Risywah (suap) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan. (al-Misbah al-Munir - al Fayumi, al-Muhalla -Ibnu Hazm).
Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum,
bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebab sogokan akan membuat hukum menjadi oleng dan tidak adil. Selain itu tata kehidupan yang menjadi tidak jelas.
I. Keharaman Sogokan
1. Dalil Al-Quran
Di dalam ayat Al-Quran memang tidak disebutkan secara khsusus istilah sogokan atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menafsirkan ungkapan Al-Quran yaitu `akkaaluna lissuhti` sebagai risywah atau sogokan.
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (QS Al Maidah 42).
Kalimat `akkaaluna lissuhti` secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil sogokan atau risywah. Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT.
Sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui(QS Al Baqarah 188)
2. Dalil Sunnah
Selain itu ada banyak sekali dalil dari sunnah yang mengharamkan sogokan dengan ungkapan yang sharih dan zahir. Misalnya hadits berikut ini :
Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Dan hadits berikut ini :
Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap (HR Khamsah kecuali an-Nasa`i dan di shahihkan oleh at-Tirmidzi)
Dan hadits berikut ini :
Rasulullah SAW melaknat penyuap, yang menerima suap dan perantaranya (HR Ahmad)
II. Yang Termasuk Diharamkan Terkait Dengan Sogokan
Kalau diperhatikan lebih seksama, ternyata hadits-hadits Rasulullah itu bukan hanya mengharamkan seseorang memakan harta hasil dari sogokan, tetapi juga diharamkan melakukan hal-hal yang bisa membuat sogokan itu berjalan. Maka yang diharamkan itu bukan hanya satu pekerjaan yaitu memakan harta sogokan, melainkan tiga pekerjaan sekaligus. Yaitu
Menerima sogokan
Memberi sogokan
Mediator sogokan
Sebab tidak akan mungkin terjadi seseorang memakan harta hasil dari sogokan, kalau tidak ada yang menyogoknya. Maka orang yang melakukan sogokan pun termasuk mendapat laknat dari Allah juga. sebab karena pekerjaan dan inisiatif dia-lah maka ada orang yang makan harta sogokan. Dan biasanya dalam kasus sogokan seperti itu, selalu ada pihak yang menjadi mediator atau perantara yang bisa memuluskan jalan.
Sebab bisa jadi pihak yang menyuap tidak mau menampilkan diri, maka dia akan menggunakan pihak lain sebagai mediator. Atau sebaliknya, pihak yang menerima suap tidak akan mau bertemua langsung dengan si penyogok, maka peran mediator itu penting. Dan sebagai mediator, maka wajarlah bila mendapatkan komisi uang tertentu dari hasil jasanya itu.
Maka ketiga pihak itu oleh Rasulullah SAW dilaknat sebab ketiganya sepakat dalam kemungkaran. Dan tanpa peran aktif dari semua pihak, sogokan itu tidak akan berjalan dengan lancar. Sebab dalam dunia sogok menyogok, biasanya memang sudah ada mafianya tersendiri yang mengatur segala sesuatunya agar lepas dari jaring-jaring hukum serta mengaburkan jejak.
Rupanya sejak awal Islam sudah sangat antisipatif sekali terhadap gejala dan kebiasaan sogok menyogok tak terkecuali yang akan terjadi di masa depan nanti. Sejak 15 Abad yang lalu seolah-olah Islam sudah punya gambaran bahwa di masa sekarang ini yang namanya sogok menyogok itu dilakukan secara berkomplot dengan sebuah mafia persogokan yang canggih.
Karena itu sejak dini Islam tidak hanya melaknat orang yang makan harta sogokan, tetapi juga sudah menyebutkan pihak lain yang ikut mensukseskannya. Yaitu sebuah mafia persogokan yang biasa teramat sulit diberantas, karena semua pihak itu piawai dalam berkelit di balik celah-celah kelemahan hukum buatan manusia.
III.Sogok Untuk Memperoleh Hak
Namun jumhur ulama memberikan pengecualian kepada mereka yang tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan disyaratkan harus membayar jumlah uang terentu. Intinya, yang minta berdosa karena menghalangi seseorang mendapatkan haknya, sedangkan yang membayar untuk mendapatkan haknya tidak berdosa, karena dia melakukan untuk mendapatkan apa yang jelas-jelas menjadi haknya secara khusus. Maksudnya hak secara khusus adalah untuk membedakan dengan hak secara umum.
Contohnya adalah bahwa untuk menjadi pegawai negeri merupakan hak warga negara, tapi kalau harus membayar jumlah tertentu, itu namanya risyawah yang diharamkan. Karena menjadi pegawai negeri meskipun hak warga negara, tetapi hak itu sifatnya umum. Siapa saja memang berhak jadi pegawai negeri, tapi mereka yang yang benar-benar lulus saja yang berhak secara khusus. Kalau lewat jalan belakang, maka itu bukan hak.
Sedangkan bila seorang dirampas harta miliknya dan tidak akan diberikan kecuali dengan memberikan sejumlah harta, bukanlah termasuk menyogok yang diharamkan. Karena harta itu memang harta miliknya secara khusus
Maka jumhur ulama membolehkan penyuapan yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang. Namun orang yang menerima suap tetap berdosa (Kasyful Qona` 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243, al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha 6/479).
Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum,
bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebab sogokan akan membuat hukum menjadi oleng dan tidak adil. Selain itu tata kehidupan yang menjadi tidak jelas.
I. Keharaman Sogokan
1. Dalil Al-Quran
Di dalam ayat Al-Quran memang tidak disebutkan secara khsusus istilah sogokan atau risywah. Namun Imam al-Hasan dan Said bin Jubair menafsirkan ungkapan Al-Quran yaitu `akkaaluna lissuhti` sebagai risywah atau sogokan.
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram (QS Al Maidah 42).
Kalimat `akkaaluna lissuhti` secara umum memang sering diterjemahkan dengan memakan harta yang haram. Namun konteksnya menurut kedua ulama tadi adalah memakan harta hasil sogokan atau risywah. Jadi risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah SWT.
Sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui(QS Al Baqarah 188)
2. Dalil Sunnah
Selain itu ada banyak sekali dalil dari sunnah yang mengharamkan sogokan dengan ungkapan yang sharih dan zahir. Misalnya hadits berikut ini :
Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap dalam hukum (HR Ahmad, Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Dan hadits berikut ini :
Laknat Allah bagi penyuap dan yang menerima suap (HR Khamsah kecuali an-Nasa`i dan di shahihkan oleh at-Tirmidzi)
Dan hadits berikut ini :
Rasulullah SAW melaknat penyuap, yang menerima suap dan perantaranya (HR Ahmad)
II. Yang Termasuk Diharamkan Terkait Dengan Sogokan
Kalau diperhatikan lebih seksama, ternyata hadits-hadits Rasulullah itu bukan hanya mengharamkan seseorang memakan harta hasil dari sogokan, tetapi juga diharamkan melakukan hal-hal yang bisa membuat sogokan itu berjalan. Maka yang diharamkan itu bukan hanya satu pekerjaan yaitu memakan harta sogokan, melainkan tiga pekerjaan sekaligus. Yaitu
Menerima sogokan
Memberi sogokan
Mediator sogokan
Sebab tidak akan mungkin terjadi seseorang memakan harta hasil dari sogokan, kalau tidak ada yang menyogoknya. Maka orang yang melakukan sogokan pun termasuk mendapat laknat dari Allah juga. sebab karena pekerjaan dan inisiatif dia-lah maka ada orang yang makan harta sogokan. Dan biasanya dalam kasus sogokan seperti itu, selalu ada pihak yang menjadi mediator atau perantara yang bisa memuluskan jalan.
Sebab bisa jadi pihak yang menyuap tidak mau menampilkan diri, maka dia akan menggunakan pihak lain sebagai mediator. Atau sebaliknya, pihak yang menerima suap tidak akan mau bertemua langsung dengan si penyogok, maka peran mediator itu penting. Dan sebagai mediator, maka wajarlah bila mendapatkan komisi uang tertentu dari hasil jasanya itu.
Maka ketiga pihak itu oleh Rasulullah SAW dilaknat sebab ketiganya sepakat dalam kemungkaran. Dan tanpa peran aktif dari semua pihak, sogokan itu tidak akan berjalan dengan lancar. Sebab dalam dunia sogok menyogok, biasanya memang sudah ada mafianya tersendiri yang mengatur segala sesuatunya agar lepas dari jaring-jaring hukum serta mengaburkan jejak.
Rupanya sejak awal Islam sudah sangat antisipatif sekali terhadap gejala dan kebiasaan sogok menyogok tak terkecuali yang akan terjadi di masa depan nanti. Sejak 15 Abad yang lalu seolah-olah Islam sudah punya gambaran bahwa di masa sekarang ini yang namanya sogok menyogok itu dilakukan secara berkomplot dengan sebuah mafia persogokan yang canggih.
Karena itu sejak dini Islam tidak hanya melaknat orang yang makan harta sogokan, tetapi juga sudah menyebutkan pihak lain yang ikut mensukseskannya. Yaitu sebuah mafia persogokan yang biasa teramat sulit diberantas, karena semua pihak itu piawai dalam berkelit di balik celah-celah kelemahan hukum buatan manusia.
III.Sogok Untuk Memperoleh Hak
Namun jumhur ulama memberikan pengecualian kepada mereka yang tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan disyaratkan harus membayar jumlah uang terentu. Intinya, yang minta berdosa karena menghalangi seseorang mendapatkan haknya, sedangkan yang membayar untuk mendapatkan haknya tidak berdosa, karena dia melakukan untuk mendapatkan apa yang jelas-jelas menjadi haknya secara khusus. Maksudnya hak secara khusus adalah untuk membedakan dengan hak secara umum.
Contohnya adalah bahwa untuk menjadi pegawai negeri merupakan hak warga negara, tapi kalau harus membayar jumlah tertentu, itu namanya risyawah yang diharamkan. Karena menjadi pegawai negeri meskipun hak warga negara, tetapi hak itu sifatnya umum. Siapa saja memang berhak jadi pegawai negeri, tapi mereka yang yang benar-benar lulus saja yang berhak secara khusus. Kalau lewat jalan belakang, maka itu bukan hak.
Sedangkan bila seorang dirampas harta miliknya dan tidak akan diberikan kecuali dengan memberikan sejumlah harta, bukanlah termasuk menyogok yang diharamkan. Karena harta itu memang harta miliknya secara khusus
Maka jumhur ulama membolehkan penyuapan yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang. Namun orang yang menerima suap tetap berdosa (Kasyful Qona` 6/316, Nihayatul Muhtaj 8/243, al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha 6/479).
Penulis : Ust. Ahmad Sarwat, Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar