Mari Bangkit!
Prito Windiarto*
Bangkit. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ia mengandung arti di antaranya, 1. bangun (dr tidur, duduk) lalu berdiri. 2. bangun (hidup) kembali: 3. timbul atau terbit (tt marah). Ia nya identik dengan bangun dari sesuatu. Dalam hal ini tentu saja menuju yang lebih baik. Dan kini, 20 Mei 2012 kita akan memperingati 104 tahun hari kebangkitan nasional. Jika diartikan secara bebas, bolehlah kita menyebutnya sebagai peringatan hari “bangun nya” bangsa ini dari “lelap tidur panjang”.
Ya. Pada tanggal 20 Mei itu, 104 tahun lalu, berdirilah sebuah organisasi modern pertama Indonesia, Budi Utomo. Organisasi yang bervisi nasional. Inilah awal dari bangkitnya kesadaran, bangunnya keinsyafan bangsa kita (setelah seakan tertidur panjang), bahwa kita harus bersatu padu, berjuang bersama menuju kemerdekaan. Beriring satu tujuan demi kesejahteraan. Dan kelak, kemudian hari, bertahun kemudian, kemerdekaan yang diharapkan diraih, 17 Agustus 1945 tepatnya.
Kini, 104 tahun kemudian, masih relevankah kita memperingati hari kebangkitan nasional? Jawabannya ya. Tentu saja. Masalahnya akhir-akhir ini, entah kenapa, bangsa ini sepertinya malah kembali terhunyung ‘tertidur’. Dalam berbagai lini kita amat tertinggal, bahkan dari negara tetangga sekalipun. Pendidikan, kesejahteraan, kesehatan, dan aspek lainya kita terhempas di belakang. Kita sepertinya di’ninaboko’kan keadan. Korupsi menjadi budaya. Anarkisme menjadi pemandangan sehari-hari. Kemelorotan moral menghantam tanpa ampun. Bangsa ini seperti berjalan mundur, menuju “tidur panjang”. Ini tak boleh dibiarkann!
Peringatan hari kebangkitan nasional ini pada gilirannya diharapkan bisa menggugah seluruh elemen bangsa untuk benar-benar bangun, bangkit dari keterpurukan. Diperingati bukan sekedar seremonial, nihil makna. Ia nya harus menjadi titik tolok, lecutan untuk lebih baik lagi. Kita harus memaknainya mendalam kemudian mengaplikasikannya dengan kerja memajukan bangsa, sekemampuan kita, sesuai peran yang bisa dikontribusikan.
Peringatan hari kebangkitan nasional tahun ini terasa spesial. Wallahu ‘alam. Atas skenarioNya, tangal 09 Mei lalu kita dikejutkan dengan kecelakaan pesawat Sukhoi Superjet 100 yang menewaskan puluhan orang. Ini bisa jadi, bentuk ujian lain dariNya. Seberapa mampu kita bangkit. Seberapa bisa kita tak larut dalam kesedihan. Selayak kata pepatah bijak, “Masalah terbesarnya, bukanlah seberapa banyak kita jatuh, tetapi seberapa kita bisa bangkit kembali setelah terjatuh!”
Mari bangkit!
*Mahasiswa Diksatraria, FKIP, Universitas Galuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar