I. PENDAHULUAN
Dalam membahas masalah metode berpikir keislaman, harus berpangkal dari awal perkembangan Islam itu sendiri, sehingga dapat memberikan gambaran dibandingkan dengan masa-masa sesudahnya yang senantiasa timbul permasalahan baru yang belum terdapat pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup.
II. MASA NABI MUHAMMAD SAW DAN SEPENINGGALNYA
Ketika Nabi Muhammad saw masih hidup, pemeluk Islam masih sedikit jumlahnya. Jika timbul permasalahan, baik permasalahan ibadah maupun permasalahan sosial, langsung dapat ditanyakan kepada Nabi tentang cara mengatasi dan menyelesaikannya. Dalam keadaan demikian biasanya turun wahyu,[1] jika tidak turun wahyu mengenai permasalahan yang bersangkutan kadang-kadang Nabi menyelesaikan dengan pendapatnya, dan kadang-kadang dimusyawarahkan dengan para sahabatnya.[2]
Setelah Nabi wafat, jika timbul permasalahan baru, maka para sahabat yang menjadi panutan umat mencari penyelesaiannya dalam al-Qur’an dan hadits yang memiliki otoritas dan menjadi pegangan kaum muslimin.
Permasalahan pertama yang timbul adalah siapa pengganti Nabi setelah wafat sebagai kepala negara. Dalam hal ini para sahabat, baik pihak Ansar maupun Muhajirin mengadakan musyawarah untuk mengatasi dan menyelesaikannya, yang dalam al-Qur’an tidak ada petunjuknya, dan permasalahan semacam ini belum pernah terjadi pada saat Nabi masih hidup. Maka dalam permusyawarahan itu masing-masing pihak mengajukan argumentasinya, dan yang paling kuat adalah argumentasi yang memiliki referensi yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Pihak Muhajirin menggunakan referensi : Al-Aimmah min Quraisyin, dan merujuk pada saat Nabi tidak dapat mengimami shalat dan mewakilkannya kepada Abu Bakar, sehingga Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah pertama.[3] Demikianlah kaum muslimin periode Madinah menyelesaikan permasalahannya, sebagaimana Nabi, mereka menggunakan ijtihad atau ra’yu dalam menghadapi permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits.[4]
Permasalahan-permasalahan kaum muslimin akan semakin kompleks setelah wilayah kekuasaan Islam meluas ke luar Semenanjung Arabia, masyarakat wilayah kekuasaan Islam sudah tidak lagi homogen, tetapi sudah demikian heterogen, terdiri dari berbagai etnis dan agama terutama agama Nasrani, Yahudi dan Zoroaster, dan bahasanya pun berbeda-beda. Untuk mengatasi permasalahan yang kompleks itu dan tidak pernah terjadi pada masa sebelumnya, mereka kembali kepada al-Qur’an dan hadits. Hanya saja dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan itu tidak semua terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits. Lebih lagi permasalahan itu berkaitan dengan permasalahan sosial kemasyarakatan yang demikian kompleks dan belum pernah terjadi pada masa Nabi.[5]
III. QAT’IY AL-DALALAH DAN DHANNY AL-DALALAH
Pada umumnya ajaran al-Qur’an berbentuk global, tanpa rincian dan cara pelaksanaannya, baik yang berkaitan dengan permasalahan ukhrawi maupun duniawi. Seperti salat, ayat-ayat al-Qur’an hanya memerintahkan melaksanakannya, tetapi cara, kapan, dan berapa kali dilaksanakan dapat diketahui dari hadits.[6] Itu permasalahan ibadah, lebih lagi permasalahan duniawi.
Tentang globalitas ajaran al-Qur’an, para ulama memperkirakan sekitar 500 ayat dari seluruh ayat yang berjumlah lebih dari 6000 ayat. Abd al-Wahab Khalaf memberikan rincian sebagai berikut : tentang ibadah 130 ayat, keluarga 70 ayat, perdagangan 70 ayat, kriminal 30 ayat, hubungan Islam – non-Islam 25 ayat, peradilan 13 ayat, hubungan kaya – miskin 10 ayat, dan kenegaraan 10 ayat.[7]
Walaupun semua ayat al-Qur’an itu Qath’iy al-wurud, mutlak datangnya dari Allah, para ulama membaginya menjadi dua kelompok, yakni qath’iy al-dalalah, yang mempunyai pengertian mutlak sebagaimana disebut secara harfiah. Hal ini tidak ada perbedaan pendapat, seperti wajib shalat. Ayat-ayat yang mempunyai arti mutlak jumlahnya hanya sedikit. Dan dhanniy al-dalalah, yakni ayat yang tidak mutlak satu arti, boleh memiliki arti selain arti harfiahnya. Seperti yad Allah yang secara harfiah berarti tangan, meskipun tidak sama dengan tangan manusia, tetapi boleh juga diartikan kekuasaan Allah.
Jika semua ayat al-Qur’an itu qath’iy al-wurud dari Allah, tetapi jika semua hadits qath’iy al-wurud dari Nabi, yang mutlak dari Nabi diterima oleh semua ulama, tetapi hanya sedikit jumlahnya, sedang yang banyak adalah yang dhanniy al-wurud yang tidak semua ulama menerimanya.[8]
IV. PENAFSIRAN
Karena sifat dasar ayat-ayat al-Qur’an hanya mengandung ajaran-ajaran dasar, banyak berbentuk zanniy al-dalalah dan hanya sedikit yang qat’iy al-dalalah, maka ayat-ayat tentang hidup kemasyarakatan membutuhkan penafsiran dan penjelasan, seperti juga terjadi pada bidang lain. Seperti al-Qur’an membolehkan orang Islam menikahi wanita ahl al-kitab, tetapi karena tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang ahl al-kitab mana yang dimaksud, maka timbul penafsiran dan perbedaan pendapat tentang arti ahl al-kitab tersebut.[9]
Berkaitan dengan sistem perekonomian modern, tidak terlepas dari keikutsertaan perbankan di dalamnya. Setiap jenjang aktivitas dari tingkat yang paling bawah sampai paling atas akan selalu menyertakan partisipasi bank.[10] Timbul permasalahan tentang haram atau tidaknya bunga bank. Al-Qur’an secara tegas mengharamkan riba, apakah bunga bank termasuk dalam kategori riba. Bagi yang menganggap bunga bank termasuk kategori riba mengharamkannya, dan yang menganggap bukan riba tidak mengharamkannya. Perbedaan pendapat ini karena al-Qur’an tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud riba.[11]
Masalah keimanan, yang timbul pertama dalam masalah ini adalah pembuat dosa besar, adakah ia masih mu’min, masih Islam atau tidak? Bagi Khawarij, berpendapat mereka bukan mu’min lagi, dan sudah menjadi kafir serta keluar dari Islam. Pihak Murji’ah berpendapat mereka tetap mu’min, masih Islam dan tidak kafir. Bagi Mu’tazilah mereka tidak mu’min, tidak kafir, tetapi hanya muslim. Sebab orang mu’min adalah orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan ajaran Islam, sedang muslim adalah orang yang hanya mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak melaksanakan ajaran Islam.[12] Perbedaan pendapat ini karena dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang memerinci dan memberi definisi tentang siapa yang mu’min dan kafir. Ayat al-Qur’an hanya menyebutkan iman meliputi kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab, dan hari hisab di akhirat.[13]
Karena ayat-ayat al-Qur’an hanya mengandung ajaran dasar, dan banyak yang berbentuk zanniy al-dalalah, serta tidak ditemukan ketentuan permasalahannya dalam hadits, maka merupakan ladang rasio untuk memberikan penafsiran dan penjelasan, baik terhadap ayat-ayat tentang kehidupan kemasyarakatan maupun dalam bidang lainnya, yang sudah tentu dapat berakibat perbedaan pendapat. Penafsiran dan penjelasan ulama ini bersifat relatif dan tidak mutlak, dapat berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang ada. Adapun yang tidak dapat berubah dan diubah adalah ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits.[14]
Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran dan penjelasan itu mengambil bentuk mazhab-mazhab dan aliran-aliran, yang kadang-kadang tidak hanya berbeda pendapat, tetapi juga dapat saling bertentangan. Keadaan ini dapat dimengerti, sebab para imam mazhab tidak pernah menyatakan bahwa sistem pengambilan hukumnyalah yang final dan wajib diikuti, dan tidak pernah bermaksud menjadikan sistem-sistem itu mengikat kaum muslimin pada generasi berikutnya.[15] Dalam memahami al-Qur’an, al-Ghazali menyatakan bahwa orang boleh melakukan penyimpulan sesuai dengan kadar pemahaman dan kemampuan akalnya,[16] manakala orang telah memenuhi persyaratan yang diperlukan.
Khalifah Umar tidak melakukan hukuman potong tangan terhadap seorang pencuri, seperti ayat 38 surat al-Maidah, dengan alasan pencurian itu terjadi dalam suasana perekonomian yang buruk dan masyarakat sedang dilanda musibah kelaparan.[17] Terhadap hukuman potong tangan, bagi kelompok teologi tradisional banyak terikat pada penafsiran harfiah, sedang pihak rasional banyak menggunakan penafsiran metaforis, yakni mencegah orang dari mencuri, seperti di penjara dengan diberi latihan ketrampilan agar dapat mencari nafkah secara halal. Perubahan ini karena ayat tersebut tidak menjelaskan arti “potong tangan”.[18]
Contoh lain, soal nikah dan cerai, pada masa lampau banyak bergantung pada pihak pria, sebab saat itu wanita mempunyai kedudukan lemah. Tetapi setelah adanya emansipasi wanita pada zaman modern ini timbul ijtihad baru dan timbul pula ajaran baru bahwa cerai tidak terletak di tangan suami, tetapi di tangan Pengadilan Agama, dan dalam mengambil keputusan suara istri di dengar untuk dijadikan pertimbangan, sama dengan suara suami. Dan suami tidak sekehendak hatinya untuk dapat mengambil istri tambahan, tetapi harus seijin istri yang telah ada. Dahulu, umumnya menyatakan bahwa sistem pernikahan dalam Islam adalah poligami, tetapi dewasa ini mengambil bentuk monogami sesuai dengan perkembangan zaman dan emansipasi wanita.[19]
Penafsiran dan pendapat semacam itu pada hakekatnya juga merupakan hasil ijtihad yang bersifat relatif, tidak mutlak, dapat berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman atas dasar keterbukaan dan rasional. Untuk pengajaran agama yang berorientasi pada masa lampau dan berpegang ketat pada tradisi lama harus diubah dengan yang berorientasi pada masa depan dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran dasar al-Qur’an dan hadits, sehingga masyarakat Islam dapat menciptakan dirinya sebagai suatu tata sosial yang sehat, progresif, bermoral, dan dapat survive serta dinamis.
V. KESIMPULAN
1. Jika timbul permasalahan di kalangan kaum muslimin, baik permasalahan ibadah maupun sosial, mereka menyelesaikannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits. Tetapi jika penyelesaiannya tidak terdapat pada kedua sumber itu, mereka menggunakan ra’yu.
2. Ayat-ayat al-Qur’an umumnya mengandung ajaran dasar, tanpa rincian. Dan ayat-ayat al-Qur’an ada yang berbentuk qat’iy al-dalalah yang mempunyai arti mutlak secara harfiah, dan ada yang zanniy al-dalalah yang boleh mempunyai arti selain harfiahnya.
3. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung ajaran dasar dan yang berbentuk zanniy al-dalalah yang jumlahnya lebih banyak, maka diperbolehkan mengadakan penafsiran, termasuk ayat-ayat tentang kemasyarakatan dan lainnya.
4. Penafsiran dan pendapat terhadap ayat-ayat tersebut, hakekatnya merupakan hasil ijtihad yang kemudian mengambil bentuk mazhab-mazhab atau aliran-aliran menilai-nilai tidak mutlak dan tidak mengikat, dapat berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam membahas masalah metode berpikir keislaman, harus berpangkal dari awal perkembangan Islam itu sendiri, sehingga dapat memberikan gambaran dibandingkan dengan masa-masa sesudahnya yang senantiasa timbul permasalahan baru yang belum terdapat pada masa Nabi Muhammad saw masih hidup.
II. MASA NABI MUHAMMAD SAW DAN SEPENINGGALNYA
Ketika Nabi Muhammad saw masih hidup, pemeluk Islam masih sedikit jumlahnya. Jika timbul permasalahan, baik permasalahan ibadah maupun permasalahan sosial, langsung dapat ditanyakan kepada Nabi tentang cara mengatasi dan menyelesaikannya. Dalam keadaan demikian biasanya turun wahyu,[1] jika tidak turun wahyu mengenai permasalahan yang bersangkutan kadang-kadang Nabi menyelesaikan dengan pendapatnya, dan kadang-kadang dimusyawarahkan dengan para sahabatnya.[2]
Setelah Nabi wafat, jika timbul permasalahan baru, maka para sahabat yang menjadi panutan umat mencari penyelesaiannya dalam al-Qur’an dan hadits yang memiliki otoritas dan menjadi pegangan kaum muslimin.
Permasalahan pertama yang timbul adalah siapa pengganti Nabi setelah wafat sebagai kepala negara. Dalam hal ini para sahabat, baik pihak Ansar maupun Muhajirin mengadakan musyawarah untuk mengatasi dan menyelesaikannya, yang dalam al-Qur’an tidak ada petunjuknya, dan permasalahan semacam ini belum pernah terjadi pada saat Nabi masih hidup. Maka dalam permusyawarahan itu masing-masing pihak mengajukan argumentasinya, dan yang paling kuat adalah argumentasi yang memiliki referensi yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits. Pihak Muhajirin menggunakan referensi : Al-Aimmah min Quraisyin, dan merujuk pada saat Nabi tidak dapat mengimami shalat dan mewakilkannya kepada Abu Bakar, sehingga Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah pertama.[3] Demikianlah kaum muslimin periode Madinah menyelesaikan permasalahannya, sebagaimana Nabi, mereka menggunakan ijtihad atau ra’yu dalam menghadapi permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits.[4]
Permasalahan-permasalahan kaum muslimin akan semakin kompleks setelah wilayah kekuasaan Islam meluas ke luar Semenanjung Arabia, masyarakat wilayah kekuasaan Islam sudah tidak lagi homogen, tetapi sudah demikian heterogen, terdiri dari berbagai etnis dan agama terutama agama Nasrani, Yahudi dan Zoroaster, dan bahasanya pun berbeda-beda. Untuk mengatasi permasalahan yang kompleks itu dan tidak pernah terjadi pada masa sebelumnya, mereka kembali kepada al-Qur’an dan hadits. Hanya saja dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan itu tidak semua terdapat dalam al-Qur’an maupun hadits. Lebih lagi permasalahan itu berkaitan dengan permasalahan sosial kemasyarakatan yang demikian kompleks dan belum pernah terjadi pada masa Nabi.[5]
III. QAT’IY AL-DALALAH DAN DHANNY AL-DALALAH
Pada umumnya ajaran al-Qur’an berbentuk global, tanpa rincian dan cara pelaksanaannya, baik yang berkaitan dengan permasalahan ukhrawi maupun duniawi. Seperti salat, ayat-ayat al-Qur’an hanya memerintahkan melaksanakannya, tetapi cara, kapan, dan berapa kali dilaksanakan dapat diketahui dari hadits.[6] Itu permasalahan ibadah, lebih lagi permasalahan duniawi.
Tentang globalitas ajaran al-Qur’an, para ulama memperkirakan sekitar 500 ayat dari seluruh ayat yang berjumlah lebih dari 6000 ayat. Abd al-Wahab Khalaf memberikan rincian sebagai berikut : tentang ibadah 130 ayat, keluarga 70 ayat, perdagangan 70 ayat, kriminal 30 ayat, hubungan Islam – non-Islam 25 ayat, peradilan 13 ayat, hubungan kaya – miskin 10 ayat, dan kenegaraan 10 ayat.[7]
Walaupun semua ayat al-Qur’an itu Qath’iy al-wurud, mutlak datangnya dari Allah, para ulama membaginya menjadi dua kelompok, yakni qath’iy al-dalalah, yang mempunyai pengertian mutlak sebagaimana disebut secara harfiah. Hal ini tidak ada perbedaan pendapat, seperti wajib shalat. Ayat-ayat yang mempunyai arti mutlak jumlahnya hanya sedikit. Dan dhanniy al-dalalah, yakni ayat yang tidak mutlak satu arti, boleh memiliki arti selain arti harfiahnya. Seperti yad Allah yang secara harfiah berarti tangan, meskipun tidak sama dengan tangan manusia, tetapi boleh juga diartikan kekuasaan Allah.
Jika semua ayat al-Qur’an itu qath’iy al-wurud dari Allah, tetapi jika semua hadits qath’iy al-wurud dari Nabi, yang mutlak dari Nabi diterima oleh semua ulama, tetapi hanya sedikit jumlahnya, sedang yang banyak adalah yang dhanniy al-wurud yang tidak semua ulama menerimanya.[8]
IV. PENAFSIRAN
Karena sifat dasar ayat-ayat al-Qur’an hanya mengandung ajaran-ajaran dasar, banyak berbentuk zanniy al-dalalah dan hanya sedikit yang qat’iy al-dalalah, maka ayat-ayat tentang hidup kemasyarakatan membutuhkan penafsiran dan penjelasan, seperti juga terjadi pada bidang lain. Seperti al-Qur’an membolehkan orang Islam menikahi wanita ahl al-kitab, tetapi karena tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang ahl al-kitab mana yang dimaksud, maka timbul penafsiran dan perbedaan pendapat tentang arti ahl al-kitab tersebut.[9]
Berkaitan dengan sistem perekonomian modern, tidak terlepas dari keikutsertaan perbankan di dalamnya. Setiap jenjang aktivitas dari tingkat yang paling bawah sampai paling atas akan selalu menyertakan partisipasi bank.[10] Timbul permasalahan tentang haram atau tidaknya bunga bank. Al-Qur’an secara tegas mengharamkan riba, apakah bunga bank termasuk dalam kategori riba. Bagi yang menganggap bunga bank termasuk kategori riba mengharamkannya, dan yang menganggap bukan riba tidak mengharamkannya. Perbedaan pendapat ini karena al-Qur’an tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud riba.[11]
Masalah keimanan, yang timbul pertama dalam masalah ini adalah pembuat dosa besar, adakah ia masih mu’min, masih Islam atau tidak? Bagi Khawarij, berpendapat mereka bukan mu’min lagi, dan sudah menjadi kafir serta keluar dari Islam. Pihak Murji’ah berpendapat mereka tetap mu’min, masih Islam dan tidak kafir. Bagi Mu’tazilah mereka tidak mu’min, tidak kafir, tetapi hanya muslim. Sebab orang mu’min adalah orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan ajaran Islam, sedang muslim adalah orang yang hanya mengucapkan dua kalimat syahadat dan tidak melaksanakan ajaran Islam.[12] Perbedaan pendapat ini karena dalam al-Qur’an tidak ada ayat yang memerinci dan memberi definisi tentang siapa yang mu’min dan kafir. Ayat al-Qur’an hanya menyebutkan iman meliputi kepercayaan kepada Tuhan, malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab, dan hari hisab di akhirat.[13]
Karena ayat-ayat al-Qur’an hanya mengandung ajaran dasar, dan banyak yang berbentuk zanniy al-dalalah, serta tidak ditemukan ketentuan permasalahannya dalam hadits, maka merupakan ladang rasio untuk memberikan penafsiran dan penjelasan, baik terhadap ayat-ayat tentang kehidupan kemasyarakatan maupun dalam bidang lainnya, yang sudah tentu dapat berakibat perbedaan pendapat. Penafsiran dan penjelasan ulama ini bersifat relatif dan tidak mutlak, dapat berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang ada. Adapun yang tidak dapat berubah dan diubah adalah ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits.[14]
Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran dan penjelasan itu mengambil bentuk mazhab-mazhab dan aliran-aliran, yang kadang-kadang tidak hanya berbeda pendapat, tetapi juga dapat saling bertentangan. Keadaan ini dapat dimengerti, sebab para imam mazhab tidak pernah menyatakan bahwa sistem pengambilan hukumnyalah yang final dan wajib diikuti, dan tidak pernah bermaksud menjadikan sistem-sistem itu mengikat kaum muslimin pada generasi berikutnya.[15] Dalam memahami al-Qur’an, al-Ghazali menyatakan bahwa orang boleh melakukan penyimpulan sesuai dengan kadar pemahaman dan kemampuan akalnya,[16] manakala orang telah memenuhi persyaratan yang diperlukan.
Khalifah Umar tidak melakukan hukuman potong tangan terhadap seorang pencuri, seperti ayat 38 surat al-Maidah, dengan alasan pencurian itu terjadi dalam suasana perekonomian yang buruk dan masyarakat sedang dilanda musibah kelaparan.[17] Terhadap hukuman potong tangan, bagi kelompok teologi tradisional banyak terikat pada penafsiran harfiah, sedang pihak rasional banyak menggunakan penafsiran metaforis, yakni mencegah orang dari mencuri, seperti di penjara dengan diberi latihan ketrampilan agar dapat mencari nafkah secara halal. Perubahan ini karena ayat tersebut tidak menjelaskan arti “potong tangan”.[18]
Contoh lain, soal nikah dan cerai, pada masa lampau banyak bergantung pada pihak pria, sebab saat itu wanita mempunyai kedudukan lemah. Tetapi setelah adanya emansipasi wanita pada zaman modern ini timbul ijtihad baru dan timbul pula ajaran baru bahwa cerai tidak terletak di tangan suami, tetapi di tangan Pengadilan Agama, dan dalam mengambil keputusan suara istri di dengar untuk dijadikan pertimbangan, sama dengan suara suami. Dan suami tidak sekehendak hatinya untuk dapat mengambil istri tambahan, tetapi harus seijin istri yang telah ada. Dahulu, umumnya menyatakan bahwa sistem pernikahan dalam Islam adalah poligami, tetapi dewasa ini mengambil bentuk monogami sesuai dengan perkembangan zaman dan emansipasi wanita.[19]
Penafsiran dan pendapat semacam itu pada hakekatnya juga merupakan hasil ijtihad yang bersifat relatif, tidak mutlak, dapat berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman atas dasar keterbukaan dan rasional. Untuk pengajaran agama yang berorientasi pada masa lampau dan berpegang ketat pada tradisi lama harus diubah dengan yang berorientasi pada masa depan dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran dasar al-Qur’an dan hadits, sehingga masyarakat Islam dapat menciptakan dirinya sebagai suatu tata sosial yang sehat, progresif, bermoral, dan dapat survive serta dinamis.
V. KESIMPULAN
1. Jika timbul permasalahan di kalangan kaum muslimin, baik permasalahan ibadah maupun sosial, mereka menyelesaikannya berdasarkan al-Qur’an dan hadits. Tetapi jika penyelesaiannya tidak terdapat pada kedua sumber itu, mereka menggunakan ra’yu.
2. Ayat-ayat al-Qur’an umumnya mengandung ajaran dasar, tanpa rincian. Dan ayat-ayat al-Qur’an ada yang berbentuk qat’iy al-dalalah yang mempunyai arti mutlak secara harfiah, dan ada yang zanniy al-dalalah yang boleh mempunyai arti selain harfiahnya.
3. Ayat-ayat al-Qur’an yang mengandung ajaran dasar dan yang berbentuk zanniy al-dalalah yang jumlahnya lebih banyak, maka diperbolehkan mengadakan penafsiran, termasuk ayat-ayat tentang kemasyarakatan dan lainnya.
4. Penafsiran dan pendapat terhadap ayat-ayat tersebut, hakekatnya merupakan hasil ijtihad yang kemudian mengambil bentuk mazhab-mazhab atau aliran-aliran menilai-nilai tidak mutlak dan tidak mengikat, dapat berubah dan diubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah METODE BERPIKIR KEISLAMAN DAN RELEVANSINYA DENGAN PROBLEM KEMASYARAKATAN oleh: makalah-ibnu, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar