Qiyas sebagai suatu prinsip hukum memainkan peran yang sangat penting dalam kajian hukum Islam. Namun, disamping peran qiyas yang amat vital tersebut, qiyas selalu saja menjadi pembahasan yang menarik karena beberapa persoalan. Diantaranya perdebatan seputar perintis, penggagah, atau the founding father dari prinsip hukum ini. Kemudian adanya golongan ulama yang anti –qiyas dan pro-qiyas. Juga adanya silang pendapat tentang apakah qiyas (sebagaimana juga Ijma`) masuk ke dalam kategori “adillat al-ahkam al muttafaqah `alaih” bersama Al-qur`an dan Hadist, ataukah masuk dalam kategori “Adillat al-ahkam al-mukhtalafah fih”.
Abdur Rahman mengatakan mengatakan : “Al-qiyas is the legal principle introduced in order to derive at a logical conclusion of a certain law on a certain issue that has to do with the welfare of the Muslims, in exercising this, however, it must be based on Qur`an, Sunnah and Ijma`. This legal principle was introduced by Imam Abu Hanifah, the founder of Hanafi school, in Iraq.2
Maksudnya, qiyas adalah suatu prinsip hukum yang diperkenalkan pertama kali oleh Imam Abu Hanifah di Iraq dalam rangka untuk mendapatkan ketetapan hukum yang logis dari persoalan-persoalan tertentu demi kemaslahatan umat Islam, dimana prinsip hukum tersebut harus tetap berdasarkan Al-Qur`an, Hadist, dan ijma`. Namun, ada sebuah ungkapan yang menarik dari R.Stephen Humphreys yang berkaitan dengan qiyas. Ia mengatakan: “The Syafi`is, in line with the rigorous temperament of their founder, seem primarily concerned to evolve a fully rationalized of a anlogical reasoning to Qur`an and Sunnah”.3
Maksudnya adalah bahwa mazhab Syafi`I muncul dengan karakteristiknya yang rasional dan memakai serta mengaplikasikan analogi yang di dasarkan pada teks Al-Qur`an dan Hadist. Dalam makalah ini, penyusun akan mencoba mendeskripsikan hal-hal yang principil seputar pembahasan qiyas, mulai dari pengertiannya, rukun dan syaratnya, macam-macamnya dan kaitannya dengan `illat, serta kehujjahan qiyas itu sendiri sebagai salah satu dasar pembinaan hukum dalam Islam.
B. Pengertian Qiyas
Kata Qiyas merupakan derivasi (bentukan) dari kata Arab “qasa” artinya mengukur.4 Secara singkat dalam pengertian etimologis, qiyas berarti mengukur sesuatu dengan benda lain yang dapat menyamainya. Misalnya, Fulan tidak diqiyaskan dengan si Fulan lain tidak disamakan.5 Dan secara terminologis, qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nassnya, baik dalam al-Qur’an maupun hadis, dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang sudah ditetapkan hukumnya berdasarkan nass.6
Menurut istilah usuliyyun (ulama usul fiqh), qiyas adalah menghubungkan kejadian yang belum ada nass hukumnya dengan kejadian yang ada nass hukumnya dan keduanya sama di dalam hukum syara’ karena adanya persamaan ‘illat’.7
Imam Al-Syafi’I yang dipandang seorang yang pertama menyusun metode qiyas, tidak menggambarkan secara sistematis tentang defenisi qiyas. Namun, dari beberapa statementnya yang menyangkut qiyas, dapat disimpulkan bahwa qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang tidak disebutkan atau disinggung oleh nass (Al-Qur’an dan Hadist) kepada sesuatu yang disebutkan dan telah ditetapkan hukumnya, karena serupa makna hukum yang disebutkan.11
Artinya qiyas adalah suatu metode penetapan hukum dengan cara menyamakan sesuatu kejadian yang tidak tertulis hukumnya secara tekstual dengan kejadian yang telah ditetapkan hukunya secara tekstual. Hal ini dimungkinkan dengan pertimbangan adanya kesamaan’illat dalam hukumnya. Dengan demikian ketetapan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nassnya dapat dikategorikan sebagai qiyas.
Unsur-Unsur Qiyas
Dari defenisi qiyas dapat diketahui, bahwa unsur qiyas itu ada empat12, yaitu:
1. Al-asl13, yaitu sumber hukum yang terdiri dari nass yang menjelaskan tentang hukum. Sebagian besar ulama menyebutkan bahwa sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas harus berupa nass, baik nass al-Qur’an, hadist, maupun ijma’ dan tidak boleh meng-qiyas-kan sesuatu dengan hukum yang ditetapkan dengan qiyas.14
2. Al-Far’u15, yatitu sesuatu yang tidak ada ketentuan nassnya, artinya, kasus yang ada tidak diketahui hukumnya secara pasti. Al-Syafi’I dalam hal ini mengatakan bahwa far’u itu adalah suatu kasus yang tidak disebutkan hukumnya secara tegas dan di-qiyas-kan kepada hukum aslnya.16
3. Al-Hukm atau Hukm Al-asl17 yatitu hukum yang dipergunakan qiyas untuk memperluas hukum dari asl ke far’u. menurut al-Syafi’I, hukum di sini adalah hukum yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, baik secara tegas, maupun ma’nawi.18 Ini berarti, hukumnya harus berdasarkan al-Qura’an dan Hadist, harus dapat dicerna akal tentang tujuannya, dan hukum yang ditetapkan bukan masalah rukhshah dan khusus.
4. ‘Illat,19yaitu alasan yang serupa antara asl dan far’u.20 Sesungguhnya ‘illat berbeda dengan hikmah. ‘illat syar’iyah merupakan sifat yang sesuai, jelas, dan pasti yang dijadikan sebagai dasar pembinaan hukum, sedangkan hikmah adalah tujuan yang dimaksudkan syara’ untuk menarik maslahah dan menolak mafsadah, dan itu sifatnya tidak pasti.21 Juga hukum itu ada atau tidak adalah berdasarkan ‘illat, meskipun hikmahnya berbeda-beda.22
D. Macam-Macam Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut:
1. Dilihat dari segi kekuatan ‘illat’ yang terdapat pad far’u dibandingkan dengan yang terdapat pada asl. Qiyas dari segi ini dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:
a. Qiyas Aulawi, yaitu qiyas yang hukumnya pada far’u lebih kuat daripada hukum asl, karena ‘illat yang terdapat pada far’u lebih kuat daripada yang ada pada asl, misalnya meng-qiyas-kan memukul pada ucapan “ ah” terhadap orang tua dengan ‘illat menyakiti. Keharaman pada perbuatan “memukul” lebih kuat daripada keharaman pada ucapan “ah”, karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dibandingkan dengan ucapan “uff”.
b. Qiyas Musawiy, yaitu hukum pada far’u sama kualitasnya dengan hukum yang ada pada asl, karena kekuatan ‘illatnya juga sama. Misalnya Allah berfirman:
Ayat ini melarang memakan harta anak yatim secara tidak wajar, berarti meng-qiyas-kan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak patut adalah benar, karena kekuatan ‘illat juga sama, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.
c. Qiyas Adna, yaitu ‘illat pada far’u lebih lemah dibandingkan dengan ‘illat yang ada pada asl. Misalnya meng-qiyas-kan buah apel pada gandum dalam hal berlakunya riba fadhi, karena keduanya mengandung ‘illat yang sama, yaitu sama-sama jenis makanan. Memberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada gandum, karena ‘illatnya lebih kuat.23
2. Dilihat dari kejelasan ‘illat yang terdapat pada hukum, qiyas dapat dibagi kepada dua macam yaitu:
a. Qiyas Jaliy, yaitu qiyas yang ‘illatnya ditetapkan oleh nass bersamaan dengan hukum asl atau nass tidak menetapkan ‘illatnya, tetapi dipastikan tidak ada pengaruh perbedaan antara asl dengan far’u. pada usuliyyun menyatakan bahwa qiyas jaliy mencakup qiyas aulawy dan qiyas musawy.
b. Qiyas Khalif, yaitu qiyas yang ‘illatnya tidak disebutkan dalam nass. Contohnya meng-qiyas-kan pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan benda tajam dalam memberlakukan hukum qiyas, karena ‘illatnya sama-sama pembunuhan sengaja dengan unsur permusuhan. Qiyas ini termasuk kepada qiyas adna dalam pembagian di atas.
3. Dilihat dari segi keserasian ‘illat dengan hukum, qiyas terbagi kepada dua bentuk, yaitu:
a. Qiyas Mu’assir, yaitu qiyas yang menjadi penghubung antara asl dengan far’u ditetapkan melalui nass sarih atau ijma atau qiyas yang ‘ain (sifat itu sendiri) yang menghubungkan asl dengan far’u berpengaruh pada hukum itu sendiri.
b. Qiyas Mula’im, yaitu qiyas yang ‘illat hukm asl-nya mempunyai hubungan yang serasi.
4. Dilihat dari segi kejelasan atau tidaknya ‘illat pada qiyas tersebut dapat dibagi kepada tiga bentuk, yaitu:
a. Qiyas al-Ma’na, atau qiyas pada makna aslyaitu qiyas yang di dalamnya tidak dijelaskan ‘illatnya, tetapi antara asl dengan far’u tidak dapat dibedakan, sehingga far’u seakan-akan asl.
b. Qiyas al’Illat, yaitu qiyas yang dijelaskan ‘illatnya dan ‘illat itu sendiri merupakan dorongan bagi hukm al-asl.26
c. Qiyas al-Dilalah, yaitu qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri, tetapi ‘illat itu merupakan keharusan yang memberi petunjuk adanya ‘illat.
5. Dilihat dari segi metode dalam menemukan ‘illat, qiyas dapat dibagi kepada empat macam, yaitu:
a. Qiyas al-Ikhalah, yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui munasabah dan ikhalah.28
b. Qiyas al-Syabah yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui metde syabah.29
c.Qiyas al-Sabr yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui al-sabr wa al-taqsim.30
d. Qiyas al-Thard yaitu yang ‘illatnya ditetapkan melalui metode thard.31
Otoritas Qiyas
Pada bagian ini, pembicaraan difokuskan pada kehujjahan atau otoritas qiyas sebagai dalil hukum. Pertanyaan yang segera akan muncul adalah bagaimana kedudukan qiyas sebagai dalil hukum? Pertanyaan ini memang menimbulkan perdebatan dikalangan uluwiyyun. Di satu pihak sebagian ulama mengatakan, bahwa qiyas adalah dalil dan bahkan sumber hukum yang wajib diikuti. Namun, di pihak lain, sebagian ulama usul memandang qiyas bukan dalil dan sumber hukum. Sementara itu, pandangan lainnya menyebutkan bahwa qiyas bukan dalil dan sumber hukum, tetapi ia hanyalah sebuah metode (manhaj) saja dalam menggali hukum dari sumbernya.32
Sama seperti ijma’, tapi tidak sama dengan al-Qur’an dan Sunnah, qiyas tidak dipahami sebagai sebuah sumber hukum yang diwahyukan, sebagai sebuah derivasi dari sumber-sumber utama, qiyas meminta pembenarannya di dasarkan atas ke dua sumber di atas. Persoalan mendasar yang muncul dalam hal ini berkaitan dengan sumber-sumber otoritas di balik qiyas, juga status epistemologi dari metode penyimpulan ini. Pertanyaan apakah metode ini bisa dibenarkan atau tidak boleh akal dan argumen rasional, bebas dari pewahyuan, benar-benar kehilangan signifikansinya. Sebagai konsekuensinya, qiyas harus dibenarkan oleh sumber-sumber yang diwahyukan (al-Qur’an dan Sunnah) dan produk langsungnya, yakni konsensus (ijma’), yang keotoritasannya (hujjiyatuh), seperti yang terlihat, terkena argumen yang sama.33
Sementara sebagian kecil fuqaha mengemukakan pandangfan mereka, bahwa otoritas qiyas tidak dapat dibenarkan dengan kepastian, sebagian besar fuqaha Sunni berpendapat bahwa bukti dalam dua sumber utama (al-Qur’an dan Sunnah), ditambah dengan konsesnsus (ijma’), membuktikan bahwa metode ini otoritatif yang mempunyai nilai pasti. Bahkan sebagian dari mereka yang berada di pinggiran, di luar kalangan Sunni, dan yang menolak qiyas secara prinsipil, mengakui qiyas yang jelas (al-qiyas al-jaliy) dan penyimpulan linguistik (misalnya, mengucapkan “uh” di hadapan orang tua) mewakili dua bentuk qiyas yang otoritatif dan valid.34
Romli SA mencatat, dari sejumlah literatur, ditemukan bahwa paling tidak terdapat tiga kelompok ulama yang berbeda pendapat tentang keberadaan qiyas dan kehujjahan sebagai dalil hukum.
Kelompok Pertama, mengatakan bahwa qiyas adalah dalil dan sumber hukum. Kelompok pertama ini menyatakan bahwa para fuqaha telah sepakat tentang posisi qiyas sebagai salah satu pokok atau dasar tasyri’ dan dalil hukum syariah. Pandangan kelompok pertama ini melahirkan sikap dan dianut oleh mayoritas ulama bahwa qiyas adalah dalil hukum dan karenanya, ia menjadi hujjah syar’iyyah. Kelompok pertama ini dengan sebutan musbit al-qiyas, yaitu kelompok pendukung qiyas (pro-qiyas).36 Adapun alasan kelompok ini, bahwa qiyas adalah dalil dan sumber hukum di antaranya adalah Alquran:37
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman!Taatlah kamu kepada Allah, taatlah kamu pada Rasul, serta ulul amri (pemimpin) di antara kamu, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Hadist) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.”
a. Menurut jumhur fuqaha, kata-kata “fa ruddu“ mengandung arti mengembalikan semua peristiwa yang muncul kepada al-Qur’an dan hadis meliputi berbagai cara, termasuk dengan menghubungkan suatu peristiwa yang tidak ada nass, hukumnya, karena ada kesamaan ‘illat. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya al-Qur’an maupun hadis telah menjawab segala persoalan yang muncul, baik secara tekstual maupun isyarat. Dengan kata lain, pengembalian kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (hadis) itu mencakup seluruh persoalan, baik yang mengandung isyarat untuk mengembalikan kepada qaidah syar’iyah yang umum, maupun yang tidak and nassnya dengan cara menetapkan hukum yang sama atas dasar kesamaan ‘illat. Menetapkan hukum berdasarkan kesamaan ‘illat tidak hanya berdasarkan akal semata, melainkan ada sandarannya, yakni nass. Dan qiyas pun didasarkan pada ‘illat ini. Oleh karena itu, keberadaan qiyas memiliki otoritas dalam menetapkan hukum tidak bisa diingkari.
b. Berpijak pada hadis nabi yang memuatkan dialog antara Nabi dengan Muaz bin Jabal.40
Atas dasar hadis ini, menurut kalangan jumhur ulama bahwa Rasulullah telah menunjukkan cara untuk mengetahui dan menetapkan bahwa syara’ dan di dalamnya mencakup ijtihad dengan ra’yu. Jika tidak ditemukan dalil nass al-Qur’an dan Sunnah haruslah menggunakan ijtihad, dan qiyas jelas merupakan bagian dari ijtihad dengan ra’yu. Dengan demikian, qiyas menjadi hujjah syar’iyah.
c. Berdasarkan praktek sahabat. Kelompok pertama dari kalangan jumhur ulama ini berpendapat, bahwa sahabat telah sepakat menggunakan qiyas sebagai hujjah. Pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah adalah berdasarkan hasil qiyas yang didasarkan pada pertimbangan, bahwa Abu Bakar selalu menjadi imam dalam salat ketika nabi tidak ada.42
d. Kelompok ini juga beralasan bahwa nass al-Qur’an dan hadis terbatas, sementara persoalan-persoalan baru yang tidak ada nassnya akan terus bermunculan setiap waktu, unutk menjawab persoalan tersebut, tidak ada jalan lain kecuali dengan meneliti ‘illat hukum yang ada dalam nass dan atas dasar ‘illat itulah diterapkan hukum bagi persoalan baru tersebut. Dengan terbatasnya nass, sementara persoalan baru terus bermunculan, maka ijtihad dengan menggunakan qiyas adalah wajib.
Kelompok Kedua, yaitu kelompok yang menolak keberadaan qiyas sebagai dalil dan hujjah syar’iyah. Kelompok ini dikenal dengan sebutan nufat al-qiyas. Kelompok ini terdiri dari al-Nazzam44 dan pengikutnya dari kalangan Mu’tazilah, Daud Zahiri, Ibn Hazm dan sebagian kaum Syi’ah.45, seperti Syi’ah Imamiyah.
Dalil yang digunakan oleh kelompok yang tidak menggunakan qiyas adalah:
a. Firman Allah:
Ayat ini menurut mereka melarang seseorang untuk beramal dengan sesuatu yang tidak diketahui secara pasti dan qiyas tergolong ke dalam sesuatu yang tidak pasti. Sya’ban Muhammad Isma’il sendiri mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa tidak sah hukum yang berdasarkan dugaan semata, dan qiyas adalah salah satu hasil dugaan (zanny).
d. Alasan selanjutnya adalah mereka berpegang kepada para sahabat, seperti Abu Bakar dan Ibnu Mas’ud mengingkari qiyas, serta mengingatkan agar berhati-hati terhadap ra’yu. Umar Bin Khattab juga mengingatkan dengan pernyataannya: “hendaklah kalian berhati-hati terhadap ahl al-ra’yi yang menentang sunnah Nabi.”
Kelompok Ketiga, yakni kelompok yang berlawanan dengan dua kelompok di atas (musbit al-qiyas dan nufat al-qiyas). Kelompok ketiga ini kelihatannya ingin mendudukkan keberadaan qiyas pada posisinya dalam hukum Islam. Al-Ghazali misalnya, sebagaimana dikutip oleh Romli SA, mengatakan bahwa qiyas adalah sebuah cara dalam menghasilakan hukum dari penalaran nass, melalui analogi.54
F.Penutup
Dari berbagai deskripsi dan paparan di atas, penyususn menyimpulkan bahwa qiyas secara sederhana adalah “seni mengambil kesimpulan secara logis dengan analogi deduktif.” Generasi yang muncul kemudia, menurut orang yang berpendapat bahwa otoritas qiyas adalah pasti, telah mencapai kesepakatan, bukan saja atas keabsahan qiyas, tapi juga atas kenyataan bahwa para mufti dan faqih disepanjang abad dan di seluruh wilayah Muslim telah menggunakannya, tanpa ada suara yang menolak di kalangan mereka. Ini menjadi satu kesimpulan, bahwa akibat kumulatif dari konsensus berbagai generasi membuktikan bahwa otoritas qiyas bersifat pasti.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah QIYAS, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar