QIYAS

Qiyas sebagai suatu prinsip hukum memainkan peran yang sangat penting dalam kajian hukum Islam. Namun, disamping peran qiyas yang amat vital tersebut, qiyas selalu saja menjadi pembahasan yang menarik karena beberapa persoalan. Diantaranya perdebatan seputar perintis, penggagah, atau the founding father dari prinsip hukum ini. Kemudian adanya golongan ulama yang anti –qiyas dan pro-qiyas. Juga adanya silang pendapat tentang apakah qiyas (sebagaimana juga Ijma`) masuk ke dalam kategori “adillat al-ahkam al muttafaqah `alaih” bersama Al-qur`an dan Hadist, ataukah masuk dalam kategori “Adillat al-ahkam al-mukhtalafah fih”.

Abdur Rahman mengatakan mengatakan : “Al-qiyas is the legal principle introduced in order to derive at a logical conclusion of a certain law on a certain issue that has to do with the welfare of the Muslims, in exercising this, however, it must be based on Qur`an, Sunnah and Ijma`. This legal principle was introduced by Imam Abu Hanifah, the founder of Hanafi school, in Iraq.2

Maksudnya, qiyas adalah suatu prinsip hukum yang diperkenalkan pertama kali oleh Imam Abu Hanifah di Iraq dalam rangka untuk mendapatkan ketetapan hukum yang logis dari persoalan-persoalan tertentu demi kemaslahatan umat Islam, dimana prinsip hukum tersebut harus tetap berdasarkan Al-Qur`an, Hadist, dan ijma`. Namun, ada sebuah ungkapan yang menarik dari R.Stephen Humphreys yang berkaitan dengan qiyas. Ia mengatakan: “The Syafi`is, in line with the rigorous temperament of their founder, seem primarily concerned to evolve a fully rationalized of a anlogical reasoning to Qur`an and Sunnah”.3

Maksudnya adalah bahwa mazhab Syafi`I muncul dengan karakteristiknya yang rasional dan memakai serta mengaplikasikan analogi yang di dasarkan pada teks Al-Qur`an dan Hadist. Dalam makalah ini, penyusun akan mencoba mendeskripsikan hal-hal yang principil seputar pembahasan qiyas, mulai dari pengertiannya, rukun dan syaratnya, macam-macamnya dan kaitannya dengan `illat, serta kehujjahan qiyas itu sendiri sebagai salah satu dasar pembinaan hukum dalam Islam. 

B. Pengertian Qiyas

Kata Qiyas merupakan derivasi (bentukan) dari kata Arab “qasa” artinya mengukur.4 Secara singkat dalam pengertian etimologis, qiyas berarti mengukur sesuatu dengan benda lain yang dapat menyamainya. Misalnya, Fulan tidak diqiyaskan dengan si Fulan lain tidak disamakan.5 Dan secara terminologis, qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nassnya, baik dalam al-Qur’an maupun hadis, dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan nass.6

Menurut istilah usuliyyun (ulama usul fiqh), qiyas adalah menghubungkan kejadian yang belum ada nass hukumnya dengan kejadian yang ada nass hukumnya dan keduanya sama di dalam hukum syara’ karena adanya persamaan ‘illat’.7

Imam Al-Syafi’I yang dipandang seorang yang pertama menyusun metode qiyas, tidak menggambarkan secara sistematis tentang defenisi qiyas. Namun, dari beberapa statementnya yang menyangkut qiyas, dapat disimpulkan bahwa qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang tidak disebutkan atau disinggung oleh nass (Al-Qur’an dan Hadist) kepada sesuatu yang disebutkan dan telah ditetapkan hukumnya, karena serupa makna hukum yang disebutkan.11

Artinya qiyas adalah suatu metode penetapan hukum dengan cara menyamakan sesuatu kejadian yang tidak tertulis hukumnya secara tekstual dengan kejadian yang telah ditetapkan hukunya secara tekstual. Hal ini dimungkinkan dengan pertimbangan adanya kesamaan’illat dalam hukumnya. Dengan demikian ketetapan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nassnya dapat dikategorikan sebagai qiyas.

Unsur-Unsur Qiyas

Dari defenisi qiyas dapat diketahui, bahwa unsur qiyas itu ada empat12, yaitu:

1. Al-asl13, yaitu sumber hukum yang terdiri dari nass yang menjelaskan tentang hukum. Sebagian besar ulama menyebutkan bahwa sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas harus berupa nass, baik nass al-Qur’an, hadist, maupun ijma’ dan tidak boleh meng-qiyas-kan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.14

2. Al-Far’u15, yatitu sesuatu yang tidak ada ketentuan nassnya, artinya, kasus yang ada tidak diketahui hukumnya secara pasti. Al-Syafi’I dalam hal ini mengatakan bahwa far’u itu adalah suatu kasus yang tidak disebutkan hukumnya secara tegas dan di-qiyas-kan kepada hukum aslnya.16

3. Al-Hukm atau Hukm Al-asl17 yatitu hukum yang dipergunakan qiyas untuk memperluas hukum dari asl ke far’u. menurut al-Syafi’I, hukum di sini adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, baik secara tegas, maupun ma’nawi.18 Ini berarti, hukumnya harus berdasarkan al-Qura’an dan Hadist, harus dapat dicerna akal tentang tujuannya, dan hukum yang ditetapkan bukan masalah rukhshah dan khusus.

4. ‘Illat,19yaitu alasan yang serupa antara asl dan far’u.20 Sesungguhnya ‘illat berbeda dengan hikmah. ‘illat syar’iyah merupakan sifat yang sesuai, jelas, dan pasti yang dijadikan sebagai dasar pembinaan hukum, sedangkan hikmah adalah tujuan yang dimaksudkan syara’ untuk menarik maslahah dan menolak mafsadah, dan itu sifatnya tidak pasti.21 Juga hukum itu ada atau tidak adalah berdasarkan ‘illat, meskipun hikmahnya berbeda-beda.22


D. Macam-Macam Qiyas

Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut:

1. Dilihat dari segi kekuatan ‘illat’ yang terdapat pad far’u dibandingkan dengan yang terdapat pada asl. Qiyas dari segi ini dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:

a. Qiyas Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u lebih kuat daripada hukum asl, karena ‘illat yang terdapat pada far’u lebih kuat daripada yang ada pada asl, misalnya meng-qiyas-kan memukul pada ucapan “ ah” terhadap orang tua dengan ‘illat menyakiti. Keharaman pada perbuatan “memukul” lebih kuat daripada keharaman pada ucapan “ah”, karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dibandingkan dengan ucapan “uff”.

b. Qiyas Musawiy, yaitu hukum pada far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada asl, karena kekuatan ‘illatnya juga sama. Misalnya Allah berfirman:
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, berarti meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak patut adalah benar, karena kekuatan ‘illat juga sama, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.
c. Qiyas Adna, yaitu ‘illat pada far’u lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada asl. Misalnya meng-qiyas-kan buah apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhi, karena keduanya mengandung ‘illat yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan. Memberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum, karena ‘illatnya lebih kuat.23

2. Dilihat dari kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum, qiyas dapat dibagi kepada dua macam yaitu:

a. Qiyas Jaliy, yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan oleh nass bersamaan dengan hukum asl atau nass tidak menetapkan ‘illatnya, tetapi dipastikan tidak ada pengaruh perbedaan antara asl dengan far’u. pada usuliyyun menyatakan bahwa qiyas jaliy mencakup qiyas aulawy dan qiyas musawy.

b. Qiyas Khalif, yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nass. Contohnya meng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam memberlakukan hukum qiyas, karena ‘illatnya sama-sama pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan. Qiyas ini termasuk kepada qiyas adna dalam pembagian di atas.

3. Dilihat dari segi keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas terbagi kepada dua bentuk, yaitu:

a. Qiyas Mu’assir, yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara asl dengan far’u ditetapkan melalui nass sarih atau ijma atau qiyas yang ‘ain (sifat itu sendiri) yang menghubungkan asl dengan far’u berpengaruh pada hukum itu sendiri.

b. Qiyas Mula’im, yaitu qiyas yang ‘illat hukm asl-nya mempunyai hubungan yang serasi.

4. Dilihat dari segi kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:

a. Qiyas al-Ma’na, atau qiyas pada makna aslyaitu qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan ‘illatnya, tetapi antara asl dengan far’u tidak dapat dibedakan, sehingga far’u seakan-akan asl.

b. Qiyas al’Illat, yaitu qiyas yang dijelaskan ‘illatnya dan ‘illat itu sendiri merupakan dorongan bagi hukm al-asl.26

c. Qiyas al-Dilalah, yaitu qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, tetapi ‘illat itu merupakan keharusan yang memberi petunjuk adanya ‘illat.


5. Dilihat dari segi metode dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi kepada empat macam, yaitu:


a. Qiyas al-Ikhalah, yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui munasabah dan ikhalah.28
b. Qiyas al-Syabah yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui metde syabah.29
c.Qiyas al-Sabr yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui al-sabr wa al-taqsim.30
d. Qiyas al-Thard yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui metode thard.31

Otoritas Qiyas

Pada bagian ini, pembicaraan difokuskan pada kehujjahan atau otoritas qiyas sebagai dalil hukum. Pertanyaan yang segera akan muncul adalah bagaimana kedudukan qiyas sebagai dalil hukum? Pertanyaan ini memang menimbulkan perdebatan dikalangan uluwiyyun. Di satu pihak sebagian ulama mengatakan, bahwa qiyas adalah dalil dan bahkan sumber hukum yang wajib diikuti. Namun, di pihak lain, sebagian ulama usul memandang qiyas bukan dalil dan sumber hukum. Sementara itu, pandangan lainnya menyebutkan bahwa qiyas bukan dalil dan sumber hukum, tetapi ia hanyalah sebuah metode (manhaj) saja dalam menggali hukum dari sumbernya.32

Sama seperti ijma’, tapi tidak sama dengan al-Qur’an dan Sunnah, qiyas tidak dipahami sebagai sebuah sumber hukum yang diwahyukan, sebagai sebuah derivasi dari sumber-sumber utama, qiyas meminta pembenarannya di dasarkan atas ke dua sumber di atas. Persoalan mendasar yang muncul dalam hal ini berkaitan dengan sumber-sumber otoritas di balik qiyas, juga status epistemologi dari metode penyimpulan ini. Pertanyaan apakah metode ini bisa dibenarkan atau tidak boleh akal dan argumen rasional, bebas dari pewahyuan, benar-benar kehilangan signifikansinya. Sebagai konsekuensinya, qiyas harus dibenarkan oleh sumber-sumber yang diwahyukan (al-Qur’an dan Sunnah) dan produk langsungnya, yakni konsensus (ijma’), yang keotoritasannya (hujjiyatuh), seperti yang terlihat, terkena argumen yang sama.33

Sementara sebagian kecil fuqaha mengemukakan pandangfan mereka, bahwa otoritas qiyas tidak dapat dibenarkan dengan kepastian, sebagian besar fuqaha Sunni berpendapat bahwa bukti dalam dua sumber utama (al-Qur’an dan Sunnah), ditambah dengan konsesnsus (ijma’), membuktikan bahwa metode ini otoritatif yang mempunyai nilai pasti. Bahkan sebagian dari mereka yang berada di pinggiran, di luar kalangan Sunni, dan yang menolak qiyas secara prinsipil, mengakui qiyas yang jelas (al-qiyas al-jaliy) dan penyimpulan linguistik (misalnya, mengucapkan “uh” di hadapan orang tua) mewakili dua bentuk qiyas yang otoritatif dan valid.34

Romli SA mencatat, dari sejumlah literatur, ditemukan bahwa paling tidak terdapat tiga kelompok ulama yang berbeda pendapat tentang keberadaan qiyas dan kehujjahan sebagai dalil hukum.

Kelompok Pertama, mengatakan bahwa qiyas adalah dalil dan sumber hukum. Kelompok pertama ini menyatakan bahwa para fuqaha telah sepakat tentang posisi qiyas sebagai salah satu pokok atau dasar tasyri’ dan dalil hukum syariah. Pandangan kelompok pertama ini melahirkan sikap dan dianut oleh mayoritas ulama bahwa qiyas adalah dalil hukum dan karenanya, ia menjadi hujjah syar’iyyah. Kelompok pertama ini dengan sebutan musbit al-qiyas, yaitu kelompok pendukung qiyas (pro-qiyas).36 Adapun alasan kelompok ini, bahwa qiyas adalah dalil dan sumber hukum di antaranya adalah Alquran:37

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!Taatlah kamu kepada Allah, taatlah kamu pada Rasul, serta ulul amri (pemimpin) di antara kamu, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Hadist) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”

a. Menurut jumhur fuqaha, kata-kata “fa ruddu“ mengandung arti mengembalikan semua peristiwa yang muncul kepada al-Qur’an dan hadis meliputi berbagai cara, termasuk dengan menghubungkan suatu peristiwa yang tidak ada nass, hukumnya, karena ada kesamaan ‘illat. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya al-Qur’an maupun hadis telah menjawab segala persoalan yang muncul, baik secara tekstual maupun isyarat. Dengan kata lain, pengembalian kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (hadis) itu mencakup seluruh persoalan, baik yang mengandung isyarat untuk mengembalikan kepada qaidah syar’iyah yang umum, maupun yang tidak and nassnya dengan cara menetapkan hukum yang sama atas dasar kesamaan ‘illat. Menetapkan hukum berdasarkan kesamaan ‘illat tidak hanya berdasarkan akal semata, melainkan ada sandarannya, yakni nass. Dan qiyas pun didasarkan pada ‘illat ini. Oleh karena itu, keberadaan qiyas memiliki otoritas dalam menetapkan hukum tidak bisa diingkari.

b. Berpijak pada hadis nabi yang memuatkan dialog antara Nabi dengan Muaz bin Jabal.40

Atas dasar hadis ini, menurut kalangan jumhur ulama bahwa Rasulullah telah menunjukkan cara untuk mengetahui dan menetapkan bahwa syara’ dan di dalamnya mencakup ijtihad dengan ra’yu. Jika tidak ditemukan dalil nass al-Qur’an dan Sunnah haruslah menggunakan ijtihad, dan qiyas jelas merupakan bagian dari ijtihad dengan ra’yu. Dengan demikian, qiyas menjadi hujjah syar’iyah.

c. Berdasarkan praktek sahabat. Kelompok pertama dari kalangan jumhur ulama ini berpendapat, bahwa sahabat telah sepakat menggunakan qiyas sebagai hujjah. Pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah adalah berdasarkan hasil qiyas yang didasarkan pada pertimbangan, bahwa Abu Bakar selalu menjadi imam dalam salat ketika nabi tidak ada.42

d. Kelompok ini juga beralasan bahwa nass al-Qur’an dan hadis terbatas, sementara persoalan-persoalan baru yang tidak ada nassnya akan terus bermunculan setiap waktu, unutk menjawab persoalan tersebut, tidak ada jalan lain kecuali dengan meneliti ‘illat hukum yang ada dalam nass dan atas dasar ‘illat itulah diterapkan hukum bagi persoalan baru tersebut. Dengan terbatasnya nass, sementara persoalan baru terus bermunculan, maka ijtihad dengan menggunakan qiyas adalah wajib.

Kelompok Kedua, yaitu kelompok yang menolak keberadaan qiyas sebagai dalil dan hujjah syar’iyah. Kelompok ini dikenal dengan sebutan nufat al-qiyas. Kelompok ini terdiri dari al-Nazzam44 dan pengikutnya dari kalangan Mu’tazilah, Daud Zahiri, Ibn Hazm dan sebagian kaum Syi’ah.45, seperti Syi’ah Imamiyah.

Dalil yang digunakan oleh kelompok yang tidak menggunakan qiyas adalah:

a. Firman Allah:

Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti dan qiyas tergolong ke dalam sesuatu yang tidak pasti. Sya’ban Muhammad Isma’il sendiri mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa tidak sah hukum yang berdasarkan dugaan semata, dan qiyas adalah salah satu hasil dugaan (zanny).

d. Alasan selanjutnya adalah mereka berpegang kepada para sahabat, seperti Abu Bakar dan Ibnu Mas’ud mengingkari qiyas, serta mengingatkan agar berhati-hati terhadap ra’yu. Umar Bin Khattab juga mengingatkan dengan pernyataannya: “hendaklah kalian berhati-hati terhadap ahl al-ra’yi yang menentang sunnah Nabi.”

Kelompok Ketiga, yakni kelompok yang berlawanan dengan dua kelompok di atas (musbit al-qiyas dan nufat al-qiyas). Kelompok ketiga ini kelihatannya ingin mendudukkan keberadaan qiyas pada posisinya dalam hukum Islam. Al-Ghazali misalnya, sebagaimana dikutip oleh Romli SA, mengatakan bahwa qiyas adalah sebuah cara dalam menghasilakan hukum dari penalaran nass, melalui analogi.54

F.Penutup

Dari berbagai deskripsi dan paparan di atas, penyususn menyimpulkan bahwa qiyas secara sederhana adalah “seni mengambil kesimpulan secara logis dengan analogi deduktif.” Generasi yang muncul kemudia, menurut orang yang berpendapat bahwa otoritas qiyas adalah pasti, telah mencapai kesepakatan, bukan saja atas keabsahan qiyas, tapi juga atas kenyataan bahwa para mufti dan faqih disepanjang abad dan di seluruh wilayah Muslim telah menggunakannya, tanpa ada suara yang menolak di kalangan mereka. Ini menjadi satu kesimpulan, bahwa akibat kumulatif dari konsensus berbagai generasi membuktikan bahwa otoritas qiyas bersifat pasti.

Daftar Pustaka dan Footnote
DAFTAR PUSTAKA





Amidi, Muhammad al-, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam,juz III. Beirut, Dar al-Fikr, 1996.



Dawud, Abu. Sunan Abi Dawud,Jilid III, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.th.



Doi, Abdur Rahman I. shari`ah: the Islamic law, Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1992.



Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theory, terj. E. KusnadiNingrat dan Abdul Harist bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2000.



Hasaballah, Ali. Usul al-Tasyri’ al-Islamiy. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1959.



Himawan, Anang Haris (Ed). Epistemologi Syara’; Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000.



Humphreys, R.Stephen. “Islamic law and Islamic Society “dalam, Idem, Islamic History: A Framework for inquiry, New Jersey: Princeton University, 1991.



Isma’il, Sya`ban Muhammad. Dirasah Hawla al-Ijma wa al-Qiyas, Mesir: Maktabah an-Nahdah, 1988.



Khalaf, Abd al-Wahhab. Masadir al-Tasyri, Kuwait: Dar al-Qalam, 1987.



Ma`luf , Louis. al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam, Beirut: Dar al-Masriq, 1986.



SA, Romli. Muqaramah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gya Media Pratama, 1999.



Syafi’I, Muhammad Idris. al-Risalah, Mesir: Dar al-Saqafah, 1973.



Syirazi, Abu Ishaq. al-Luma’ fi Usul al-Fiqh, Surabaya: Maktabah Muhammad Bin Ahmad Nabban wa Auladuh, t.th.



Zahrah, Muhammad Abu. Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa Fiqhuhu, Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th.





. Usul al-Fiqh, Mesir, Dar al-Fikr, 1958



Zaidan, Abdul Karim. al-Wajiz al-Fiqh, Bagdad: Dar al-Fikr, 1993.



Zuhailiy, Wahbah. usul al-Fiqh al-Isklami, Jilid II, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986.








1 Didalam wacana hukum Islam, kata “Qiyas” sering kali digunakan dengan istilah-istilah yang lain, seperti analogi, deduksi analogis, ataupun dalam terma asing; analogy atau analogycal deduction. Bentuk argumen penting yang dikelompokkan dibawah Qiyas tentu analogy, yang merupakan sebagai pola dasar dari semua argumen hukum. Sebenarnya argumen analogi yang dipakai dalam hukum, dalam pikiran sebagian teolog dan faqih, menjadi pola dasar dari semua argumen logis. Diantara semua topik usul al-Fiqh, analogi memberikan penjelasan yang paling luas. Dalam sebuah kitab khusus tentang masalah ini, analogi sendiri rata-rata menempati sepertiga, kalau tidak lebih, dari keseluruhan pembahasan. Persoalan-persoalan utama yang didiskusikan berhubungan dengan unsur pokok argumen analogis, persayaratan-persyaratan yang harus dipenuhi secara individual, dan prinsip-prinsip yang mengatur hubungan diantaranya. Dalam analogi, diasumsikan bahwa sebuah kasusu baru adalah kasus yang tidak dibicarakan oleh teks secara langsung, dan bahwa manusia perlu untuk mengubah aturan yang eksplisit di dalam teks kepada kasus baru itu. Karena itu, agar sebuah kasus baru menjadi sebuah far`u (secara literal berarti “cabang”). Kasus itu harus mempunyai kesamaan dengan kasus asli atau asl (secara literal berarti “ sumber” atau “batang”) tertentu. Secara luas tentang ini baca Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theory, terj. E. KusnadiNingrat dan Abdul Harist bin Wahid, Sejarah Teori Hukum Islam (Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 2000), Hal. 122-123

2 Abdur Rahman I. Doi shari`ah: the Islamic law (Kuala Lumpur: A.S. Noordeen, 1992), Hal. 70.

3 R.Stephen Humphreys, “Islamic law and Islamic Society “dalam, Idem, Islamic History: A Framework for inquiry (New Jersey: Princeton University, 1991), Hal. 211.

4 Louis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A`lam (Beirut: Dar al-Masriq, 1986), Hal. 665. secara luas Sya`ban Muhammad Ismail mendeskripsikan pengertian Qiyas secara bahasa. Menurut beliau, kata Qiyas merupakan derivasi (bentuk) dari qasa, yaqisa, qaisan, wa qiasan. Atau mungkin juga menurut sebagaian pendapat berasal dari kata qasa, yaqusu, qausan, wa qiasan. Qiyas secara bahasa memiliki dua pengertian . pertama, at-taqdir (mengukur) . misalnya, qasa al saub bi al mitr atau qasa al ard bi al-qasabah. Kata at taqdir juga bisa di pahami dalam pengertian al-muqaranah (analogi atau membandingkan)antara dua hal. Misalnya, qoyastu baina al-`amudain. Kedua, al-musawat baina syaiain (mencari persamaan antara dua hal), baik persamaan itu dilakukan secara hissiyah (inderawi atau empiris), maupun ma`nawiyah (guessing atau non-empiris). Lebih lanjut lihat Sya`ban Muhammad Isma’il, Dirasah Hawla al-Ijma wa al-Qiyas (Mesir: Maktabah an-Nahdah, 1988), hal.153.

5 Sya`ban Muhammad Isma’il, Ibid.

6 Abd al-Wahhab Khalaf, Masadir al-Tasyri (Kuwait: Dar al-Qalam, 1987), Hal. 22

7 Ali Hasaballah, Usul al-Tasyri’ al-Islamiy (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1959), Hal. 91

11 Muhammad Abu Zahrah, Al-Syafi’I: Hayatuhu wa Asyaruhu wa Fiqhuhu (Mesir: Dar al-Fikr al-‘Arabi, tt), Hal. 296

12 Pada dasarnya semua usuliyyun sepakat tentang unsur qiyas yang empat ini. Perbedaannya paling tidak hanya seputar peristilahan. Umpamanya Wael B. Hallaq yang menyebut far’u sebagai “kasus baru” yang membutuhkan solusi hukum , asl sebagai “kasus asli” yang ada dalam sumber-sumber utama Al-Qur’an, Hadist dan konsensus (Ijma’), ‘illat sebagai “alasan, ratio legis”, yaitu sifat umum yang ada pada kasus baru dan kasus asli, dan hukum al-asl sebagai “ norma hukum” yang dinisbatkan kepada kasus baru dan, karena kesamaannya antara dua kasus yang ditransfer dari kasus lama ke kasusu baru. Lihat kembali Wael B.Hallaq, A History of Islamic Legal Theory, Hal. 123

13 Al-Asl memiliki beberapa syarat, yakni:(1) hukum asl ditetapkan berdasarkan syara’, (2) hukm asl itu adalah hukumyang telah tetap dan tidak dinass-kan, (3) asl itu bukan far’u dari asl lainnya, (4) dalil yang menetapkan ‘illat pada asl itu adalah dalil khusus, tidak bersifat umum, (5) asl tidak berubah setelah dilakukan qiyas, (6) hukum asl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah qiyas. Silakan baca al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, III: 136-137.

14 Sya`ban Muhammad Isma’il, Dirasah Hawla al-Ijma, Hal. 205. lihat juga, Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Hal. 228. Al-Syafi’I memberi istilah asl dengan sanad (landasan). Menurutnya, syarat asl harus berupa khabar, yakni al-Qur’an dan hadist, dan tidak boleh menggunakan Ijma’ dan qiyas sebagai hukum asl, sebab esensi qiyas adalah dengan mengembalikan kepada al-Qur’an dan hadis. Lihat dalam Al-Syafi’I, al-Risalah (Mesir: Dar al-Saqafah, 1973) hal. 25

15 Al-Far’u juga memiliki beberapa syarat, yakni: (1) ‘illat yang ada pada far’u harus sama dengan ‘illat yang ada pada asl, baik pada zatnya, maupun jenisnya, (2) far’u(sebagai maqis) tidak mendahului asl ( sebagai maqis ‘alaih), (3) tidak ada nass atau ijma’ yang menjeaskan hukum far’u tersebut, yaitu menjelaskan bahwa hukum far’u bertentangan dengan qiyas. Qiyas yang bertentangan dengan nass atau Ijma’ disebut QIYAS fasid, (4) fasid tersebut belum belum ada hukumnya dalam nass tertentu, baik hukumnya sesuai dengan hukum yang ditetapkan ataupun bertentangan. Lihat Wahbah al-Zuhailiy, usul al-Fiqh al-Isklami (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), II: 643-645. lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh,, hal 235 dan al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, III: 179-181.

16 Al-Syafi’I, Ibid , hal. 43. Syafi’I menyebutkan bahwa ada dua persyaratan dalam masalah far’u ini, yaitu: kasus far’u tidak ada nass hukumnya, baik dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Disamping itu, illat hukum dalm kasus itu harus jelas sama dengan illat hukum asl. Baca,Ibid, hal. 262.

17 Hukm al-Asl juga memiliki beberapa syarat, yaitu (1) ia tidak bersifat khusus, sehingga tidak bisa dikembangkan kepada far’u. misalnya dalam hadis:

Artinya: “kesaksian Khuzaimah sendiri sudah cukup”, (2) hukm al-asl itu tidak keluar dari ketentuan-ketentuan qiyas, maksudnya suatu hukum yang ditetapkan berbeda dengan kaidah qiyas, maka hukum lain tidak boleh di-qiyas-kan kepada hukum itu. Menurut Wahbah al-Zuhaily, keadaan ini bisa terjadi dalam dua hal, pertama, hukum yang ditetapkan tidak bisa dinalar (gair ma’qul al-ma’na) seperti kesaksian Khuzaimah di atas, kedua, hukum itu merupakan hukum pengecualian yang disyariatkan sejak semula, seperti adanya rukhshah (keringanan hukum) bagi musafir dalam men-jama’ dan meng-qasar salat. Lihat Wahbah al-Zuhaily, Ushul II : 638. (3) tidak ada nass yang menjelaskan hukum far’u yang akan ditentukan hukumnya. Apabila hukm asl mencakup hukm asl pada satu pihak dan hukm al-far’I pada pihak lain, maka dalil yang mengandung hukm al-asl juga merupakan dalil bagi hukm al-far’I itu, dimana dalam kasus seperti ini tidak dapat diperlukan qiyas. (4) hukm al-asl itu lebih dahulu disyariatkan dari far’u. dalam hal ini tidak boleh meng-qiyas-kan wudhu’ pada tayammum, sekalipun ‘illat nya sama, karena syari’at wudhu lebih dahulu turunnya daripada syari’at tayammum. Lihat kembali Wahbah al-Zuhaily, Ibid,.II: 640.

18 Al-Syafi’I, ar-Risalah, hal.223

19 Abd al-Wahhab Khalaf, sebagaimana dikutip oleh Danusiri, telah melakukan pengembangan pemikiran masalah ‘illat ini dengan cukup baik. Ia membagi ‘illat atas empat macam:Pertama, ‘illat munasib mu’assir, yakni adanya kesesuaian antara hukum dan sifat hukum , seperti ketatapan haram mencampuri istri yang sedang haid. Ketentuan haram tersebut telah sesuai dengan sifatnya, yakni kotor dan sifat itu telah dijelaskan sendiri dalam nass. Inilah yang menurut peristilahan al-Syatibi disebut sebagai ‘illat ma’lumat. Kedua, ‘illat munasib mula’im, yakni adanya sebab persesuaian menurut satu cara tertentu. Praktisnya adalah persesuaian itu tidak dijelaskan dalam nass (teks) sebagai ‘illat hukum, seperti kekuasaan bagi seorang ayah untuk mengawinkan anaknya yang masih kecil atau dibawah usia perkawinan. Ketentuan penguasaan si ayah tersebut tidak dijelaskan ‘illatnya. Secara devinitif si ayah mempunyai kekuasaan atas perkawinan anaknya. Dalam kasus ini, ayah angkat atau wali mempunyai kekuasaan atas anak kecil atau yatim dalam pengurusan harta. Keadaan “kecil” itu telah dijelaskan dalam teks dan berlaku sebagai ‘illat hukumnya. Keadaan “kecil” itulah kemudian dijadikan ‘illat bagi wali (ayah angkat) dalam kasus perkawinan anak tersebut.Ketiga, ‘illat munasib mursal, yakni menetapkan persesuaian hukum atas ‘illat itu tidak disebutkan sama sekali dalam nass, melainkan berdasarkan ketajaman intelektual si mujtahid. Titik tolaknya adalah kemaslahatan umum. Jadi ‘illat ini amat liberal. Hanya saja perlu dipahami bahwa penetapan ‘illat dalam masalah ini tidak dilarang atau diperintah oleh syara’ atau tidak ditetapkan dalam teks. Contohnya adalah dalam ketentuan hukum diperbolehkannya membukukan Al-Qur’an dalam satu mushaf (manuskrip). wujud kemaslahatan yang tampak dalam pembukuan teks-teks Al-Qur’an adalah naskah-naskah wahyu tidak berserakan dimana-mana, lebih ringkas dari yang semula, dan lebih mudah pemeliharaannya. Keempat, ‘illat munasib mulga’, yakni suati ‘illat yang sama sekali tidak disebutkan dalam nass (teks), tetapi diduga ada kemaslahatannya manakala ‘illat I itu ditetapkan,. Contohnya adalah pembagian warisan yang sama atas anak laki-laki dan perempuan. Kesamaan bagian tersebut diduga menimbulkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak, tidak saling iri, merasa diperlakukan secara adil dan sama-sama puas. Akan tetapi, penetapan kesamaan pembagian warisan yang demikian tidak ditetapkan sama sekali dalam nass. Nass justru secara jelas menyatakan bahwa bagian laki-laki dalah dua kali lipat dari anak perempuan. Kenyataannya, di Jawa misalnya, pembagian yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam soal kewarisan tidak jadi masalah. Dengan kata lain, persoalan ini telah mentradisi. Lebih lanjut silakan baca Danusiri “Epistemologi Syara’”, dalam Anang Haris Himawan (Ed), Epistemologi Syara’; Mencari Format Baru Fiqh Indonesia (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hal. 59-60. bandingkan dengan Muhammad Abu Zahrah, usul al-fiqh, Op.Cit, hal.241-243. ia menjelaskan pembagian ‘illat hanya ada tiga, karena diaa memasukkan munasib mulga ke dalam munasib mursal,. Artinya , menurut beliau keduanya memiliki makna yang sama.

20’Illat sebagai unsur tenpenting dalam menetukan adanya qiyas memiliki beberapa syarat, yakni: ‘illat itu harus mempunyai hikmah yang mendorong untuk pelaksanaan hukum, (20 ‘illat itu merupakan sifat yang jelas, (3( ‘illat itu merupakan sifat yang sesuai dengan hukum, (4) ‘illat itu harus dalam bentuk sifat yang terukur, keadaannya jelas, dan terbatas, sehingga tidak tercampur dengan yang lainnya, (5) ‘illat tiu harus mempunyai daya rentang, artinya ‘illat itu di samping ditemukan pada tempat bertemunya hukum (asl) juga dapat ditemukan ditempat lainnya. Dalam hal ini secara luas baca, Wahbah al-Zuhaily, Ushul II: 237-243. Ali Hasaballah sendiri menambahkan syarat ‘illat, yakni sifat tersebut tidak dibatalkan oleh Syar’I atau sifat tersebut bukan merupakan sifat yang tidak bisa diderivatifkan. Contohnya adalah perserikatan anak seseorang merupakan sifat yang sesuai untuk memperoleh warisan yang sama bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Akan tetapi Allah membatalkan/mengabaikannya dengan menyatakan bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Lihat Ali Hasaballah, Usul al-Tasyri’,hal. 104

21 Ali Hasaballah, Ibid

22 Ssesuai dengan qaidah usuliyyah: “ al-hukm yaduru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman “. Lihat Ibid, hal. 105

23 Lihat Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz al-Fiqh (Bagdad: Dar al-Fikr, 1993), hal. 218-219. bandingkan dengan Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, .hal. 247-249.

26 Al-Syirazimengatakan bahwa qiyas al-‘illat adalah mengembalikan far’u pada asl dengan ketentuan yang jelas ada keterkaitan hukum di dalamnya menurut syara’. Keterkaitan hukum itu bisa saja berbentuk ma’nawi yang kemudian biasa disebut hikmah (‘illat) seperti sifat atau unsur merusak yang terdapat dalamkhamr (minuman keras). Lihat Abu Ishaq al-Syirazi al- Fairuzabadi, al-Luma’ fi Usul al-Fiqh (Surabaya: Maktabah Muhammad Bin Ahmad Nabban wa Auladuh, tt), hal.53.

28 Yakni dengan cara mujtahid mencari sifat yang diketahui akal kesesuaiannya dengan hukum dan disuga keras membawa kemaslahatan. Lihat Ali Hasaballah, Op.Cit,hal. 107

29 Yaitu seorang mujtahid (muqis) mengembalikan atau menyandarkan far’u kepada asl yang paling mendekati kemiripan (yang paling mirip). Lihat Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, hal. 248.

30 Al-Sabr wa al-Taqsim adalah metode penentuan ‘illat yang ditempuh apabila diketahui ada beberapa sifat yang sesuai untuk dijadikan ‘illat hukum. Al-Taqsim adalah membatasi sifat-sifat yang sesuai dan cocok untuk dijadikan ‘illat, sedangkan Al-Sabri adalah membahas setiap sifat dan memilih mana yang paling sesuai untuk dijadikan ‘illat hukum. Hal ini menjadi lahan yang rawan perdebatan dan perselisihan pendapat dikalangan usuliyyun. Lihat kembali Ali Hasaballah, Loc.Cit.Wael B. Hallq menyebut metode ini dengan sebutan “metode klasifikasi dan eliminasi secara berturut-turut”, yaitu sebuah metode yang terdiri dari menyortir semua alasan yang dianggap kandidat, dan dengan jalan menyingkirkan secara berturut-turut, akan sampai pada sebuah alasan yang tetap, itulah ‘illat al hukm. Lihat Wael B.Hallaq, A History of Islamic, hal. 136.

31 Metode thard adalah sebuah metode di mana sebuah sifat dinyatakan menjadi alasan (‘illat) dari sebuah kasus. Disebut juga metode “sama-sama ada dan tidak ada: (thard wa ‘aks) antara alasan dan hukum. Menurut metode ini, hukum harus cocock dengan alasan. Dengan kata lain, hukum harus ada ketika ada alasan, dan hukum harus tidak ada ketika tidak ada alasan. Metode ini kemudian lebih terkenal dengan nama dawran (metode kecocokan). Baca kembali Wael B. Hallq, Ibid, hal. 133-134.

32 Demikian digambarkan oleh Romli S.A,Muqaramah Mazahib fil Ushul (Jakarta: Gya Media Pratama, 1999), hal. 131-132.

33 Wael B.Hallaq, A History of Islamic, hal. 154

34 Ibid

36 Ibid

37 QS.Al-Nisa (4): 59

40 Arti hadis ini adalah: “ Bagaimana engkau memutuskan suatu perkara jika diajukan orang kepadamu? Muaz menjawab, aku akan putuskan dengan kitab Allah. Nabi bertanya lagi jika tidak engkau temukan dalam kitab Allah? Muaz menjawab, aku akan putuskan dengan Sunnah Rasulullah. Kemudian Nabi kembali bertanya, jika tidak engkau temukan dalam sunnah Rasul dan tidak pula dalam kitab Allah? Muaz menjawab, aku akan melakukan ijtihad dengan pemikiran akalku dan aku tidak akan berlebih-lebihan”. Teks hadis itu dapat dilihat dalam Abu Dawud, Sunan Abi Dawud (Indonesia:Maktabah Dahlan, tt), III: 303

42 Lihat Abu Zahrah, Usul al-Fiqh. hal. 223-224

44 Dia bernama Ibrahim binSiyar al-Nazzam Syaikh al-Jahiz. Dia merupakan orang yang paling menonjol dari kalangan anti-qiyas, disamping yang paling keras yaitu Ibn Hazm al-Andalusi. Baca kembali Abu Zahrah,Usul al-Fiqh, hal. 224

45 Golongan Syi’ah umpamanya, menentang penggunaan qiyas karena ia berdasarkan akal semata dan penggunaan akal itu dilarang dan bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah, Ibid.

46 QS.Al-Isra’ (25): 36. Artinya: “ Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya”.

54 Ibid


Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah QIYAS, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar