Anak Berkelainan Mental Subnormal (Tunagrahita)

BAB I
PENDAHULUAN
Sesuai dengan fungsinya, mental (kecerdasan) bagi manusia merupakan pelengkap kehidupan yang paling sempurna adalah satu-satunya pembenar yang menjadi pembeda antara manusia
dengan makhluk lain yang ada di muka bumi ini. Dengan bekal mental yang memadai, dinamika hidup menjadi lebih indah dan harmonis sebab melalui kecerdasan mental manusia dapat merencanakan atau memikirkan hal-hal yang bermanfaat dan menyenangkan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Sepanjang waktu selama manusia beraktivitas, ia akan melibatkan mental sebagai pengendali motorik tubuh dalam beraktivitas. Oleh sebab itu kelainan atau gangguan alat sensoris ini pada seseorang berarti ia telah kehilangan sebagai besar kemampuan untuk mengabstraksi peristiwa yang ada di lingkungannya secara akurat.
BAB II
PEMBAHASAN
ANAK BERKELAINAN MENTAL SUBNORMAL (TUNAGRAHITA)
A.    Pengertian  Anak Tunagrihita
Istilah anak berkelainan mental subnormal dari beberapa referensi disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan, feebleminded, mental subnormal, tunagrahita. Semua makna dari istilah tersebut sama, yakni menunjuk kepada seseorang yang memiliki kecerdasan mental di bawah normal. Di antara istilah tersebut, istilah yang akan digunakan dalam istilah berikut ini adalah mental subnormal dan tunagrita. Keduanya digunakan, secara bergantian maupun bersama-sama. Batasan tentang anak berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, para ahli dalam beberapa referensi mendefinisikan secara berbeda. Perbedaan penilikan tersebut terkait erat dengan tujuan dan kepentingannya. Dari berbagai variasi tilikan tersebut muncul berbagai definisi tentang anak tunagrahita, tetapi secara substansial tidak mengurangi makna pengertian anak tunagrahita itu sendiri, meskipun dalam tilikan mereka menggunakan pendekatan berbeda..
Seseorang dikatagorikan berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, jika ia memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di bawah normal), sehingga untuk meniti tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara spesifik, termasuk dalam program pendidikannya (Bratanata, 1979).
Penafsiran yang salah sering kali terjadi di masyarakat awam bawah keadaan kelainan mental sub normal atau tunagrahita dianggap seperti suatu penyakit sehingga dengan memasukkan ke lembaga pendidikan atau perawatan khusus, anak diharapkan dapat normal kembali. Penafsiran tersebut sama sekali tidak benar sebab anak tunagrahita dalam jenjang manapun sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyakit atau sama dengan penyakit, Mental retarded is not disease but a condition (Kirk, 1970).
Jadi, kondisi tunagrahita tidak bisa disembuhkan atau diobati dengan obat apapun. Dalam kasus tertentu memang ada anak normal menyerupai keadaan anak tunagrahita jika dilihat selintas, tetapi setelah ia mendapatkan perawatan atau terapi tertentu, perlahan-lahan tanda-tanda anak tunagrahita yang tampak sebelumnya berangsur-asur hilang dan menjadi normal. Keadaan anak yang memiliki karakteristik semacam ini kemudian dikenal dengan istilah tunagrahita semu (psuudofeebleminded).
Ada beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan kasus psuudofeebleminded, yaitu:
1.      Gangguan emosi pada kanak-kanak sehingga menghambat perkembangan kognitifnya
2.      Keadaan lingkungan kurang baik dan tidak memberikan perangsang pada kecerdasan anak sehingga perkembangan kognitifnya terhambat.
 B.     Klasifikasi Anak Tunagrihita
Berbagai cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita. Berikut ini akan diuraikan klasifikasi menurut tinjauan profesi dokter, pekerja sosial, psikolog, dan pedagog. Seorang dokter dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada tipe kelainan fisiknya, seperti tipe mongoloid, microcepbalon, cretisnis, dan lain-lain. Seorang dokter dalam megklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada tipe kelainan fisiksiknya, seperti tipe mongoloid, microcepbalon, cretinism, dan lain-lain.
Seorang pekerja sosial dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada derajat kemampuan penyesuaian diri atau tidaktergantungan pada orang lain, seorang psikolog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita mengarah pada aspek indeks mental inteligensinya, indikasinya dapat dilihat pada angka hasil tes kecerdasan, seperti IQ 0-25 dikatagorikan idiot, IQ 25-50 dikatagorikan imbecil, dan IQ 50-75 katagori debil atau moron. Seorang pedagog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak. Dari penilaian tersebut dapat dikelompokkan menjadi anak tunagrahita mampu didik, anak tunagrahita mampu latih, dan anak tunagrahita manpu rawat.
1.      Anak tunagrahita mampu didik (debil)
Anak tunagrahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal. 
2.      Anak tunagrahita mampu latih (imbecile)
Anak tunagrahita mampu latih (imbecile) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk mengikuti program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik.
3.      Anak tunagrahita mampu rawat (idiot)
Anak tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi.
C.    Etiologi Anak Tunagrahita (Sebab)
Menelaah sebab terjadinya ketunagrahitaan pada seseorang menurut kurun waktu terjadinya, yaitu dibawa sejak lahir (faktor endogen) dan faktor dari luar seperti penyakit atau keadaan lainnya (faktor eksogen).
Kirk (1970) berpendapat bahwa ketunagrahitaan karena faktor endogen, yaitu faktor ketidaksempurnaan psikobiologis dalam memindahkan gen (Hereditary transmission of psybo-biological insufficiency). Sedangkan faktor eksogen, yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan patologis dari perkembangan normal. Dari sisi pertumbuhan dan perkembangan, penyebab ketunagrahitaan menurut Devenport dapat dirinci melalui jenjang berikut:
1.      Kelainan atau ketunaan yang timbul pada benih plasma
2.      Kelainan atau ketunaan yang dihasilkan selama penyuburan telur
3.      Kelainan atau ketunaan yang dikaitkan dengan implantasi
4.      Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam embrio
5.      Kelainan atau ketunaan yang timbul dari luka saat lahir
6.      Kelainan atau ketunaan yang timbul dalam janin
7.      Kelainan atau ketunaan yang timbul pada masa bayi dan masa kanak-kanak.
Selain sebab-sebab diatas, ketunagrahitaan pun dapat terjadi karena: radang otak, gangguan fisiologis, faktor hereditas dan pengaruh kebudayaan (Kirk dan Johnson, 1951). Radang otak merupakan kerusakan pada area otak tertentu yang terjadi saat kelahiran. Radang otak ini terjadi karena adanya pendarahan dalam otak (intracranial beamorbage). Pada kasus yang ekstrim, peradangan akibat pendarahan menyebabkan gangguan motorik dan mental. Sebab-sebab pasti sekitar pendarahan yang terjadi dalam otak belum dapat diketahui. Hidrocepbalon misalnya, keadaan Hidrocepbalon diduga karena peradangan pada otak. Gejala yang tampak pada Hidrocepbalon yaitu membesarnya tengkorak kepala disebabkan makin bertambahnya cairan cerebrospinal. Tekanan yang terjadi pada otak menyebabkan kemunduran fungsi otak.
Demikian pula cerebral anoxia, yakni kekurangan oksigen dalam otak dan menyebabkan otak tidk berfungsi dengan baik tanpa adanya oksigen yang cukup. Penyakit-penyakit infeksi lainnya yang menjadi penyebab ketunagrahitaan, separti measles, scarlet fever, maningitis, encepbalitis, dipbteria, dan cacar, dapat menjadi penyebab terjadinya peradangan otak.
Gangguan fisiologis berasal dari virus yang dapat menyebabkan ketunagritaan di antaranya rubella (campak jerman). Virus ini sangat berbahaya dan berpengaruh sangat besar pada tri semester pertama saat ibu mengandung, sebab akan memberi peluang timbulnya keadaan ketunagrahitaan terhadap bayi yang dikandung.   

D.    Dampak Ketunagrahitaan
Kecerdasan yang dimiliki seseorang, disamping menggambarkan kesanggupan secara mental seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi yang baru, atau kesanggupan untuk bertindak secara terarah, berfikir secara rasional dalam menghadapi lingkungan secara efektif, juga sebagai kesanggupan untuk belajar dan berfikir secara abstrak.
Teori kecerdasan beramsumsi bahwa kecerdasan bukanlah suatu unsur yang beraspek tunggal, melainkan terdiri berbagai unsure atau kemampuan, yaitu kemampuan yang bersifat umum dan kemampuan yang bersifat khusus (general ability dan special ability). Kemampuan umum yang dimaksud adalah rangkuman dari berbagai kemampuan dari bidang tertentu, sedangkan kemamuan khusus adalah kemampuan yang dimiliki pada bidang-bidang tertentu, seperti kemampuanberhitung, pengamatan ruang, dan lain-lain. pada umumnya kecerdasan itu sendiri hanya menunjuk pada kemampuan umum (general ability). Oleh karena itu, kelemahan kecerdasan di samping berakibat pada kelemahan fungsi kognitif, juga berpengaruh pada sikap dan ketrampilan lainnya. 
E.     Kemampuan Bahasa Dan Bicara Anak Tunagrahita
Eisenson dan Ogilvie (1963) pernah meneliti untuk mencari hubungan antara tingkat kecerdasan dengan kemampuan bahasa dan bicara. Hasilnya dapat dibuktikan bahwa antara tingkat kecerdasan dengan kematangan bahasa dan bicara mempunyai hubungan yang positif (dalam tarigan 1980). Dengan menyimak hasil penelitian hasil tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan sebagai salah satu potensi yang dimiliki oleh setiap individu ternyata mempunyai nilai strategis dalam memberikan sumbengan untuk meningkatkan perolehan bahasa dan kecakapan bicara, disamping pengaruh faktor eksternal yang lain seperti latihan, pendidikan, dan stimulasi lingkungan.
Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara pada anak normal barangkali tidak banyak menemui hambatan yang berarti, karena mereka dapat dengan mudah memanfaatkan potensi psikofisik dalam perolehan kosakata sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan bahasa dan bicaranya. Pada anak tunagrahita (mampu latih), kegagalan melakukan apersepsi terhadap suatu peristiwa bahasa, kerapkali diikuti gangguan artikulasi bicara. Penyertaan kelainan skunder ini, maka hal-hal yang Nampak pada anak tunagrahita mampu latih dalam berkomunikasi, di samping struktur kalimat yang disampaikannya cenderung tidak teratur (apbasia conceptual), juga dalam pengucapannya sering kali terjadi emosi (pengurangan kata) maupun distorsi (kekacauan dalam pengucapan).
Untuk mengembangkan kemampuan bahasa dan bicara anak tunagrahita secara maksimal, tentunya perlu upaya dan strategi khusus. Satu hal yang perlu dipahami bagi guru, langkah yang pertama sebelum mengajarkan hal-hal yang lebih besar, sedapatnya diajarkan untuk menyebutkan namanya. Tujuannya di samping anak tunagrahita suka menyebutkan namanya, juga dapat menambah motivasi untuk belajar. Untuk pengembangan bahasa dan bicara pada anak tunagrahita, ada kemungkinan guru atau pembimbing mengalami kesulitan sebab di antara mereka mengalami beberapa kelainan bicara, antara lain kelainan artikulasi, arus ujar, nada suara, atau afasia sensoris dan afasia motoris (Patton, 1991).
Beberapa model latihan pendahuluan yang berfungsi sebagai pendukung dalam pengembangan kemampuan bahasa dan bicaranya, antara lain sebagai berikut:
1.      Latihan pernapasan
2.      Latihan otot bicara seperti lidah, bibir dan rahang
3.      Latihan pita suara
F.     Penyesuaian Sosial Anak Tunagrahita
Ketika seorang anak lahir, hampir sama sekali tidak berdaya dan sangat tergantung pada orang lain, khususnya orang yang mengasuhnya. Ketergantungan anak dengan pengasuhnya sangat beralasan karena langsung atau tidak telah terjadi hubungan fisik dan psikis antara anak dan pengasuh (ibunya). Kesadaran anak tehadap dunia sekitarnya terjadi setelah melewati usia 1 tahun,, sejalan dengan meningkatnya kemampuan berkomunikasi dan perkembangan motoriknya, seperti tumbuhnya sikap ingin tahu, agresivitas, latihan menyesuaikan diri dengan lingkungan melalui kemampuan eksplorasinya. Pada anak normal dalam melewati setiap tahapan perkembangan sosial dapat berjalan seiring dengan tingkat usianya. Namun, tidak demikian halnya dengan anak tunagrahita, pada setiap tahapan perkembangan sosial yang dialami anak tunagrahita selalu mengalami kendala sehingga seringkali tampak sikap dan perilaku anak tunagrahita berada di bawah usia kalendernya, dan usia 5-6 tahun mereka belum mencapai kematangan untuk belajar disekolah (Bratanata, 1979).
Beberapa studi menunjukkan bahwa terlambatnya sosialisasi anak tunagrahita ada hubungannya dengan taraf kecerdasannya yang sangat rendah. Indikasi keterlambatan anak tunagrahita dalam bidang sosial umumnya terjadi karna hal-hal berikut:
1.      Kurangnya kesempatan yang diberikan anak tunagrahita untuk melakukan sosialisasi.
2.      Kekurangan motivasi untuk melakukan sosialisasi.
3.      Kekurangan bimbingan untuk melakukan sosialisasi.
Walaupun demikian, ternyata banyak juga anak tunagrahita yang mampu atau dapat mecapai penyesuaian sosial yang baik, tetapi belum maksimal sebagaimana anak seusaianya. Oleh karena itu, untuk membantu anak tunagrahita agar dapat mencapai penyesuaian sosial dengan baik, ada hal-hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a.       Kurikulum sekolah harus memerhatikan kebutuhan anak tunagrahita
b.      Kondisi lingkungan sekitar harus kondusif
c.       Pemenuhan kebutuhan dasar anak tunagrahita
d.      Bimbingan dan latihan kerja   
G.    Modifikasi Perilaku Anak Tunagrahita
Keterbatasan daya piker yang dialami anak tunagrahita menyebabkan mereka sulit mengotrol, apakah perilaku yang ditampakkan dalam aktivitas mereka sehari-hari wajar atau tidak wajar (menurut ukuran normal), baik perilaku yang berlebihan (bebavioral excesses) maupun perilaku yang kurang serasi (bebavioral deficits). Atas dasar itulah maka untuk anak tunagrahita perlu dilakukan modifikasi perilaku melalui terapi perilaku.
Dalam memberikan terapi perilaku pada anak tunagrahita, seorang terapis harus memiliki sikap sebagaimana yang dipersyaratkan dalam pendidikan humanistic, yaitu penerimaan secara hangat, antusias tinggi, ketulusan dan kesungguhan, serta menaruh empeti yang tinggi terhadap kondisi anak tunagrahita. Tanpa dilengkapi persyaratan tersebut, penerapan teknik modifikasi parilaku pada anak tunagrahita tidak banyak memberikan hasil yang berarti.
Modifikasi perilaku bagi anak yang mampu latih dalam penerapannya harus selalu di bawah pengawasan orang lain, misalnya program perawatan diri sendiri. Agar lebih fungsional, program tersebut dapat dipecah dalam berbagi unit perilaku pendukung, antara lain mengancingkan baju, memegang sendok, menuangkan pasta, menggosok gigi, dan lain-lain. Jenis terapi perilaku lain dapat dilakukan untuk anak tunagrahita, yaitu melakukan kegiatan bermain (kegiatan fisik atau psikis yang dilakukan tidak dengan sungguh-sungguh).
BAB III
KESIMPULAN



Istilah anak berkelainan mental subnormal dari beberapa referensi disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan, feebleminded, mental subnormal, tunagrahita. Semua makna dari istilah tersebut sama, yakni menunjuk kepada seseorang yang memiliki kecerdasan mental di bawah normal.
Di antara istilah tersebut, istilah yang akan digunakan dalam istilah berikut ini adalah mental subnormal dan tunagrita. Keduanya digunakan, secara bergantian maupun bersama-sama. Batasan tentang anak berkelainan mental subnormal atau tunagrahita, para ahli dalam beberapa referensi mendefinisikan secara berbeda. Perbedaan penilikan tersebut terkait erat dengan tujuan dan kepentingannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Identifikasi ABK dalam Pendidikan Inklusif dari http://www.ditplb.or.id/profile. Diakses 3 Januari 2010.

Bendi Delphie. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Rineka Cipta, 2006.

Hallahan, D.P. & Kauffman, J.M.. Exceptional Learners: Introduction to Special Education 10th  ed. USA: Pearson, 2006

Hardman, Michael L., dkk, Human Exceptionality 3rd, Allyn and Bacon: Toronto, 1990.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar