Ijtihad Maqashidy . Seluruh problema masyarakat yang timbul selalu menuntut pemecahan dan jawaban yang tepat dari kedua sumber ajaran dasar tersebut. Oleh sebab itu, saat itu para ulama mengembangkan metodologi ijtihad seperti Qiyas (analogi), Ijma' (kespakatan), Istishhâb (pemberlakuan hukum asal sebelum ada ketentuan lain yang mengubahnya), Istihsan (bentuk lain dari qiyas/ pengunaan ketentuan yang bersifat khusus karena ada hal–hal yang prinsipil) dan Mashlahah Mursalah (kemaslahatan yang secara tegas tidak didukung nash tertentu, tetapi mendapat dukungan dari makna sejumlah ayat). Metodologi inilah yang pada mulanya berperan dalam penjabaran dan penafsiran kedua sumber tersebut untuk menjawab setiap persoalan baru.
Namun metodologi–metodologi yang ada (seperti Qiyas) memiliki berbagai kekuranga. Sebagai contoh Qiyas mempunyai keterbatasan Tamâtsil atau Tasyâbuh (perumpamaan) dan ‘illah (washfu)nya. Adapun istihsan terdapat perdebatan antara Imam Abu Hanifah serta pengikutnya dengan Imam Syafi’i. Imam Abu Hanifah mengunakan metode ini karena ia menganggap sebagai bentuk lain dari Qiyas, sedangkan Imam Syafi’i menolaknya dan bahkan menganggap penggunaan istihsan sebagai upaya merekayasa hukum (Man istahsana faqad syara’a). Adapun metode Istishab, ia juga masih diperdebatkan. Ulama Hanafiyah menggunakan istishab untuk menolak sesuatu bukan untuk menetapkan sesuatu. Sedangkan Jumhur Ulama menetapkan, bahwa Istishab sangat cocok untuk menerima maupun untuk menolak sesuatu hukum.
Oleh karena itu, perlu kiranya menggunakan metodologi Ijtihâd Maqâshidî yang bersandarkan pada Maqashid Syari’ah (Maqâshid Syarî’ dan Maqâshid ‘Ibâd). Jumhur ulama sepakat bahwa dalam mensyari'atkan sebuah hukum, Allah SWT tidak pernah melepaskannya dari Maqâshid 'Âmmah (umum). Maqâshid ini merujuk pada Jalbu Manafi' Lin al-Nâs (mendatangkan manfaat untuk kemaslahatan manusia) dan Daf'u Mafâsid 'Anhum (menghindari kerusakan terhadap mereka).
Penguasaan terhadap Maqashid menjadi faktor penting dalam memahami Nushûs al-Syarî'ah (teks hukum) serta mengaplikasikannya terhadap waqa'i (persoalan yang terjadi), termasuk persoalan baru yang tidak ditemukan nashnya. Sudah semestinya, agar sebelum mengambil konklusi hukum dari dalil juz'i, para mujtahid harus mengetahui Asrâr al-Syarî'ah dan Maqâshid 'Âmmah yang ditetapkan oleh Syara. Hal ini dikarenakan: Pertama, Dalâlah Alfâzh (pesan teks) dan ungkapan-ungkapan makna yang beragam bentuk. Untuk mentarjih salah satu dari macam–macam bentuk itu, digunakanlah prinsip Maqâshid Syâri' (pembuat hukum: Allah). Kedua, adapun dalil-dali juz'i yang padanya terdapat ta'arudh (kontradisksi) pada sebagian perintah zhahir, membutuhkan petunjuk yang bisa memilah mana yang pas dan mana yang tidak. Oleh sebab itu, maka untuk dapat melakukannya, digunakannlah metode Maqashid dan pengetahuan Asrâr al-Syarî'ah. Ketiga, sebagian waqâ'i (kasus yang terjadi) tidak dijelaskan oleh 'ibârat (ungkapan) nash. Oleh sebab itu, untuk dapat mengetahui hukum di dalamnya membutuhkan qiyas dan mashlahah mursalah atau metode lainnya. Hal itu tidak mungkin dilakukan kecuali dengan menggunakan pemahaman Asrâr al-Syarî'ah dan Maqâshid 'Âmmah. Asrâr al-Syari’ah adalah rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh Syara, berupa kemaslahatan, keadilan, kebahagian umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Oleh sebab itu, maka penyimpangan terhadap prinsip-prinsip ini berarti menyalahi cita- cita syari’ah.[1]
Pandangan ini juga diulas oleh para pakar sekaliber al-Ghazali (w.505H/1111M),[2] Fakhrudin al-Razi (w.606H), Izzuddin Abd al-Salam (w.660H),[3] Syihabuddin al-Qarrafi (w.685H),[4] Najmuddin a-Thufi (w.716H)[5] dan Abu Ishaq al-Syatibi (w.790H),[6] hingga Muhammad bin Thahir bin 'Asyur (w.1393H/1973M),[7] Alla al-Fasi (w.1393H/1973M)[8] dan lain-lain. Mereka sepakat, bahwa sesungguhnya Syariat Islam tidak memiliki tujuan lain kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan universal (jalbu al-Mashâlih) dan menolak segala bentuk kerusakan (Dar'u al-Mafâsid). Sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa Syari'at Islam dibangun untuk kebahagian manusia di dunia dan diakhirat, sepenuhnya mencerminkan kemaslahatan tadi.[9]
Ada beberapa alasan yang di kemukakan ulama ushul figh dalam menetapkan bahwa setiap hukum islam itu terdapat tujuan yang hendak dicapai oleh Syarak, diantaranya adalah firman Allah yang artinya :
"(Mereka kami utus) selaku Rasul-Rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah Swt sesudah diutusnya Rasul- Rasul …". (Surat al-Nisa: 165).
Kandungan ayat ini menunjukkan bahwa dalam menentukan hukum-hukum-Nya, Allah SWT senantiasa menghendaki sesuatu yang bermaNfaat bagi manusia, sehingga apabila hal tersebut tidak diusahakan manusia, maka ia akan merugi. inilah makna yang terkandung dari diutusnya para Rasul bagi manusia.
Jadi sederhananya begini, Syârî (Pembuat hukum), mewajibkan berbagai macam ibadah seperti shalat dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah SWT, disyariatkan hukuman pelaku zina untuk memelihara kehormatan dan keturunan, disyariatkan hukuman meminum minuman keras untuk memelihara akal serta disyariatkan qishas untuk memelihara jiwa seseorang dan sebagainya.
Imam Syatibi menyatakan bahwa untuk mewujudkan kemaslahatan dunia akhirat, ada lima hal pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara. Dengan mewujudkan dan memelihara kelima pokok tersebut, seorang mukallaf akan mendapat kebahagian dunia dan akhirat. Berdasarkan hasil induksi ulama ushul terhadap berbagai nash, kelima masalah pokok itu adalah: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda. Lima kemaslahatan pokok ini, wajib dipelihara sesorang dan untuk itu pula didatangkan syari'at yang mengandung perintah, larangan, dan izin yang harus dipatuhi setiap mukallaf. Dalam mewujudkan dan memelihara kelima pokok di atas, ulama Ushul Fiqh mengkategorikannya dalam beberapa tingkatan, sesuai dengan kualitas kebutuhannya. Tiga kategori itu adalah: kebutuhan al-Dharûriyyah (Primer), kebutuhan al-Hâjiyyah (sekunder), kebutuhan al-Tahsînah (tersier, lux).
Penjelasannya sebagai berikut:
1. Kebutuhan al-Dharûriyyah (Primer) adalah kemaslahatan mendasar yang menyangkut dalam melindungi eksistensi kelima pokok diatas yaitu : agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta .[10]
2. Kebutuhan al-Hâjiyyah (sekunder). Tujuannya sama dengan al-Dharûriyyah, namun kadar kebutuhannya berada di bawahnya. Tidak terpeliharanya kebutuhan al-Hâjiyyah tidak menyebabkan terancamnya eksistensi lima pokok tersebut, tetapi membawa kepada kesempitan dan kepicikan, baik dalam usaha mewujudkan maupun dalam pelaksanaannya. Sedangkan dalam ajaran Islam kesempitan dan kepicikan perlu disinggkirkan, sebagaimana firman Allah SWT: " …Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu ….( QS: al-Baqarah: 185 ).
3. Kebutuhan al-Tahsînah adalah untuk mewujudkan dan memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan kualitas lima pokok tadi. Akibat tidak terpenuhi kebutuhan ini adalah dapat menyalahi kepatutan dan menurunkan martabat pribadi masyarakat. Contoh dalam memelihara diri, jiwa manusia terikat sopan santun, makan atau minum jangan berlebihan, dalam memelihara keturunan terikat dengan tata cara pergaulan rumahtangga dsb.
Imam Syatibi menilai arti penting Maqashid Syari'ah, terlihat dengan jelas dalam hukum yang terkait dengan persoalan muamalah atau yang disebut oleh para ahli ushul fiqih dengan persoalan Ma'qûlât al-Ma'nâ (kasus yang dapat dilacak 'illat (causa hukum) dan tujuan hukumnya). Dalam bidang inilah berlaku kaidah yang menyatakan: Hukum itu ditentukan tergantung pada ada atau tidak adanya 'illat hukum tersebut. Jika ada 'illatnya, maka hukum pun ada. Tetapi jika 'illatnya hilang, maka hukum pun akan hilang. Dengan demikian, hukum–hukum itu tergantung pada roh tasyri' atau Asrâr Syarî'ahdan tidak semata–mata bergantung kepada bentuk harfiyahnya. Hal ini menurut 'Allal al-Fasi, terlihat jelas dalam kasus daging qurban yang telah disinggung sebelumnya.
Dalam lingkup ijtihad maqashidi ini, Imam Syatibi membagi dua bentuk ijtihad, yaitu ijtihad istinbathi dan ijtihad tatbiqi. Dalam kajian Maqashid Syari'ah, ijtihad maqashidi dilakukan untuk mengetahui secara teliti inti masalah yang terkandung dalam nash (teks), inti permasalahan ini selanjutnya dijadikan tolok ukur terhadap suatu nash yang ditentukan hukumnya, kemudian untuk menerapkan inti masalah (ide hukum) yang terdapat dalam nash itu kepada suatu permasalahan yang konkrit, diperlukan ijtihad lain yaitu ijtihad tathbiqî atau disebut dengan Tahqîq al-Manâth ('illah). Ijtihad seperti inilah—menurut penulis—yang berperan dalam mengantisipasi perubahan sosial di sepanjang zaman dan tempat.
Dalam ijtihad tathbiqi, kajian yang dilakukan seorang mujtahid tidak lagi berkaitan dengan nash (teks) melainkan adalah objek hukum tempat ide hukum itu akan diterapkan yang tidak terlepas dari dari berbagai kondisi yang mengitarinya. Dengan demikian, kasus–kasus tadi dipandang mirip dengan yang dikandung oleh al-Qur'an. Setelah diteliti dan dianalisis secara mendalam, bisa jadi hukumnya tidak sama dengan yang dikandung oleh al-Qur'an.
Jadi, ada tiga hal penting yang menjadi perhatian dalam menerapkan (tatbiq) Ijtihad Maqashidy. Hasil induksi dari pandangan Imam Syatibi di antaranya adalah :
a.) Tahqîq al-Manâth (‘illah) al-Khas[11] .
b.) I’tibâr (revert) dampak yang ditimbulkan.
c.) Mura’ât at-Taghyîrât (observasi terhadap perubahan).
Untuk lebih mempermudah memahami Ijtihad Maqashidi, penulis akan mengemukakan contoh kasus hukum yang dihasilkan dengan menggunakan metode ini:
a. Persaksian dengan dua orang saksi yang adil sebagaimana firman Allah:
Artinya :…Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kalin…. (QS: al-Thalaq ayat: 2).
Ayat ini memberi petunjuk bahwa orang yang akan dijadikan saksi itu haruslah adil. Dalam kaitan ini, seorang mujtahid harus meneliti lebih dahulu sifat adil yang ditentukan oleh al-Qur'an tersebut. Dalam penerapannya juga harus diteliti siapa sajakah yang memiliki sifat keadilan yang dimaksud oleh al-Qur'an itu? Karena yang menjadi objek kajian ijtihad maqashidi adalah manusia yang selalu berubah dan berkembang, maka bisa jadi seseorang pada suatu waktu dinilai bersifat adil sehingga ia dapat dijadiakan saksi sesuai dengan tuntutan ayat di atas; dan bisa juga orang yang sama pada waktu lain tidak memiliki sifat keadilan itu lagi, sehingga ia tidak layak lagi dijadikan saksi sesuai tuntutan al-Qur'an tersebut. Namun demikian, ajaran Islam menuntut bahwa seseorang yang akan menjadi saksi itu harus bersifat adil tidak pernah berubah (konsisten) hanya saja dalam penerapannya, kadang-kadang ditemui sifat itu pada orang tertentu dan di waktu lain, ia tidak ada lagi padanya. Maka, apabila ditemukan seseorang yang bersifat adil sebagaimana yang dituntut al-Qur'an, menurut penulis, dan kemudian menjadikannya sebagai saksi, maka barulah mujtahid bisa menerapkan ide al-Qur'an secara benar.
b. Aborsi korban perkosaan.
Tindakan kriminal yang menyisakan kepedihan yang mendalam dari pihak korban (dalam hal ini perempuan korban perkosaan), bahkan tak jarang merusak stabilitas kejiwaannya yang berujung pada tidakan nekad dengan menggugurkan janin tersebut. Konsekuensinya hukum pun dalam memutuskan perkara ini menghadapi dilema.
Terdapat perbedaan pendapat dalam kasus pengguguran ini, berupa perbedaan dalam menentukan muddah (masa) hamil. Jika masa kehamilan kurang dari 4 bulan, maka boleh digugurkan dengan syarat kandungan belum terbentuk. Hal ini dengan maksud mencegah timbulnya persoalan kejiwaan dan kondisi yang membahayakan korban, serta adanya keyakinan tindakan tersebut dapat memulihkan kondisi korban dari bekas tindakan kriminal tersebut. Sedangkan kalau masa kehamilan melebihi 4 bulan, maka hal pertama yang perlu diperhatikan adalah memastikan kondisi korban secara medis dan psikis sebelum masa kehamilan terus bertambah. Jika keduanya menunjukkan gejala yang yang mengkuatirkan, maka:
Dapat diketahui kondisi tersebut termasuk dalam, karena secara umum diketahui bahwa penyakit kejiwaan juga akan akan menimbulkan penyakit pisik. Dalam hal ini, ada 2 kemudharatan yang bertentangan: mudharat yang akan diderita korban apabila janin tidak digugurkan dan, kemudharatan bagi janin apabila korban diselamatkan. Dalam kondisi ini, menggunakan kaidah ushuliyyah: "Apabila terdapat dua kemudharatan, maka yang diambil adalah yang lebih kecil kemudharatannya" serta menimbang firman Allah dalam surat al-An’am ayat 151:
”… Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar …”
Maka, pengguguran pada kondisi ini termasuk , tindakan tersebut sesuai prosedur yang diinginkan oleh ijtihad maqashidi dan hal itu dapat dibenarkan.
4. Ijtihad Maqashidi Dalam Ijtihad Kontemporer
Karena permasalahan yang terjadi sebagai dampak kemajuan peradaban semakian kompleks, maka pendekatan secara metodologi pun perlu dirumuskan yang sesuai dengan karakteristik zamannya. Hal ini dapat dilihat dengan semakin hilangnya ta'asub (fanatic) terhadap mazhab, disertai dengan penggunaan metode berpikir dan sarana modern dalam berijtihad. Dr. Yusuf Qaradhawi menegaskan, bahwa ijtihad pada masa ini hendaknya dilakukan secara jama’i (kolektif). Ijtihad pada masa ini mempunyai corak tersendiri, di antaranya dapat dilihat dari beberapa gejala di bawah ini:
a. Kecendrungan pada Fiqh Muqâran (fikih perbandingan) dalam pembahasan persoalan fiqih.[13]
b. Berkembangnya metode penulisan fiqhiyyah.
c. Munculnya spesialisasi dalam fiqih al-Islam.
d. Penggunaan metodologi hukum (qanun) dalam Ta'lîf al-Fiqhi .
e. Munculnya Mausû'ah Fiqhiyyah (ensiklopedi hukum Islam).
f. Diadakannya seminar–seminar (muktamarât) dalam kajian fiqih Islami.
g. Terbentuknya Majma' Fiqhiyyah, dan itu merespon kebutuhan pada ijtihad jama'i (kolektif).
h. Penggunaan peralatan teknologi canggih [14]
Gejala–gejala di atas mencerminkan semangat dan prinsip ijtihad kontemporer, karena respons atas kondisi yang terus berkembang membutuhkan penyelesaian dengan menggunakan berbagai disiplin keilmuan, sehingga segala persoalan kekinian dapat dicarikan penyelesaiannya.
Ijtihad Maqashidi mempunyai orientasi keberpihakan kepada kemaslahatan manusia, yang merupakan tujuan utama Syara dengan cara Tahqîq al-Maslahah. Upaya untuk bisa pada hasil Tahqîq al-Maslahah yang mendekati kebenaran, otomatis membutuhkan pendekatan baru dan sarana penunjang sebagaimana gejala ijtihad di atas.
5. Penggunaan Ijtihad Maqashidi Dalam Majlis Tarjih Muhammadiyah
Lembaga ijtihad yang berada di bawah naungan organisasi Muhammadiyah ini, merupakan lembaga yang berfungsi membahas dan mengkaji persoalan yang berkaitan dengan ajaran Islam, khususnya persoalan hukum aktual yang terjadi di tengah masyarakat. Lewat lembaga inilah permasalahan hukum itu dikaji dan dieksplorasi, sehingga ditemukan dasar hukumnya.
Sebagai sebuah lembaga ijtihad, Majlis Tarjih menyadari bahwa tidak seluruh aturan Syariat Islam dapat diketahui secara langsung dari nash al-Qur'an (Nushûs Syarî'ah), melainkan banyak aturan–aturan syari'ah yang membutuhkan peran nalar (pemahaman) melalui istinbath hukum. Banyak Nushus Syari'ah membuka celah untuk mengistinbath hukum, baik dilihat dari kajian kebahasaan maupun esensi yang dikandungnya.[15]
Menurut penulis, penggunaan Ijtihad Maqashidy dalam Majlis Tarjih Muhammadiyah dapat dilihat dari prinsip–prinsip yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum dan produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga ini. Prinsip–prinsip tersebut adalah:
1. Merujuk (terutama kepada al-Qur'an dan Sunnah) dalam beristidhlal.
2. Menetapkan suatu keputusan dalam musyawarah.
3. Tidak terikat pada suatu mazhab fiqih, tetapi menjadikan pendapat para Imam Mazhab sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Qur'an dan Sunnah.
4. Terbuka, toleran dan tidak menganggap bahwa hanya keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah yang paling benar.
5. Hanya Menggunakan dalil–dalil yang mutawatir (hadits mutawatir) dalam masalah aqidah.
6. Tidak menolak ijma sahabat sebagai dasar keputusan.
7. Menggunakan cara al-Jam'u wa al-Taufîq (kompromi dalil) jika menemukan dalil yang mengandung ta'arudh (pertentangan secara zahir) dan kalau tidak bisa menempuh cara tersebut, maka melakukan tarjîh (menguatkan salah satu dalil).
8. menggunakan asas Sadd al-Dzarî'ah (menolak segala jalan yang membawa kepada kemudharatan) untuk menhindari adanya fitnah atau mafsadât.
9. Menggunakan ta'lil (menemukan 'illat sebagai dasar qiyas (analogi) untuk memahami kandungan dalil–dalil al-Qur'an dan Sunnah, sepanjang sesuai dengan tujuan Syari'ah.
10. Menggunakan dalil dalam menetapkan suatu hukum secara konprehensif, utuh, bulat, tidak terpisah-pisah.
11. Mentakhsis dalil-dalil al-Qur'an (dikhususkan) dengan hadits ahad kecuali dalam bidang aqidah.
12. Menggunakan prinsip taisîr (kemudahan)dalam mengamalkan ajaran Islam.
13. Menggunakan akal untuk memahami ibadah yang ketentuannya diperoleh dalam al-Qur'an dan Sunnah (sepanjang mengetahui latar belakang dan tujuannya). Meskipun akal bersifat nisbi (relatif), sehingga prinsip mendahulukan nash di atas akal bersifat fleksibel dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi.
14. Menggunakan akal demi tercapainya kemaslahatan ummat dalam hal-hal termasuk al-'Umûr al-Dunyâwiyyah (persoalan duniawi) yang tidak termasuk tugas Nabi Muhammad saw.
15. Menerima faham sahabat dalam memahami nash yang musytarak (bermakna ganda).
16. Mendahulukan makna zahir nash dari ta'wil dan menerima ta'wil para sahabat dalam masalah aqidah.
17. Menempuh cara ijtihad yang meliputi:
a. Ijtihâd Bayânî, yaitu ijtihad terhadap nash mujmal (global), baik karena lafal yang dimaksud belum jelas maupun karena lafal makna ganda, arti musytarak, mutasyabihat atau karena adanya dalil yang bertentangan.
b. Ijtihâd Qiyâsî, yaitu menyamakan hukum yang telah ditentukan oleh nash terhadap kasus hukumnya tidak ditentukan oleh nash atas dasar kesamaan 'illah kedua kasus tersebut .
c. Ijtihâd Istishlâhî, yaitu menetapkan hukum atas dasar kemaslahatan terhadap kasus yang hukumnya tidak ditentukan secara khusus oleh nash, ini ditetapkan atas dasar 'illat.
18. Dalam menggunakan hadits sebagai landasan hukum, menetapkan bahwa:
a. Hadits Mauquf (sanadnya terputus), tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika hadits itu dihukumkan marfu' (sanadnya bersambung sampai kepada Nabi saw)
b. Hadits Mursal Sahabi dapat dijadikan hujjah apabila dijumpai indikasi yang menunjukkan persambungan sanadnya (periwayatnya).
c. Hadits Mursal Tabi'i tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali ada indikasi yang menunjukan bahwa sanad hadits ini bersambung sampai kepada Nabi saw.
d. Hadits Dha'if yang saling menguatkan, tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali jika jalur periwayatnya banyak dan tidak bertentangan dengan hadits sahih dan ayat- ayat al-Qur'an.
e. Perawi, hadits jarh (mengemukakan cacat perawi) lebih didahulukan dari ta'adil (mengemukakan kebaikan–kebaikan perawi).
f. Periwayatan oleh orang–orang yang melakukan tadlîs (menyembunyikan cacat hadits, mudallas), dapat diterima apabila ada petunjuk bahwa hadits itu muttasil (sanadnya bersambung sampai kepada Nabi saw.)[16]
Prinsip–prinsip yang telah diuraikan di atas, tidak merujuk kepada salah satu metode istinbath dari Imam Mazhab yang empat, tetapi mengakomodasi keseluruhan ciri khas mazhab Ahlussunnah yang ada. Hal ini--menurut penulis—mencerminkan salah satu ciri ijtihad istinbathi kontemporer, serta lebih mengedepankan terwujudnya Maqâshid ‘Ibâd yang selaras dengan maqashid Syari’ dalam Ijtihâd Tathbîqî-nya bercirikan . Apa yang dilakukan Majlis Tarjih dengan mengakomodasi semua ciri khas tersebut dan menuangkannya dalam sebuah manhaj (metodologi) yang disebut dengan manhaj Majlis Tarjih[17] inilah yang penulis nilai sebagai bentuk dari penggunaan Ijtihad Maqashidi.
Sedangkan dari produk hukum Majelis Tarjih salah stu diantaranya : Majelis Tarjih mengharamkan sterilisasi dalam keluarga berencana (KB) karena cara sterilisasi baik melalui vasektomi maupun tubektumi . Hal itu tidak dibenarkan oleh ajaran islam karena mengakibatkan kemandulan tetap . ini sejalan dengan apa yang menjadi keinginan dari metodologi ijtihad maqashidy.
Secara prinsip metodologi yang digunakan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah, selama ini sudah mencerminkan semangat maqashidi. Namun begitu perlu kiranya lebih memperluas lapangan ijtihad dan lebih mengedepankan metodologi ini dalam memformulasi sebuah hukum yang ada di tengah ummat Islam, khususnya di bidang muamalah, karena persoalan yang muncul belakangan ini lebih banyak di bidang muamalah . Wallâhu A’lam.
Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Ijtihad Maqashidy, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar