yang terjadi bila seorang individu menghayati dan melaksanakan norma-norma kelompok tempat dia hidup sehingga akan merasa sebagai bagian dari kelompok tadi[3].
Peter Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child learns to be a participant member of society”, proses melalui seorang anak belajar menjadi anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat . Soerjono Sukanto juga menambahkan bahwa sosialisasi adalah suatu proses social tempat seorang individu mendapatkan pembentukan sikap untuk berprilaku yang sesuai dengan prilaku orang-orang yang ada didalam kelompoknya. Menurut pendapat Soerjono Dirdjosisworo (1985) bahwa sosialisasi mengandung pengertian yaitu proses sosialisasi adalah proses belajar, dalam proses sosialisasi itu individu mempelajarin kebiasaan, sikap, ide-ide, pola-pola, nilai, tingkah laku dan ukuran kepatuhan tingkah laku didalam masyarakat. Semua sikap dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri pribadinya. Hasan Shadily mendefinisikan sosialisasi sebagai suatu proses dimana seseorang mulai menerima dan menyesuaikan diri kepada adapt istiadat suatu golongan, dimana lambat laun dia akan merasa sebagai suatu golongan itu.
Edwar A.Ros (1969) berpendapat bahwa sosialisasi adalah pertumbuhan perasaan kita dan perasaan ini akan menimbulkan tindakan segolongan.
Berdasarkan pengertian sosialisasi yang dijabarkan diatas maka dapat dijabarkan sebagai berikut
·         Sosialisasi ditempuh seseorang individu secara bertahap dan berkesinambungan sejak dia dilahirkan hingga akhir hayat.
·         Sosialisasi ditempuh seorang individu melalui proses belajar untuk memahami, menghayati, menyesuaikan, dan melaksanakan suatu tindakan sosial yang sesuai dengan pola prilaku masyarakat
·         Sosialisasi erat sekali kaitannya dengan enkulturasi atau proses pembudayaan, yaitu proses belajar dari seorang individu untuk belajar mengenal, mengahayati dan menyesuaikan alam pikiran serta sikapnya terhadap sistem adat, norma, bahasa, seni, agam serta semua peraturan dan pendirian yang hidup dalam lingkungan kebudayaan masyarakatnya.

B. Teori Sosialisasi
1. Pemikiran Mead
Salah satu teori peran yang dikaitkan dengan sosialisasi adalah teori George Herbet Mead. Dalam teorinya yang diungkapkan dalam buku Mind, Self and Society (1972), Mead menguraikan tahap pengembangan diri manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia berkembang bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain. Menurut mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui beberapa tahap-tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized lain[4]. Menurut Mead setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peran-peran yang ada dalam masyarakat suatu prosews yang dinamakan pengambilan peran (role taking), dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peran yang harus dijalankan serta peran yang harus dijalankan orang lain. Melalui penguasaan peran yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat berinteraksi dengan orang lain.
Menurut Mead pada tahap pertama, play stage, seorang anak kecil mulai belajar mengambil peran orang yang berada disekitarnya. Ia mulai menirukan peran yang dijalankan oleh orangtuanya, misalnya, atau peran orang dewasa lain dengan siapa dia berinteraksi. Dengan demikian kita sering melihat anak kecil yang di kala bermain menirukan peran yang dijalankan ayah, ibu, kakak, nenek, polisi, dokter, tukang pos, supir dan sebagainya. Namun pada tahap ini anak belum memahami sepenuhnya isi peran-peran yang ditirunya itu. Seorang anak dapat meniru kelakuan ayah atau ibu—berangkat ke tempat kerja, misalnya—tetapi mereka tidak memahami alas an ayah atau ibu untuk bekerja dan makna kegiatan ayah atau ibu di tempat kerja. Seorang anak dapat berpura-pura menjadi seorang petani, dokter atau polisi tetapi tidak mengetahui mengapa petani menyangkul, dokter menhyuntik pasien, dan polisi menginterogasi tersangka pelaku kajahatan.
Pada tahap game stage seorang anak tidak hanya sudah mengetahui peran yang dilakukannya tetapi telah pula memahami peran yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa dia berinteraksi. Contoh yang diajukan Mead adalah keadaan dalam suatu pertandingan: seorang anak yang menjalani suatu pertandingan tidak hanya mengetahui apa yang diharapkan oleh orang lain yang ikut dalam pertandingan itu. Dikala bermain sebagai penjaga gawang dalam pertandingan sepak bola, misalnya, dia mengetahui peran-peran yang dijalankan oleh para pemain lain (baik kesebelasan kawan maupun lawan), wasit, penjaga garis, dan sebagainya. Oleh Mead dikatakan bahwa pada tahap ini seseorang telah dapat mengambil peran orang lain. Pada tahap awal sosialisasi interaksi seorang anak biasanya terbatas pada sejumlah kecil orang lain biasanya anggota keluarga terutama ayah atau ibu. Oleh Mead orang yang penting dalam proses sosialisasi ini dinamakan significant others. Pada tahap ketiga sosialisasi, seorang dianggap telah mampu mengambil peran-peran yang dijalankan orang lain dalam masyarakat mampu mengambil peran generalized others . Ia telah mampu berinteraksi dengan orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peran orang lain dengan siapa dia berinteraksi. Selaku anak dia sudah memahami peran yang dijalankan orangtua, selaku siswa ia memahami peran guru, selaku anggota gerkan pramuka dia memahami peran para pembinanya. Jika seorang telah mencapai tahap ini maka menurut Mead, orang tersebut telah mepunyai suatu diri. Dari pandangan-pandangan Mead ini nampak jelas pendiriannya bahwa diri seseorang terbentuk melalui interaksi dengan orang lain .

2. Pemikiran Cooley
Pemikiran lain juga menekankan pada peran interaksi dalam proses sosialisasi tertuang dalam buah pikiran Charles H. Cooley, Menurut Cooley, konsep diri (self concept) seseorang berkembang melalui interaksinya dengan orang lain[5]. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini menurut Cooley dinamakan looking-glass self. Nama demikian ini diberikannya karena dia melihat analogi antara pembentukan diri seseorang dengan prilaku orang yang sedang bercermin, kalau cermin memantulkan apa yang ada didepannya maka menurut Cooley diri seseorangpun memantulkan apa yang dirasakannya sebagai tanggapan masyarakatv terhadapnya[6]. Cooley berpendapat bahwa looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Pada tahap pertama seseorang mempunyai persepsi terhadap pandangan orang lain terhadap dirinya. Pada tahap berikut seseorang mempunyai persepsi mengenai penilaian orang lain terhadap penampilannya. Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu (lihat Horton dan Hunt, 1984: 94-97). Untuk memahami pendapat Cooley disini akan disajikan suatu contoh. Seseorang mahasiswa yang cenderung memperoleh nilai rendah (misalnya nilai D atau E) dalam ujian semesternya, misalnya merasa bahwa para dosen dalam jurusannya menganggapnya bodoh. Ia merasa pula bahwa karena ia dianggapnya bodoh maka ia merasa kurang dihargai para dosennya. Karena merasa kurang dihargai, mahasiswa tadi menjadi murung. Jadi di sini perasaan seseorang mengenai penilaian orang lain terhadap dirinya menentukan penilaiannya mengenai diri-sendiri seseorang merupakan pencerminan penilaian orang lain (looking-glass sel). Dalam kasus itu, pelecehan oleh dosen ini dalam benak si mahasiswa dan mempengaruhi pandangannya mengenai dirinya sendiri. Terlepas dari soal apakah dalam kenyataan para dosen memang berperasaan memang demikian terhadapnya atau tidak.
Apa yang etrjadi jika seseorang anak tidak melakukan sosialisasi? Karena kemampuan seseorang untuk mempunyai diri--untuk berperan sebagai anggota masyarakat tergantung pada sosialisasi, maka seseorang yang tidak mengalami sosialisasi tidak akan dapat berinteraksi dengan orang lain. Hal ini terungkap dari kasus anak-anak yang ditemukan dalam keadaan terlantar (feral children). Giddens (1990) mengisahkan kasus anak-anak yang tidak disosialisasi (olehnya dikatakan unsosialized children), yaitu seorang anak laki-laki berusia sekitar 11-12 tahun yang pada tahun 1900 ditemukan di desa saint-serin, Perancis (The wild boy of avyron) dan kasus gadis berusia tiga belas tahun di California, Amerika Serikat yang disekap ayahnya dalam gudang gelap sejak berusia satu setengah tahun, Light, Keller, dan Calhoun (1989) mengisahkan kasus Ana yang semenjak bayi dikurung ibunya dalam gudang selama lima tahun.[7] Dari kasus tersebut terungkap bahwa anak-anak yang ditemukan tersebut tidak berprilaku sebagai manusia. Mereka tidak dapat berpakaian, buang air besar dan kecil dengan tertib, atau berbicara. Anna tidak dapat makan sendiri atau mengunyah dan juga tidak dapat tertawa atau menangis. Genie tidak dapat berdiri tegak. Setelah berkomunikasi dengan masyarakat lambat laun anak-anak ini dapat mempelajari beberapa diantara kemampuan yang dimilki manusia sebaya mereka. Namun, mereka tidak pernah tersosialisasi secara wajar dan cenderung meninggal pada usia muda.
Kasus tersebutpun memberikan petunjuk bahwa kemampuan tertentu seperti kemampuan berbahasa hanya dapat diajarkan pada periode tertentu dalam kehidupan anak, bila proses sosialisasinya terlambat dilaksanakan maka proses tersebut tidak akan berhasil atau hanya berhasil untuk sebagian saja.

C. Agen Sosialisasi
Agen sosialisasi sangat berperan penting dalam pembentukan kepribadian seorang individu. Media sosiaisasi itu meliputi keluarga, kelompok bermain, sekolah, lingkungan kerja, dan media massa.
a. Keluarga
Kelurga merupakan media awal dari suatu proses sosialisasi. Begitu seorang bayi dilahirkan, ia sudah berhubungan dengan kedua orangtuanya, kakak-kakaknya dan mungkin dengan saudara-saudaranya. Dalam keluarga, orangtua mencurahkan perhatian perhatian untuk mendidik anak agar anak tersebut memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup yang benar dan baik melalui penanaman disiplin. Sehingga membentuk kepribadian yang baik si Anak. Oleh karena itu, orangtua sangat berperan untuk :
1.      Selalu mendekat dengan anaknya
2.      Memberikan pengawasan dan pengendalian yang wajar
3.      Mendorong agar anak dapat membedakan antara yang benar dan salah, baik dan buruk, pantas atau tidak
4.      Orang tua dapat menjadi teladan yang baik
5.      Menasehati jika melakukan kesalahan


Keseluruhan system belajar mengajar sebagai bentuk sistem pendidikan keluarga. Sistem pendidikan keluarga dilaksanakan melalui pola asuh mengasuh anak untuk menjaga, merawat, dan membesarkan anak.

b. Kelompok Bermain
Teman bermain dan peranannya belum nampak pengaruhnya. Pada masa kanak-kanak, walaupun pada masa itu seorang anak sudah mempunyai sahabat. Pada masa remaja kelompok bermain itu berkembang menjadi kelompok persahabatan yang lebih luas. Teman dan persahabatan merupakan pengelompokan sosial yang melibatkan orang-orang yang berhubungan relatif akrab satu sama lain. Karena sering bertemu, seta adanya kesamaan minat atau perhatian dan ekpentinga bukan atas dasar hubungan darah atau ketetanggaan dan bukan pula atas dasar percintaan. Peranan positif kelompok persahabatan bagi perkembangan kepribadian anak antara lain :
Rasa aman dan dianggap penting dalam kelompok akan sangat berguna bagi perkembangan jiwa.
1.      Perkembangan kemandirian remaja tumbuh dengan baik
2.      Ada tempat penyaluran rasa kecewa, takut, gembira, dan lain-lain
3.      Dapat mengembangkan ketrampilan
4.      Mendorong agar remaja lebih bersifat dewasa.

c. Sekolah
Dalam masyarakat primitive, keluarga bertanggungjawab terhadap sosialisasi para anggota keluarga yang masih muda, sedangkan didalam masyarakat yang sudah maju, peranan ini sudah diserahkan kepada organisasi sekolah. Sekolah adalah lembaga penting yang bertanggungjawab menyampaikan ilmu pengetahuan dan tertib kehidupan terhadap anak-anak mereka yang berumur 5 atau 6 tahun. Sebagai lembaga sosialisasi, sekolah terorganisir rapi lengkap dengan seperangkat aturan yang harus dipatuhi oleh setiap orang
Menurut Robert Dreeben, bahwa yang dipelajari anak di sekolah disamping membaca, menulis, dan berhitung adalah aturan tentang kemandirian (independence), prestasi (achievement), universalisme(universalism), dan specificity (spesifitas). Dari pandangan Dreeben, kita dapat melihat bahwa sekolah merupakan suatu jenjang peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah memperkenalkan aturan baru tersebut berbeda dan bahkan dapat bertentangan dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi berlangsung anak di rumah

d. Lingkungan Kerja
Pengaruh lingkungan kerja pada umumnya mengendap dalam diri seorang dan sukar untuk diubah, apalagi jika orang yang bersangkutan lama bekerja di lingkungan tersebut. Apabila seeorang lama bekerja dilingkungan kerja tertentu kemudian pindah kelingkungan kerja lain, maka dia akan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lingkungan kerja tertentu seringkali menimbulkan konflik batin yakni mana yang harus diutamakan antara nilai kedinasan dengan nilai karier yang tidak selalu identik. Karier yang mencuat tidak akan ada manfaatnya kalau keadaan keluarga tidak baik. Oleh karena itu sebenarnya bila seseorang ingin memasuki dunia kerja atau meneliti karier, ia harus lebih banyak berpikir mengenai akibatnya terutama pengaruh bagi keluarga khususnya pendidikan anak-anak kelak.

e. Media Massa
Media massa yang terdiri atas media cetak maupun elektronik merupakan alat komunikasi yang dapat menjangkau masyarakat secara luas. Media massa diidentifikasikan sebagai media sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap prilaku khalayaknya. Pesan yang ditayangkan melalui media elektronik dapat mengarahkan khalayak kearah prilaku prososial dan anti sosial, juga dapat berpengaruh negatif terhadap gaya hidup konsumtif, hura-hura, dan cara berpakaian. Namun media ini juga mempunyai pengaruh positif seperti merangsang interaksi, merangsang eksperimen, dan pertumbuhan mental serta sosial anak disamping memperluas cakrawala pengetahuan mereka.[8]

D. Pola Sosialisasi
Dalam lingkungan social kita mengenal dua macam pola sosialisasi, yaitu dengan cara represif (repressive socialization) yang mengutamakan adanya ketaatan anak kepada orang tua dan cara partisipasi (participatory socialization) yang mengutamakan adanya partisipasi dari anak .
a. Sosoalisasi represif (repressive socialization)
·         Menghukum prilaku yang keliru
·         Hukuman dan imbalan material
·         Kepatuhan anak
·         Komunikasi sebagai perintah
·         Komunikasi non verbal
·         Sosialisasi berpusat pada orangtua
·         Anak memperhatikan keinginan orang tua
·         Keluarga merupakan significant order (dominasi orang tua).
b. Sosoalisasi Partisipasi (participatory socialization)
  • Memberikan imbalan bagi prilaku baik
  • Hukuman dan imbalan simbiolis
  • Otonomi anak
  • Komunikasi secara interaksi
  • Komunikasi verbal
  • Sosialisasi berpusat pada anak
  • Orang tua memberi perhatian pada anak
  • Keluarga merupakan generalized order ( kerjasama kearah tujuan).
KESIMPULAN
Proses sosialisasi dapat diartikan sebagai proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan menghayati norma-norma serta nilai-nilai masyarakat tempat ia menjadi anggota sehingga terjadi pembentukan sikap untuk berprilaku sesuai dengan tuntutan atau prilaku masyarakatnya.
Proses pembelajaran berlangsung secara bertahap, perlahan tapi pasti dan berkesinambungan. Pada awalnya proses itu berlangsung dalam lingkungan keluarga, kemudian berlanjut pada lingkungan sekitarnya, lingkungan tetangga, kampung, kota hingga lingkungan negara dan dunia.
Dalam masyarakat primitive, keluarga bertanggungjawab terhadap sosialisasi para anggota keluarga yang masih muda, sedangkan didalam masyarakat yang sudah maju, peranan ini sudah diserahkan kepada organisasi sekolah.

DAFTAR PUSTAKA
  1. Kumanto, Sunarto.2004, Pengantar sosiologi, Jakarta: Fak.Ekonomi UI
    Taufik Rohman Dhohiri, dkk.2005, Sosiologi, Bogor: Yudistira
    Cotton,Bruce J.1992, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta : Rineka Cipta
  1. www. Wikipedia.org/search?sosialisme/

[1] Sosialisasi adalah proses belajar seorang anggota  masyarakat untuk mengenal dan menghayati norma-norma serta nilai-nilai masyarakat.

[3] Diambil pengertian dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) untuk pengertian sosialisasi.
[4] Play stage sebuah permainan seorang anak kecil yang mulai belajar di bangku sekolah.

[5] Cooley adalah ilmuan yang pakar tentang perilaku anak belajar dari rusia.

[7] Kasus ana termasuk kasus yang menyedihkan karena dari kecil sudah dikurung sama kedua orang tuanya sehingga ana tidak pernah tahu tentang pendidikan.
[8] Diambil dan dikutip dari internet, site www.wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar