Bai` Bits-Tsaman Ajil
Bai` atau jual-beli adalah akad yang dihalalkan dan disyari`atkan Islam. Baik dengan harga tunai atau dengan kredit. Allah swt berfirman:
Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba`(QS. Al-Baqarah 275).
Namun ada juga jual-beli atau bisnis yang dilarang dalam Islam, diantaranya sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan an-Nasa`i:
Rasulullah saw. melarang penjualan dengan dua transaksi pada satu barang` .
Terkait dengan hadits ini para ulama berselisih dalam penafsirannya, menjadi lima pendapat:
1. Bentuk Pertama
Transaksi jual-beli antara harga tunai dan harga kredit berbeda. Dan harga kredit lebih tinggi. Seperti, saya jual mobil ini tunai 100 juta, atau kredit 110 juta.
Transaksi jenis pertama biasa disebut Bai` Bits-Tsaman Ajil atau disingkat menjadi BBA dan ini disepakati bolehnya oleh ulama.
2. Bentuk Kedua
Sama dengan pendapat pertama, tetapi transaksi itu terjadi kemudian berpisah tanpa ada kejelasan mana yang diambil. Seperti, saya jual mobil ini tunai 100 juta, atau kredit 110 juta. Keduanya sepakat tanpa menjelaskan transaksi mana yang diambil.
Para ulama melarang jenis kedua ini, karena ada ketidakjelasan pada transaksi tersebut. Tetapi jika sebelum berpisah ada kejelasan akad, yaitu memilih salah satunya maka boleh, dan itu seperti transaksi pada jenis pertama. Namun demikian kedua transaksi itu dilarang jika barangnya berupa harta riba, misalnya emas, atau perak atau uang.
3. Bentuk Ketiga
Membeli barang dengan harga tertangguh, dengan syarat barang itu dijual kembali kepadanya secara tunai dengan harga yang lebih rendah.Transaksi jenis ketiga ini diharamkan dalam Islam karena ada unsur riba. Dan transaksi ini disebut juga dengan ba`iul `inah.
4. Bentuk Keempat
Transaksi ini mensyaratkan penjualan lagi. Seperti menjual suatu barang yang tidak ditentukan barangnya dan harganya. Atau ditentukan harga dan barangnya. Seperti A membeli sebuah rumah dengan harga 1 Milyar dari B dengan syarat B membeli mobilnya dari A seharga 1,5 Milyar. .Transaksi jenis keempat ini juga termasuk yang dilarang dalam Islam dan disebut juga bai`u wa syart.
5. Bentuk Kelima
Mensyaratkan manfaat pada salah seorang diantara yang melakukan transaksi. Misal, saya jual rumah ini dengan syarat saya tinggal dahulu satu tahun.
Transaksi jenis kelima diperselisihkan ulama. Madzhab Malik dan Hambali membolehkannya, sedangkan madzhab Syafi`i melarangnya.
Bai` Bits-Tsaman Ajil
Istilah Bai` Bits-Tsaman Ajil sesungguhnya istilah yang baru dalam literatur fiqih Islam. Meskipun prinsipnya memang sudah ada sejak masa lalu.
Secara makna harfiyah, Bai`maknanya adalah jual-beli atau transaksi. Tsaman maknanya harga dan Ajil maknanya bertempo atau tidak tunai. Jenis transaksi ini sesuai dengan namanya adalah jual-beli yang uangnya diberikan kemudian atau ditangguhkan. Tsaman Ajil maknanya adalah harga belakangan. Maksudnya harga barang itu berbeda dengan bila dilakukan dengan tunai.
Contohnya, sebuah mobil bila dibeli dengan tunai, harganya 100 juta. Tetapi karena pelunasannya memerlukan waktu 5 tahun (ajil), maka harganya menjadi 150 juta. Pelunasan yang membutuhkan waktu sampai lima tahun ini berkonsekuensi kepada harga yang ikut naik.
Namun yang menjadi batas halal atau haramnya adalah kapankah harga itu disepakati. Bila sejak awal sebuah harga atas suatu barang sudah disepakati, meskipun dimark-up, akad itu adalah halal. Tetapi bila harga mark-upnya tidak dipastikan sejak awal, itu adalah akad yang haram. Maksudnya bila kesepakatan itu memungkinkan dalam perjalanannya untuk dirubahnya harga menjadi naik atau turun. Misalnya, bila bila masa pelunasan bisa lebih cepat, maka mark-upnya lebih sedikit tapi bila masa pelunasannya lebih lama, maka mark-upnya lebih banyak lagi. Ini adalah kesepakatan yang diharamkan bila dilakukan dalam masa pelunasan.
Jadi yang harus ditentukan adalah harga yang pasti sejak awal dan tidak dirubah-rubah lagi selama masa pelunasannya.
Kebutuhan Pada Jenis Transaksi ini
Adanya jenis trnasaksi ini di dalam Islam tentu memberikan banyak keringanan dan kemudahan. Sebab tidak semua orang mampu membeli barang kebutuhan dengan sekali bayar. Pada barang kebutuhan itu memang sesuatu yang mutlak diperlukan. Apalagi para pegawai yang penghasilannya terbatas. Tidak mungkin bisa dapat membeli barang kebutuhan hidupnya seperti rumah, kendaraan atau perabot rumah tangga yang harga berkali-kali lipat dari gaji bulanannya.
Sebenarnya seseorang yang penghasilannya pas-pasan bisa saja menabung dan bersabar untuk tidak membeli barnag yang harganya mahal itu secepatnya. Tetapi kita sekarang ini hidup di zaman yang serba cepat dan kebutuhan akan barang-barang itu sedemikian penting. Sehingga kalau pun menabung, maka akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa memilikinya. Apalagi tidak semua orang punya bakat untuk menabung, sebab ketika uang ada di tangan, seringkali orang tergoda untuk membelanjakannya.
Di sisi lain, para penjual barang pun berusaha untuk membuat barangnya segera laku terjual. Sebab bila stok barang hanya menumpuk di toko, maka kerugian sudah pasti terbayang. Maka lebih baik barnag bisa segera terjual meskipun pembayarannya ditangguhkan. Itu jauh lebih baik ketimbang barang hanya menghiasi etalase tanpa ada yang kuat untuk membelinya.
Jadi baik pembeli maupun penjual sama-sama punya kepentingan. Pembeli butuh barang segera tapi uangnya kurang. Sedangkan penjual butuh barangnya segera laku meski pembayarannya tidak tunai. Dan jalan keluar dari semua itu adalah Bai` Bits-Tsaman Ajil ini.
Aplikasi Bai` Bits-Tsaman Ajil Pada Bank Syariah
Bai` Bits-Tsaman Ajil tidak hanya terbatas antara pembeli dan penjual di pasar. Tetapi sebuah lembaga keuangan seperti bank pun bisa melakukan akad ini. Namun sebenarnya bank hanya memiliki uang dan tidak memiliki barang. Maka bila ada seseorang yang ingin membeli barang, pihak bank tidak bisa menyediakan barang itu. Pihak bank harus membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan pembeli. Idealnya, pihak bank akan datang ke pasar dan membeli barang yang dibutuhkan lalu menjualnya kepada pembeli dengan mengambil keuntungan harga.
Kita harus memahami bahwa bai` adalah akad mu`awadloh, yaitu tukar menukar barang dengan uang. Maka barang yang dijual harus sudah menjadi milik sepenuhnya pihak penjual. Dalam istilah fiqih dikenal dengan sebutan milkiyyah tammah.Bank berposisi sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.
Namun dalam prakteknya, untuk pengadaan barang, pihak penjual (bank) akan kerepotan bila harus bolak bali ke pasar untuk membeli barang. Sehingga untuk mudah dan efisiennya, pihak bank bisa mewakilkan pembelian barang dari pasar kepada calon pembelinya dengan akad wakalah atau ijaroh dengan konsekwensi hukum masing-masing.
Akad wakalah maksudnya adalah pihak bank mewakilkan pembeli untuk membeli barang. Atau lebih mudahnya bank minta tolong kepada pembli untuk membelikan barang. Namun kepemilikan barang itu ketika dibeli adalah jelas milik bank. Si pembeli hanya dititipi saja untuk membeli barang. Dan pihak bank yang sesungguhnya menjadi penjual harus mengecek dan yakin bahwa barang yang akan dijual benar-benar telah dibeli. Salah satunya misalnya dengan ditunjukkan faktur pembelian oleh pembeli yang dititip untuk membeli. Hal ini untuk menghindari kemungkinan barang tidak dibeli dengan uang tersebut sehingga menjadi pinjaman uang dengan pengembalian lebih.
Resiko yang terjadi dalam proses pengadaan barang, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual, bukan resiko calon pembeli. Sebab mulai berlakunya akad jual-beli adalah ketika barang itu sudah diterima oleh pihak pembeli dalam keadaan selamat. Sehingga dalam praktek BBA harus ada dua akad yaitu :
1. Akad Wakalah : antara bank dengan nasabah. Dimana saat itu bank membeli barang dari pihak ketiga dan pembeli saat itu bertindak sebagai wakil dari pihak bank yang melakukan pembelian barang dari pihak ketiga.
2. Akad Jual-beli Kredit : setelah barang telah terbeli maka si bank menjual barang tersebut dengan harga yang disepakati dua pihak. Kemudian pembayaran nasabah kepada bank dengan cara kredit atau tidak tunai.
Kelemahan Yang Sering Terjadi
Namun praktek akad seperti ini seringkali terlanggar akibat kurang dipahaminya prinsip syariah, juga karena batas antara akad ini dengan akad lainnya sedemikian tipis. Ketika pihak bank menitipkan uang untuk membeli barang kepada pihak pembeli yang nantinya akan dibeli lagi oleh pembeli itu dengan harga yang lebih tinggi, ada celah yang bisa dimanfaatkan. Antara lain uang titipan itu tidak dibelikan barang yang dimaksud. Tetapi digunakan untuk keperluan yang lain. Lalu bila jatuh temponya, si pembeli melunasi pembayaran yang sudah dimark-up kepada pihak bank.
Kalau yang terjadi demikian, maka tidak ada bedanya dengan pinjaman uang berbunga. Dan alasan pembeli butuh barang hanyalah kamuflase belaka. Sebab pada prakteknya yang terjadi justru sebuah transaksi pinjam uang dengan kewajiban penambahan nilai pengembaliannya. Dan praktek itu jelas sebuah transaksi ribawi yang sejak dini telah diharamkan oleh kitab dan sunnah.
Sehingga bila sebuah bank syariah sampai terjebak dengan akad model begini, nilai syariahnya menjadi hilang dan syariah itu hanya tinggal assessoris yang tidak ada gunanya serta cenderung menipu ummat. Pada titik ini, sebuah bank yang berlabelkan syariah harus hati-hati. Sebab umat Islam menganggap apa yang dilakukan oleh bank syariah pastilah sudah seusai dengan syariah. Sehingga kalau sampai terjadi hal-hal yang diharamkan Allah, tentunya dosa dan azab sepenuhnya dibebankan kepada pemegang kebijakan bank itu.
Faktor Kelemahan
Salah satu faktor utama mengapa sebuah bank yang berlabelkan syariah masih seringkali terjebak dengan akad-akad yang justru tidak sesuai dengan syariah adalah karena umumnya latar belakang pendidikan dan pengalaman para bankir-nya bukan dari disiplin ilmu syariah. Meski umumnya mereka beragama Islam, tetapi nyaris semua ilmu ekonomi dan perbankan yang mereka pelajari tidak ada satupun yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah atau dari referensi ulama Islam. Semua datang dari sistem ekonomi kapitalis barat yang telah menjajajh negeri ini beratur-ratus tahun. Ekonomi Islam adalah sebuah barang asing yang lebih sreing disiasati ketimbang dijalankan dengan sepenuh hati.
Memang benar bahwa setiap bank yang berlabelkan syariah memiliki dewan pengawas syariah yang sebenarnya paling bertanggung-jawab atas hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Keberadaan dewan pengawas syariah ini memang mutlak, hanya saja dalam prakteknya masih perlu lebih ditingkatkan lagi. Agar keberadaan dewan pengawas syariah bukan sekedar embel-embel formalitas, sedangkan dalam prakteknya justru jelas-jelas melanggar ketentuan syariah.
Maka tidak cukup hanya diawasi oleh sebuah dewan yang barangkali tidak datang setiap hari, tetapi para bankir, karyawan dan staffnya pun harus mendapatkan pendidikan syariah yang cukup, berkualitas dan berkesinambungan. Sehingga aplikasi ajaran Islam bukan sekedar sebuah formalitas, melainkan benar-benar berangkat dari bashirah, wa`yu dan disiplin ilmu yang bisa dipertanggung-jawabkan.
Penulis : Ust. Ahmad Sarwat. Lc
Bai` atau jual-beli adalah akad yang dihalalkan dan disyari`atkan Islam. Baik dengan harga tunai atau dengan kredit. Allah swt berfirman:
Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba`(QS. Al-Baqarah 275).
Namun ada juga jual-beli atau bisnis yang dilarang dalam Islam, diantaranya sebagaimana disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan an-Nasa`i:
Rasulullah saw. melarang penjualan dengan dua transaksi pada satu barang` .
Terkait dengan hadits ini para ulama berselisih dalam penafsirannya, menjadi lima pendapat:
1. Bentuk Pertama
Transaksi jual-beli antara harga tunai dan harga kredit berbeda. Dan harga kredit lebih tinggi. Seperti, saya jual mobil ini tunai 100 juta, atau kredit 110 juta.
Transaksi jenis pertama biasa disebut Bai` Bits-Tsaman Ajil atau disingkat menjadi BBA dan ini disepakati bolehnya oleh ulama.
2. Bentuk Kedua
Sama dengan pendapat pertama, tetapi transaksi itu terjadi kemudian berpisah tanpa ada kejelasan mana yang diambil. Seperti, saya jual mobil ini tunai 100 juta, atau kredit 110 juta. Keduanya sepakat tanpa menjelaskan transaksi mana yang diambil.
Para ulama melarang jenis kedua ini, karena ada ketidakjelasan pada transaksi tersebut. Tetapi jika sebelum berpisah ada kejelasan akad, yaitu memilih salah satunya maka boleh, dan itu seperti transaksi pada jenis pertama. Namun demikian kedua transaksi itu dilarang jika barangnya berupa harta riba, misalnya emas, atau perak atau uang.
3. Bentuk Ketiga
Membeli barang dengan harga tertangguh, dengan syarat barang itu dijual kembali kepadanya secara tunai dengan harga yang lebih rendah.Transaksi jenis ketiga ini diharamkan dalam Islam karena ada unsur riba. Dan transaksi ini disebut juga dengan ba`iul `inah.
4. Bentuk Keempat
Transaksi ini mensyaratkan penjualan lagi. Seperti menjual suatu barang yang tidak ditentukan barangnya dan harganya. Atau ditentukan harga dan barangnya. Seperti A membeli sebuah rumah dengan harga 1 Milyar dari B dengan syarat B membeli mobilnya dari A seharga 1,5 Milyar. .Transaksi jenis keempat ini juga termasuk yang dilarang dalam Islam dan disebut juga bai`u wa syart.
5. Bentuk Kelima
Mensyaratkan manfaat pada salah seorang diantara yang melakukan transaksi. Misal, saya jual rumah ini dengan syarat saya tinggal dahulu satu tahun.
Transaksi jenis kelima diperselisihkan ulama. Madzhab Malik dan Hambali membolehkannya, sedangkan madzhab Syafi`i melarangnya.
Bai` Bits-Tsaman Ajil
Istilah Bai` Bits-Tsaman Ajil sesungguhnya istilah yang baru dalam literatur fiqih Islam. Meskipun prinsipnya memang sudah ada sejak masa lalu.
Secara makna harfiyah, Bai`maknanya adalah jual-beli atau transaksi. Tsaman maknanya harga dan Ajil maknanya bertempo atau tidak tunai. Jenis transaksi ini sesuai dengan namanya adalah jual-beli yang uangnya diberikan kemudian atau ditangguhkan. Tsaman Ajil maknanya adalah harga belakangan. Maksudnya harga barang itu berbeda dengan bila dilakukan dengan tunai.
Contohnya, sebuah mobil bila dibeli dengan tunai, harganya 100 juta. Tetapi karena pelunasannya memerlukan waktu 5 tahun (ajil), maka harganya menjadi 150 juta. Pelunasan yang membutuhkan waktu sampai lima tahun ini berkonsekuensi kepada harga yang ikut naik.
Namun yang menjadi batas halal atau haramnya adalah kapankah harga itu disepakati. Bila sejak awal sebuah harga atas suatu barang sudah disepakati, meskipun dimark-up, akad itu adalah halal. Tetapi bila harga mark-upnya tidak dipastikan sejak awal, itu adalah akad yang haram. Maksudnya bila kesepakatan itu memungkinkan dalam perjalanannya untuk dirubahnya harga menjadi naik atau turun. Misalnya, bila bila masa pelunasan bisa lebih cepat, maka mark-upnya lebih sedikit tapi bila masa pelunasannya lebih lama, maka mark-upnya lebih banyak lagi. Ini adalah kesepakatan yang diharamkan bila dilakukan dalam masa pelunasan.
Jadi yang harus ditentukan adalah harga yang pasti sejak awal dan tidak dirubah-rubah lagi selama masa pelunasannya.
Kebutuhan Pada Jenis Transaksi ini
Adanya jenis trnasaksi ini di dalam Islam tentu memberikan banyak keringanan dan kemudahan. Sebab tidak semua orang mampu membeli barang kebutuhan dengan sekali bayar. Pada barang kebutuhan itu memang sesuatu yang mutlak diperlukan. Apalagi para pegawai yang penghasilannya terbatas. Tidak mungkin bisa dapat membeli barang kebutuhan hidupnya seperti rumah, kendaraan atau perabot rumah tangga yang harga berkali-kali lipat dari gaji bulanannya.
Sebenarnya seseorang yang penghasilannya pas-pasan bisa saja menabung dan bersabar untuk tidak membeli barnag yang harganya mahal itu secepatnya. Tetapi kita sekarang ini hidup di zaman yang serba cepat dan kebutuhan akan barang-barang itu sedemikian penting. Sehingga kalau pun menabung, maka akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa memilikinya. Apalagi tidak semua orang punya bakat untuk menabung, sebab ketika uang ada di tangan, seringkali orang tergoda untuk membelanjakannya.
Di sisi lain, para penjual barang pun berusaha untuk membuat barangnya segera laku terjual. Sebab bila stok barang hanya menumpuk di toko, maka kerugian sudah pasti terbayang. Maka lebih baik barnag bisa segera terjual meskipun pembayarannya ditangguhkan. Itu jauh lebih baik ketimbang barang hanya menghiasi etalase tanpa ada yang kuat untuk membelinya.
Jadi baik pembeli maupun penjual sama-sama punya kepentingan. Pembeli butuh barang segera tapi uangnya kurang. Sedangkan penjual butuh barangnya segera laku meski pembayarannya tidak tunai. Dan jalan keluar dari semua itu adalah Bai` Bits-Tsaman Ajil ini.
Aplikasi Bai` Bits-Tsaman Ajil Pada Bank Syariah
Bai` Bits-Tsaman Ajil tidak hanya terbatas antara pembeli dan penjual di pasar. Tetapi sebuah lembaga keuangan seperti bank pun bisa melakukan akad ini. Namun sebenarnya bank hanya memiliki uang dan tidak memiliki barang. Maka bila ada seseorang yang ingin membeli barang, pihak bank tidak bisa menyediakan barang itu. Pihak bank harus membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan pembeli. Idealnya, pihak bank akan datang ke pasar dan membeli barang yang dibutuhkan lalu menjualnya kepada pembeli dengan mengambil keuntungan harga.
Kita harus memahami bahwa bai` adalah akad mu`awadloh, yaitu tukar menukar barang dengan uang. Maka barang yang dijual harus sudah menjadi milik sepenuhnya pihak penjual. Dalam istilah fiqih dikenal dengan sebutan milkiyyah tammah.Bank berposisi sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli.
Namun dalam prakteknya, untuk pengadaan barang, pihak penjual (bank) akan kerepotan bila harus bolak bali ke pasar untuk membeli barang. Sehingga untuk mudah dan efisiennya, pihak bank bisa mewakilkan pembelian barang dari pasar kepada calon pembelinya dengan akad wakalah atau ijaroh dengan konsekwensi hukum masing-masing.
Akad wakalah maksudnya adalah pihak bank mewakilkan pembeli untuk membeli barang. Atau lebih mudahnya bank minta tolong kepada pembli untuk membelikan barang. Namun kepemilikan barang itu ketika dibeli adalah jelas milik bank. Si pembeli hanya dititipi saja untuk membeli barang. Dan pihak bank yang sesungguhnya menjadi penjual harus mengecek dan yakin bahwa barang yang akan dijual benar-benar telah dibeli. Salah satunya misalnya dengan ditunjukkan faktur pembelian oleh pembeli yang dititip untuk membeli. Hal ini untuk menghindari kemungkinan barang tidak dibeli dengan uang tersebut sehingga menjadi pinjaman uang dengan pengembalian lebih.
Resiko yang terjadi dalam proses pengadaan barang, sepenuhnya menjadi tanggung jawab penjual, bukan resiko calon pembeli. Sebab mulai berlakunya akad jual-beli adalah ketika barang itu sudah diterima oleh pihak pembeli dalam keadaan selamat. Sehingga dalam praktek BBA harus ada dua akad yaitu :
1. Akad Wakalah : antara bank dengan nasabah. Dimana saat itu bank membeli barang dari pihak ketiga dan pembeli saat itu bertindak sebagai wakil dari pihak bank yang melakukan pembelian barang dari pihak ketiga.
2. Akad Jual-beli Kredit : setelah barang telah terbeli maka si bank menjual barang tersebut dengan harga yang disepakati dua pihak. Kemudian pembayaran nasabah kepada bank dengan cara kredit atau tidak tunai.
Kelemahan Yang Sering Terjadi
Namun praktek akad seperti ini seringkali terlanggar akibat kurang dipahaminya prinsip syariah, juga karena batas antara akad ini dengan akad lainnya sedemikian tipis. Ketika pihak bank menitipkan uang untuk membeli barang kepada pihak pembeli yang nantinya akan dibeli lagi oleh pembeli itu dengan harga yang lebih tinggi, ada celah yang bisa dimanfaatkan. Antara lain uang titipan itu tidak dibelikan barang yang dimaksud. Tetapi digunakan untuk keperluan yang lain. Lalu bila jatuh temponya, si pembeli melunasi pembayaran yang sudah dimark-up kepada pihak bank.
Kalau yang terjadi demikian, maka tidak ada bedanya dengan pinjaman uang berbunga. Dan alasan pembeli butuh barang hanyalah kamuflase belaka. Sebab pada prakteknya yang terjadi justru sebuah transaksi pinjam uang dengan kewajiban penambahan nilai pengembaliannya. Dan praktek itu jelas sebuah transaksi ribawi yang sejak dini telah diharamkan oleh kitab dan sunnah.
Sehingga bila sebuah bank syariah sampai terjebak dengan akad model begini, nilai syariahnya menjadi hilang dan syariah itu hanya tinggal assessoris yang tidak ada gunanya serta cenderung menipu ummat. Pada titik ini, sebuah bank yang berlabelkan syariah harus hati-hati. Sebab umat Islam menganggap apa yang dilakukan oleh bank syariah pastilah sudah seusai dengan syariah. Sehingga kalau sampai terjadi hal-hal yang diharamkan Allah, tentunya dosa dan azab sepenuhnya dibebankan kepada pemegang kebijakan bank itu.
Faktor Kelemahan
Salah satu faktor utama mengapa sebuah bank yang berlabelkan syariah masih seringkali terjebak dengan akad-akad yang justru tidak sesuai dengan syariah adalah karena umumnya latar belakang pendidikan dan pengalaman para bankir-nya bukan dari disiplin ilmu syariah. Meski umumnya mereka beragama Islam, tetapi nyaris semua ilmu ekonomi dan perbankan yang mereka pelajari tidak ada satupun yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah atau dari referensi ulama Islam. Semua datang dari sistem ekonomi kapitalis barat yang telah menjajajh negeri ini beratur-ratus tahun. Ekonomi Islam adalah sebuah barang asing yang lebih sreing disiasati ketimbang dijalankan dengan sepenuh hati.
Memang benar bahwa setiap bank yang berlabelkan syariah memiliki dewan pengawas syariah yang sebenarnya paling bertanggung-jawab atas hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Keberadaan dewan pengawas syariah ini memang mutlak, hanya saja dalam prakteknya masih perlu lebih ditingkatkan lagi. Agar keberadaan dewan pengawas syariah bukan sekedar embel-embel formalitas, sedangkan dalam prakteknya justru jelas-jelas melanggar ketentuan syariah.
Maka tidak cukup hanya diawasi oleh sebuah dewan yang barangkali tidak datang setiap hari, tetapi para bankir, karyawan dan staffnya pun harus mendapatkan pendidikan syariah yang cukup, berkualitas dan berkesinambungan. Sehingga aplikasi ajaran Islam bukan sekedar sebuah formalitas, melainkan benar-benar berangkat dari bashirah, wa`yu dan disiplin ilmu yang bisa dipertanggung-jawabkan.
Penulis : Ust. Ahmad Sarwat. Lc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar