POLA ASUH DALAM PERSPEKTIF AJARAN ISLAM

Anak adalah amanat bagi orang tua, hatinya yang suci bagaikan mutiara yang bagus dan bersih dari setiap kotoran dan goresan.[1] Anak merupakan anugerah dan amanah dari Allah kepada manusia yang menjadi orang tuanya. Oleh karena itu orang tua dan masyarakat bertanggungjawab penuh agar supaya anak dapat tumbuh dan berkembang manjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya sesuai dengan tujuan dan kehendak Tuhan.

Pertumbuhan dan perkembangan anak dijiwani dan diisi oleh pendidikan yang dialami dalam hidupnya, baik dalam keluarga, masyarakat dan sekolahnya. Karena manusia menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya ditempuh melalui pendidikan, maka pendidikan anak sejak awal kehidupannya, menempati posisi kunci dalam mewujudkan cita-cita “menjadi manusia yang berguna”.

Dalam Islam, eksistensi anak melahirkan adanya hubungan vertikal dengan Allah Penciptanya, dan hubungan horizontal dengan orang tua dan masyarakatnya yang bertanggungjawab untuk mendidiknya menjadi manusia yang taat beragama. Walaupun fitrah kejadian manusia baik melalui pendidikan yang benar dan pembinaan manusia yang jahat dan buruk, karena salah asuhan, tidak berpendidikan dan tanpa norma-norma agama Islam.

Anak sebagai amanah dari Allah, membentuk 3 dimensi hubungan, dengan orang tua sebagai sentralnya. Pertama, hubungan kedua orang tuanya dengan Allah yang dilatarbelakangi adanya anak. Kedua, hubungan anak (yang masih memerlukan banyak bimbingan) dengan Allah melalui orang tuanya. Ketiga, hubungan anak dengan kedua orang tuanya di bawah bimbingan dan tuntunan dari Allah.[2]

Dalam mengemban amanat dari Allah yang mulia ini, berupa anak yang fitrah beragama tauhidnya harus dibina dan dikembangkan, maka orang tua harus menjadikan agama Islam, sebagai dasar untuk pembinaan dan pendidikan anak, agar menjadi manusia yang bertaqwa dan selalu hidup di jalan yang diridhoi oleh Allah SWT., dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun juga keadaannya, pribadinya sebagai manusia yang taat beragama tidak berubah dan tidak mudah goyah.

Mendidik anak-anak menjadi manusia yang taat beragama Islam ini, pada hakekatnya adalah untuk melestarikan fitrah yang ada dalam setiap diri pribadi manusia, yaitu beragama tauhid, agama Islam. Seorang anak itu mempunyai “dwi potensi”yaitu bisa menjadi baik dan buruk. Oleh karena itu orang tua wajib membimbing, membina dan mendidik anaknya berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Allah dalam agama-Nya, agama Islam agar anak-anaknya dapat berhubungan dan beribadah kepada Allah dengan baik dan benar. Oleh karena itu anak harus mendapat asuhan, bimbingan dan pendidikan yang baik, dan benar agar dapat menjadi remaja, manusia dewasa dan orang tua yang beragama dan selalu hidup agamis. Sehingga dengan demikian, anak sebagai penerus generasi dan cita-cita orang tuanya, dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dapat memenuhi harapan orang tuanya dan sesuai dengan kehendak Allah.[3]

Kehidupan keluarga yang tenteram, bahagia, dan harmonis baik bagi orang yang beriman, maupun orang kafir, merupakan suatu kebutuhan mutlak. Setiap orang yang menginjakkan kakinya dalam berumah tangga pasti dituntut untuk dapat menjalankan bahtera keluarga itu dengan baik. Kehidupan keluarga sebagaimana diungkap di atas, merupakan masalah besar yang tidak bisa dianggap sepele dalam mewujudkannya. Apabila orang tua gagal dalam memerankan dan memfungsikan peran dan fungsi keduanya dengan baik dalam membina hubungan masing-masing pihak maupun dalam memelihara, mengasuh dan mendidik anak yang semula jadi dambaan keluarga, perhiasan dunia, akan terbalik menjadi bumerang dalam keluarga, fitnah dan siksaan dari Allah.

Oleh karena itu dalam kaitannya dengan pemeliharaan dan pengasuhan anak ini, ajaran Islam yang tertulis dalam al-Qur’an, Hadits, maupun hasil ijtihad para ulama (intelektual Islam) telah menjelaskannya secara rinci, baik mengenai pola pengasuhan anak pra kelahiran anak, maupun pasca kelahirannya. Allah SWT memandang bahwa anak merupakan perhiasaan dunia. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Kahfi ayat 46;
اَلْمَالُ وَالْبَنُوْنَ زِيْنَةُ الْحَيوةِ الدُّنْيَا ج وَالْبقِيتُ الصّلِحتُ خَيْرٌ عِنْدَ رِبِّكَ ثَوَابًا وَّخَيْرٌ اَمَلاً. {الكهف: 46}
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan”.[4] (QS. al-Khafi: 46)

Dalam ayat lain Allah berfirman;
يآيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا قُوْآ اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا…{ التّحريم : 6 }.
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka ….[5] (QS. at-Tahrim: 6)

Dengan demikian mendidik dan membina anak beragam Islam adalah merupakan suatu cara yang dikehendaki oleh Allah agar anak-anak kita dapat terjaga dari siksa neraka. Cara menjaga diri dari apa neraka adalah dengan jalan taat mengerjakan perintah-perintah Allah.

Sehubungan dengan itu maka pola pengasuhan anak yang tertuang dalam Islam itu dimulai dari:[6]
1. Pembinaan pribadi calon suami-istri, melalui penghormatannya kepada kedua orang tuanya
2. Memilih dan menentukan pasangan hidup yang sederajat (kafa’ah).[7]
3. Melaksanakan pernikahan sebagaimana diajarkan oleh ajaran Islam
4. Berwudlu dan berdo’a pada saat akan melakukan hubungan sebadan antara suami dan istri
5. Menjaga, memelihara dan mendidik bayi (janin) yang ada dalam kandungan ibunya.
6. Membacakan dan memperdengarkan adzan di telinga kanan, dan iqamat ditelinga kiri bayi
7. Mentahnik anak yang baru dilahirkan. Tahnik artinya meletakkan bagian dari kurma dan menggosok rongga mulut anak yang baru dilahirkan dengannya, yaitu dengan cara meletakkan sebagian dari kurma yang telah dipapah hingga lumat pada jari-jari lalu memasukkannya ke mulut anak yang baru dilahirkan itu. Selanjutnya digerak-gerakkan ke arah kiri dan kanan secara lembut. Adapun hikmah dilakukannya tahnik antara lain; pertama, untuk memperkuat otot-otot rongga mulut dengan gerakan-gerakan lidah dan langit-langit serta kedua rahangnya agar siap menyusui dan menghisap ASI dengan kuat dan alamiah, kedua, mengikuti sunnah Rasul. [8]
8. Menyusui anak dengan air susu ibu dari usia 0 bulan sampai usia 24 bulan
9. Pemberian nama yang baik.
Oleh karena itu pada setiap muslim, pemberian jaminan bahwa setiap anak dalam keluarga akan mendapatkan asuhan yang baik, adil, merata dan bijaksana, merupakan suatu kewajiban bagi kedua orang tua. Lantaran jika asuhan terhadap anak-anak tersebut sekali saja kita abaikan, maka niscaya mereka akan menjadi rusak. Minimal tidak akan tumbuh dan berkembang secara sempurna.[9] 

1. Pengertian Pola Asuh
Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berhubungan dengan anaknya, sikap ini dapat dilihat dari berbagai segi, antara lain dari cara orang tua memberikan peraturan kepada anak, cara memberikan hadiah dan hukuman, cara orang tua menunjukkan otoritas dan cara orang tua memberikan perhatian atau tanggapan terhadap keinginan anak. Dengan demikian yang disebut dengan pola asuh orang tua adalah bagaimana cara mendidik orang tua terhadap anak, baik secara langsung maupun tidak langsung.[1]

Sedangkan cara mendidik secara langsung artinya bentuk-bentuk asuhan orang tua yang berkaitan dengan pembentukan kepribadian, kecerdasan dan keterampilan yang dilakukan dengan sengaja baik berupa perintah, larangan, hukuman, penciptaan situasi maupun pemberian hadiah sebagai alat pendidikan. Dalam situasi seperti ini yang diharapkan muncul dari anak adalah efek-instruksional yakni respon-respon anak terhadap aktivitas pendidikan itu.

Pendidikan secara tidak langsung adalah berupa contoh kehidupan sehari-hari baik tutur kata sampai kepada adat kebiasaan dan pola hidup, hubungan antara orang tua dengan keluarga, masyarakat, hubungan suami istri. Semua ini secara tidak sengaja telah membentuk situasi di mana anak selalu bercermin terhadap kehidupan sehari-hari dari orang tuanya.[2]

2. Macam-macam Pola Asuh
Untuk mewujudkan kepribadian anak, menjadi manusia dewasa yang memiliki sikap positif terhadap agama, sehingga perkembangan keagamaannya baik, kepribadian kuat dan mandiri, berperilaku ihsan, potensi jasmani dan rohani serta intelektual yang berkembang secara optimal, maka ada berbagai cara dalam pola asuh yang dilakukan oleh orang tua menurut Hurluck sebagaimana dikutip Chabib Thoha, yaitu:[3]

a. Pola Asuh Otoriter
Pola asuh ototriter adalah pola asuh yang ditandai dengan cara mengasuh anak-anaknya dengan aturan-aturan ketat, seringkali memaksa anak untuk berperilaku seperti dirinya (orang tua), kebebasan untuk bertindak atas nama diri sendiri dibatasi. Anak jarang diajak berkomunikasi dan diajak ngobrol, bercerita-cerita, bertukar pikiran dengan orang tua, orang tua malah menganggap bahwa semua sikapnya yang dilakukan itu dianggap sudah benar sehingga tidak perlu anak dimintai pertimbangan atas semua keputusan yang menyangkut permasalahan anak-anaknya. Pola asuh yang bersifat otoriter ini juga ditandai dengan hukuman-hukuman tersebut sifatnya hukuman badan dan anak juga diatur yang membatasi perilakunya. Perbedaan seperti sangat ketat dan bahkan masih tetap diberlakukan sampai anak tersebut menginjak dewasa.

Kewajiban orang tua adalah menolong anak dalam memenuhi kebutuhan hidup anak-anaknya, akan tetapi tidak boleh berlebih-lebihan dalam menolong sehingga anak tidak kehilangan kemampuan untuk berdiri sendiri di masa yang akan datang.[4] Orang tua yang suka mencampuri urusan anak sampai masalah-masalah kecil misalnya jam istirahat atau jam tidur, macam atau jenis bahkan jurusan sekolah yang harus dimasuki, dengan demikian sampai menginjak dewasa kemungkinan besar nanti mempunyai sifat-sifat yang ragu-ragu dan lemah kepribadian serta tidak mampu mengambil keputusan tentang apa pun yang dihadapi dalam kehidupannya, sehingga akan menggantungkan orang lain.

b. Pola Asuh Demokratis
Demokrasi merupakan proses dan mekanisme sosial yang dinilai akan lebih mendatangkan kebaikan bersama bagi orang banyak.[5] Sedangkan bila dikaitkan dengan istilah pemimpin, maka pemimpin demokratis adalah pemimpin yang memberikan penghargaan dan kritik secara objek dan positif. Dengan tindakan-tindakan demikian, pemimpin demokratis itu berpartisipasi ikut serta dengan kegiatan-kegiatan kelompok. Ia bertindak sebagai seorang kawan yang lebih berpengalaman dan turut serta dalam interaksi kelompok dengan peranan sebagai kawan.[6] Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demokrasi diartikan sebagai gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.[7] Dengan demikian pola asuh demokratis paling tidak mencerminkan pola asuh yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi, antara lain kebebasan, maksudnya memberikan kebebasan kepada anak dalam hal yang bersifat positif.

Sementara itu bentuk pola asuh demokratik berdasarkan teori convergence yaitu bahwa perkembangan manusia itu bergantung pada faktor dari dalam dan luar, maksudnya bahwa pendidikan dalam hal ini mengasuh itu bersifat maha kuasa dan mengasuh juga tidak dapat bersifat tidak berkuasa.[8] Oleh sebab itu mengasuh anak harus seimbang, yaitu tidak boleh membiarkan dan memberi kebebasan sebebas-bebasnya dan juga jangan terlalu menguasai anak, tetapi mengasuh harus bersikap membimbing ke arah perkembangan anak.

Oleh karena itu yang dimaksud dengan pola asuh demokratis adalah pola asuh orang tua yang ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit memberi kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengarkan pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggungjawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya.[9]

Oleh karena itu dalam keluarga orang tua dalam hal ini pengasuh harus merealisasikan peranan atau tanggung jawab dalam mendidik sekaligus mengasuh anak didik/anak asuhnya.Pola asuh demokratis ini merupaka kajian penulis dalam rangka mencari hubungan antara pola asuh demokratis dengan perkembangan keberagamaan anak. 

Adapun indikator-indikator pola asuh demokratis diantaranya adalah sebagai berikut:

1) Kedisiplinan
Dalam kehidupan sehari-hari, “disiplin” sering dikaitkan dengan “hukuman”, dalam arti displin diperlukan untuk menghindari terjadinya hukuman karena adanya pelanggaran terhadap suatu peraturan tertentu. Dalam pengertian yang lebih luas, disiplin mengandung arti sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, dan mentaati segala peraturan dan ketentuan yang berlaku.[10]

Disiplin adalah suatu kondisi yang tercipta dan terbentuk melalui proses dari serangkaian perilaku yang menunjukkan nilai-nilai ketaatan, kepatuhan, kesetiaan, keteraturan dan ketertiban.[11] Disiplin akan membuat seseorang tahu dan dapat membedakan hal-hal apa yang seharusnya dilakukan, yang wajib dilakukan, yang boleh dilakukan, yang tak sepatutnya dilakukan (karena merupakan hal-hal yang dilarang).

Kata disiplin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan latihan batin dan watak dengan maksud supaya segala perbuatannya selalu mentaati tata tertib (di sekolah atau kemiliteran), dan dapat pula berarti ketaatan pada aturan dan tata tertib.[12] Dalam praktik sehari-hari dispilin biasanya dijumpai pada anggota militer, para siswa sekolah, para karyawan Instansi Pemerintah dan Swasta dan lain sebagainya. Hati merasa senang dan gembira melihat segala sesuatu yang dilakukan secara disiplin dan tertib. Keinginan untuk menegakkan disiplin adalah sejalan dengan fitrah manusia.[13]

Sedangkan pengertian disipilin menurut J.B. Syke dalam buku “The Concise Oxford Dictionary of Current English”, mendefinisikan sebagai berikut: “Branch of instruction or learning, mental and moral training adversity as effecting this system of rules for conduct, behaviour according to astablished”.[14] “Bagian dari pengajaran atau pembelajaran, latihan mental dan moral sebagai akibat sistem pranata untuk mengarahkan perilaku sesuai dengan yang ditetapkan”.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa disiplin adalah upaya mengarahkan dan mengendalikan diri, yang berarti suatu usaha untuk mengarahkan dan mengendalikan diri kepada kebiasaan-kebiasaan yang sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan yang ada.

Disiplin sangat perlu ditanamkan pada anak, sebab disiplin adalah pendidikan untuk mengajarkan pengendalian diri, dengan peraturan, contoh dan teladan yang baik. Dalam proses penanaman kedisiplinan orang tua juga harus membina hubungan baik dengan anak-anak, agar kedisiplinan yang diajarkan oleh orang tua benar-benar diterima dan dilaksanakan oleh anak. Mengingat anak itu butuh dihargai, diakui keberadaannya dan sebagainya.

Untuk menjadikan kedisiplinan itu efektif, harus memenuhi tiga kriteria, yaitu:
a. Menghasilkan atau menimbulkan suatu keinginan perubahan atau pertumbuhan pada anak
b. Memelihara harga diri anak
c. Memelihara hubungan yang rapat (erat) antara orang tua dengan anak.[15]

Dalam proses penanaman kedisiplinan ini orang tua juga harus bersikap dan bertindak dengan tegas dengan maksud agar ajaran yang diberikan dapat diterima dan difahami oleh anak, sehingga tujuan disiplin tercapai. Adapun tujuan disiplin menurut Ellen G. White yang dikutip oleh Ny. Kholilah Marhijanto mengatakan bahwa tujuan disiplin adalah mendidik anak untuk mengatur sendiri.[16] Dalam hal ini anak harus diajar percaya pada diri sendiri, mengendalikan diri dan tidak tergantung pada orang lain.

Di samping itu, disiplin juga bertujuan untuk menolong anak memperoleh keseimbangan antar kebutuhan untuk berdikari dan penghargaan terhadap hak-hak orang lain.[17] Dengan ditanamkannya disiplin mungkin, diharapkan menambah kematangan dalam bertindak dan bertingkah laku, sehingga tidak akan terjadi kekacauan yang diakibatkan oleh adanya perebutan hak dan kekuasaan. Hal ini penting yang juga harus diingat dalam menerapkan kedisiplinan adalah adanya ketegasan dan ketetapan. Artinya kedisiplinan itu diberlakukan secara kontinu, bukannya hari ini disiplin besok sudah lain lagi.

Tujuan jangka panjang dari disiplin adalah perkembangan dari pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri sendiri, (self-controle and self-direction), yaitu dalam hal mana anak-anak dapat mengarahkan diri sendiri tanpa pengaruh atau pengendalian dari luar. Pengendalian diri berarti menguasai tingkah laku diri sendiri dengan berpedoman norma-norma yang jelas, standar-standar dan aturan-aturan yang sudah menjadi milik diri sendiri. Oleh karena itu orang tua haruslah secara kontinu atau terus menerus berusaha untuk makin memainkan peranan yang makin kecil dari pekerjaan pendisiplinan itu, dengan secara bertahap mengembangkan pengendalian diri sendiri dan pengarahan diri sendiri itu pada anak.[18]

Sedangkan cara terbaik untuk membantu anak belajar disiplin diri adalah dengan membiarkan dia bertanggungjawab di setiap bidang dalam hidupnya, bahkan ketika dia memilih untuk tidak melakukannya.[19] Jadi, disiplin yang kita tuntut dari anak-anak tidak boleh hanya dilihat sebagai sarana pemaksaan yang diperlukan, bila sudah tidak ada jalan lain untuk mencegah perbuatan yang salah. Disiplin pada dirinya sendiri merupakan faktor pendidikan sui generis.[20]

Adapun peran kedisiplinan sedini mungkin penting, mengingat tanpa kedisiplinan tujuan pendidikan atau tujuan dari segala aktivitas yang dilakukan oleh orang tua sulit terwujud. Dalam hal ini sebagai orang tua harus menanamkan sikap disiplin sedini mungkin terhadap anaknya.

2) Kebersamaan
Kebersamaan di sini maksudnya adalah kerjasama. Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting artinya bagi kelangsungan hidup. Tanpa kerjasama tidak akan ada individu, keluarga, organisasi atau masyarakat. Tanpa kerjasama dan tanpa rasa kebersamaan keseimbangan hidup akan terancam punah.
Dengan memiliki keahlian bekerjasama kita akan mudah mengungkapkan apa yang kita inginkan tanpa menyinggung orang lain.

3) Kegotong-royongan
Islam mengajarkan kita untuk hidup dalam kegotong-royongan. Apabila sejak dini anak sudah ditanamkan sikap yang demikian itu, maka kelak akan terlatih dan bersikap hidup dalam penuh kegotong-royongan.
Beban yang berat bisa terasa ringan jika dilakukan dengan gotong-royong, dan pada akhirnya kita tidak merasa berat dalam menjalani hidup ini. Demikianlah yang menjadi salah satu tugas orang tua, agar menanamkan sikap ini sebaik-baiknya kepada anak.

c. Pola Asuh Laisses Fire
Pola asuh ini adalah pola asuh dengan cara orang tua mendidik anak secara bebas, anak dianggap orang dewasa atau muda, ia diberi kelonggaran seluas-luasnya apa saja yang dikehendaki.[21] Kontrol orang tua terhadap anak sangat lemah, juga tidak memberikan bimbingan pada anaknya. Semua apa yang dilakukan oleh anak adalah benar dan tidak perlu mendapat teguran. Arahan atau bimbingan.[22]
Hal itu ternyata dapat diterapkan kepada orang dewasa yang sudah matang pemikirannya sehingga cara mendidik seperti itu tidak sesuai dengan jika diberikan kepada anak-anak. Apalagi bila diterapkan untuk pendidikan agama banyak hal yang harus disampaikan secara bijaksana. Oleh karena itu dalam keluarga orang tua dalam hal ini pengasuh harus merealisasikan peranan atau tanggung jawab dalam mendidik sekaligus mengasuh anak didik/anak asuhnya.

3. Jenis-jenis Metode Pengasuhan Anak
Adapun kerangka metodologis pengasuhan pasca kelahiran anak sebagaimana tertuang dalam ajaran Islam adalah sebagai berikut:

a. Pola asuh anak dengan keteladanan orang tua
Dalam psikologi perkembangan anak diungkapkan bahwa metode teladan akan efektif untuk dipraktikkan dalam pengasuhan anak. Oleh karena itu pada saat tertentu orang tua harus menerapkan metode ini yang memberi teladan yang baik. Cara ini akan mudah diserap dan direkam oleh jiwa anak dan tentu akan dicontohnya kelak di kemudian hari.

b. Pola asuh anak dengan pembiasaan
Sebagaimana kita ketahui bahwa anak lahir memiliki potensi dasar (fitrah). Potensi dasar itu tentunya harus dikelola. Selanjutnya, fitrah tersebut akan berkembang baik di dalam lingkungan keluarga, manakala dilakukan usaha teratur dan terarah. Oleh karena itu pengasuhan anak melalui metode teladan harus dibarengi dengan metode pembiasaan. Sebab, dengan hanya memberi teladan yang baik saja tanpa diikuti oleh pembiasaan bejumlah cukup untuk menunjang keberhasilan upaya mengasuh anak. Keteladanan orang tua, dan dengan hanya meniru oleh anak, tanpa latihan, pembiasaan dan koreksi, biasanya tidak mencapai target tetap, tepat dan benar.

Orang tua, karena ia dipandang sebagai teladan, maka ia harus selalu membiasakan berkata benar dalam setiap perkataannya baik terhadap anggota keluarganya atau siapapun dari anggota masyarakat lainnya. Dengan demikian Menurut Khairiyah sebagaimana dikutip oleh Ahmad Tafsir, orang tua harus menjadi gambaran hidup yang mencerminkan hakikat perilaku yang diserukannya dan membiasakan anaknya agar berpegang teguh pada akhlak-akhlak mulia.[23]


Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah POLA ASUH DALAM PERSPEKTIF AJARAN ISLAMoleh: makalah-ibnu, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com

Daftar Pustaka dan Footnote
[1] Chabib Thoha, Kapita Seleksi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996), hlm. 110.
[2] Ibid.
[3]Ibid., hlm. 110.
[4] Chabib Thoha, op. cit., hlm. 111.
[5] Sa’id Aqiel Siradj, et. al., Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 166.
[6] Geurngan W.A., Psikologi Sosial, (Bandung: PT. Eresco, 1996), hlm. 132-133.
[7] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hlm. 31.
[8] Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1982), hlm. 2.
[9] Chabib Thoha, op.cit., hlm. 111.
[10] Mohamd Surya, Bina Keluarga, (Semarang: CV. Aneka Ilmu, 2003), hlm. 131.
[11] D. Soemarno, Pedoman Pelaksanaan Disiplin Nasional dan Teta Tertib Sekolah 1998, (Jakarta: CV. Mini Jaya Abadi, 1998), hlm. 20.
[12] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), cet. 12, hal. 254.
[13] Abuddin Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan (Tafsir al-Ayat al-Tarbawy), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 248.
[14] JB. Syke, The Consise Oxford Dictionary of Current, (Oxford: Oxford University Press, tt.), hlm. 293.
[15] Charles Schaefar, Bagaimana Mendidik Anak Dan Mendisplinkan Anak, (Medan: IKIP Medan, 1979), hlm. 10.
[16] Khalilah Marhijanto, Menciptakan Keluarga Sakinah, (Gresik: Bintang Pelajar, tt.), hlm. 144.
[17] Kartini Kartono, Bimbingan dan Dasar-dasar Pelaksanaannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 1985), hlm. 205.
[18] Charles Schaefar, op. cit., hlm. 9.
[19] Karin Ireland, 150 Ways to Help Your Child Succeed (terj.) Grace Styadi, 150 Cara Untuk Membantu Anak Meraih Sukses, (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 164.
[20]Emile Durkheim, Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Erlangga, 1990), hlm. 31.
[21] Mansur, Pendidikan Usia Dini dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 356.
[22] Secara etimologi (asal kata) kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata guidence yang berasal dari kata to guide yang mempunyai arti menunjukkan, membimbing dan menuntun atau membantu. Lihat dalam A. Hallen, Bimbingan dan Konseling, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 3. Secara istilah pengertian bimbingan adalah sebagaimana pendapat Mohammad Surya yakni, suatu proses bantuan yang terus menerus dan sistematis dari pembimbing kepada yang dibimbing agar tercapai kemandirian dalam pemahaman diri, penerimaan diri, pengarahan diri dan perwujudan diri dalam mencapai tingkat perkembangan yang optimal dan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Mohammad Surya, Dasar-dasar Konseling Pendidikan: Konsep dan Teori, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1988), hlm. 12. Sedangkan menurut Charles dalam bukunya “Essential of Educational Psychology”, mengatakan: “The guidance ponit of view in eduction today is characterized by its aim to assist each individual to make choices and decisions that are congruent with his abilities, interest and opportunities and consistent with accepted social values”. “Bimbingan adalah proses bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang, baik anak-anak, remaja maupun dewasa, agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku”. Lihat Charles E. Skinner, Essentials of Educational Psychology, (Tokyo: Maruzen Company LTD., tt, ), hlm. 469.
[23] A. Tafsir, dkk., Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), hlm. 152.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar