IMAM HANAFI1. Biografi Imam Hanafi(80 – 150 H / 699-767 M)
Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah Al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan dikufah pada Tahun 80 H,
artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan (Manna al-Qaththan, 1989:202). Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada allah, yaitu berasal dari bahasa arab Haniif yang artinya condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta. Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiaya dan ditindas oleh Dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak terhadap Hisyam dan terbunuh, termasuk putranya Yahya ibn Zaid, Abu Hanifah sangat berduka. “Perjuangan Zaid sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar,” katanya.
Ketika Yazid ibn Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti Umayyah) menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim dipengadilan atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan juru cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal disana selama enam tahun (130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaaan Abbasiah dengan rasa gembira.
Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasaan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh Al - Manshur terhadap Al - Nasf, Al - Zakiah pada tahun 145 Hijriah. Abu hanifah tampil mengkritik Abbasiah. Ia mengkritik para Hakim dan Mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al - Manshur untuk menjadi hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya.. akhirnya ia dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H, akibat penderitaannya dalam tahanan.
2. Guru dan Murid Imam Hanafi
Imam hanafi adalah sorang imam yang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu beliau belajar kepada hammad bin abbas sulaiman dan bliaupun belajar kepada para-para tabi’in seperti atha bin abi rabahdan nafi’maulana ibnu umar.
Adapun yang menjadi murid-muridnya antara lain:
a. Abu Yusuf bin Ibrahim
b. Zufar bin Huzail
c. Muhammad bin Hasan
Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dan lain-lain.
3. Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam Hanafi
Pada awalnya Imam Hanafi (Abu hanifah) adalah seorang pedagang, atas anjuran Al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran Irak (ra’yu). Semua ilmu yang di pelajari bertalian dengan keagamaan. Mula – mula ia mempelajari hukum agama, kemudian ilmu kalam. Akan tetapi, difokuskan kepada masalah fiqh saja, tanpa mengecilkan arti ilmu yang lain, dan Abu Hanifah sendiri memang sangat tertarik mempelajari ilmu fiqh yang mengandung berbagai aspek kehidupan. Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah dalam penerapan tarikh tasyri’, diantaranya :
a. Bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘Ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia. Adapun alasan yang digunakan adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi Yang artinya
“ Nabi Muhammad SAW telah menjual benda wakaf”.(Baihaqi, VI, 1352-E: 163)
Pada awalnya, Abu Yusuf dan Muhammad sependapat dengan Abu Hanifah. Ketika melakukan ibadah haji bersama Harun al – Rasyid (salah seorang raja Dinasti Abbasiah) ’Abu Yusuf mendapat wakaf Umar bin Khattab yang tidak dibolehkan untuk dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Perbuatan Umar ini kemudian dimuat dalam Hadits Bukhari (Lihat Shahih al Bukhari, II, t.th: 14). Oleh karena itu, Abu Yusuf berpedapat bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, dan hibahkan. Ia berkata, “ kalau saja hadis tersebut sampai ke Abu Hanifah ia pasti akan mengubah pendapatnya”. (Ibnu Syuhnah al-Hanafi, 1973:294).
b. Bahwa Perempuan menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu, menurutnya perempuan boleh menjadi hakim yang menagani perkara perdata. Dengan demikian metode ijtihad yang digunakannya adalah Qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-Ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai far’i.
c. Abu Hanifah dan Ulama Hufadh berpendapat bahwa sholat gerhana matahari dan bulan dilakukan dua rakaat sebagaimana sholat id, tidak dilakukan dua kali rukuk dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut.
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
4. Sumber – Sumber Imam Hanafi
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan lain-lain.
Sumber-sumber hukum madzhab hanafi :
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
3. Ijma’ sahabat
4. Pendapat sahabat pribadi
5. Qiyas
6. Istihsan
7. ‘Urf
1. Al-Quran, Hadist dan Ijma’
Bagi mazhab hanafi al-quran, sunnah dan ijma’ merupakan sumber hukum yang terpenting, jika hukum tersebut tidak terdapat didalam al-quran maka meruju’ ke hadist dan jika tidak terdapat didalam hadist maka meruju’ ke ijma’. Terkait dengan sunnah, imam hanafi hanya menggunakan hadist yang sahih dan masyhur.
Pendapat para sahabat, imam Hanafi hanya menggunakan pendapat yang memadai permasalahan pada masa itu, dalam menetapkan pandangan ini sebagai prinsip penting mazhab hanafi.
2. Qiyas (Deduksi Analogis)
Konsep yang di utarakan oleh hanifah bahwa beliau tidak harus menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muritnya sahabat, dia memandang bahwa dirianya setara dengan para tabi’in dan melakukan atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri.
3. Istihsan (Preperensi)
Istihsan sederhananya adalah satu bukti yang lebih disukai dari pada bukti lainnya karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya yang, walupun bukti yang dugunakan ini lebih lemah dari pada bukti lain.
4. ‘Urf (Tradisi Lokal)
Tradisi lokal diberi bobot hukum dalam wilayah dimana tidak terdapat tradisi islam yang mengikat, melalui penerapan prinsip ini tradisi-tradisi yang beragam dalam budaya yang berbeda didalam dunia islam menjadi sumber hukum.
5. Metode dan Cara Ijtihat Abu Hanifah
Metode ijtihad yang digunakan oleh imam hanafi adalah :
1. Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhdap suatu permasalahan, metode yang digunakan oleh hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.
2. Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam sat nas desebabkan adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan maqsid al-syari’ah.
Thaha Jabir Fayadl al Ulwani membagi cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua yaitu: Cara Ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat diringkas sebagai berikut:
“Aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatnya, apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW dan Atsar yang Shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang Tsiqah. Apabila tidak mendapatkan dalam Al Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada Qaul Sahabat, (apabila sahabat Ikhtikaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn al-Musayyab serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”(Thaha Jabir Fayadl Al Ulwani,1987:91)
Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
(a) Bahwa Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti lafadz Khash;
(b) Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat Khusus
(c) bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (Rajih)
(d) adanya penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
(e) bahwa apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya,
(f) mendahulukan Qiyas Jali atas Khabar Ahad yang dipertentangkan
(g) menggunakan Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.
Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari ungkapannya yaitu “ sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain. Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad”.
Imam Malik
1. Biografi Imam Malik (93-179 H)
Nama lengkap pendiri mazhab maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H = 721M di Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda.
Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak mnghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, disamping itu dia juga menuntu ilmu nahwu, syair dan juga menghafal Al-Quran, beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama’ yang dikenal sangat cerdas diantara par ulam’ lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya.
Imam Malik belajar kepada ulama’-ulama’ Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibnu Umar, Imam Malik diakui oleh ulama di madinah sebagai Ahli hadist, bliau menghafal hadist sebanyak 100.000 ribu hadist.
Imam Malik adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan hadist, Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam Malik. Imam Malik membangun madzhabnya di atas dua puluh dalil, sebagaimana di kutip dari perkataan para Ulama Madzhab Maliki. dua puluh dalil tersebut yaitu:
1. Nash Al-Qur’an
2. Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an
3. Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum mukhalafahnya
4. Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya
5. Tambih Al-Qur’an, yakni memperhatikan illat (sebab) suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena sesungguhnya semua itu kotor (najis).” (Al-An’am:145)
Lima dalil ini adalah yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan yang berasal dari sunnah, juga sama seperti lima yang dari Al-Qur’an. Dengan demikian jumlahnya menjadi sepuluh. Adapun yang selanjutnya:
11. Ijma’
12. qiyas
13. Amal/perbuatan penduduk Madinah
14. Perkataan Sahabat
15. Istihsan
16. Saddu Dzari’ah
17. Memperhatikan perbedaan
18. Istishab
19. Mashlahah Mursalah
20. Syar’u man qablana (syariat sebelum kita).
Dalam pelaksanaannya tidak berurutan seperti yang disebutkan di atas. Qadhi Iyadh berkata: Setelah menjelaskan susunan ijtihad sesuai dengan yang dikehendaki, akal dan disaksikan syara’ , mendahulukan Kitabullah pada dalilnya dengan jelas daripada mendahulukan nash-nashnya, kemudian dzahir mafhumnya. Demikian juga sunnah menurut susunan mutawatir, masyhur dan ahad, lalu susunan nash-nashnya, dzahir-dzahirnya, dan mafhum-mafhumnya. Kemudian Ijma’ ketika tidak ada dalam Al-Qur’an dam sunnah mutawatir. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka menggunakan Qiyas dan mengistimbatkan darinya. Qadhi Iyad berkata setelah menjelaskan hal itu dan berhujjah dengannya: Bila Anda perhatikan pertama kali sikap para imam dan sumber pengambilan mereka dalam fiqih dan ijtihadnya dalam syara’, niscaya Anda dapati Malik menempuh cara ini dalam Ushulnya, susunannya, mendahului Al-Qur’an dari pada Atsar, mendahulukan Atsar dari pada Qiyas dan I’tibar. Meninggalkan Qiyas terhadap sesuatu yang orang-orang arif terpercaya tidak melakukannya dengan apa yang mereka lakukan atau mendapati sesuatu dari mayoritas penduduk Madinah yang telah melakukan yang lainnya dan menyelisihinya, kemudian beliau menempuh cara Salaf dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dia mengutamakan ittiba dan tidak menyukai bid’ah.
Dapat di pahami bahwa Imam Malik secara umum mengikuti cara orang-orang Hijaz dengan menetapkan Atsar selagi memungkinkan dan tidak menyukai perluasan masalah dan memaparkannya sebelum terjadi.
2. Murid dan Guru Imam Malik
Guru-guru imam malik sangat banyak, kebanyakan berasal dari antara lain:
a. Abdurrahman bin Hurmuz
b. Nafi’ Maulan ibnu Umar
c. Abnu Shihab Az-Zuhri, dan lain-lain
Adapun murid-muridnya adalah :
a. abumuhammad abdullah bin wahab
b. asbah bin farj
c. imam syafi’i
d. muhammad bin ibrahim, dan lain-lain
3. Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam Malik
Ditangah bekembangnya Mazhab hanafi, Imam Maliki memosisikan diri sebagai ulama’ Ahlu Al-Hadist, yang berpijak kepada tekstualitas dan memasukkan beberapa konsep Dhuruf wa Al-Hal serta diikuti dengan maslahah mursalah. Fikiran Imam Malik pada keseluruhannya hampir sama dengan ulama’ di iraq, khusunya dalam ketergantungannya baik dalam praktek yang dipandang ideal maupun dalam tradisi yang hidup dari para ulama.
Tujuan imam malik adalah ingin mengemukakan doktrin-doktrin yang deterima dari kalangan ulama’ madinah dan begitu jauh konsep-konsepnya didasari pada pemikiran perorangan dan wakil aliran madinah tersebut. Didalam menggabungkan penggunaan fikiran dengan ketergantungan kepada tradisi yang hidup, Malik menampakan cirikhas madinah, sehingga fiqh yang di karang olehnya Imam Maliki dilatar belakangi oleh background madinah.
Dalam berbagai hal banyak ditemui bahwa pemikiran imam malik banyak diilhami oleh tradisi masyrakat madinah yang didasari pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Masyarakat penduduk madinah banyak menerima fatwah-fatwah imam maliki walaupun kondisi masyarakat yang beragam aliran, ada beberapa fakto yang mempengaruhi fatwah-fatwah imam malik antara lain, budaya, sifat, dan kondisi masyarakat pada masa itu yang plural, sehingga imam malik menggunakan tiori maslahah mursalah.
4. Sumber-Sumber Hukum Imam Maliki
Dalam menentukan hukum-hukum, imam maliki memeberi runtutan pengambilan sumber hukum, adapun sumber-sumber hukum yang digunakan imam malik antara lain:
1. Al-Quran
2. Hadist (yang berkwalitas shahih dan masyhur)
3. Ijma’ (amalan ulama’ madinah ketika itu)
4. Qiyas (analogis)
5. Maslahah mursalah (kepentingan umum)
Konsep maslahah mursalah yang di gunakan oleh imam malik di dasari oleh kondisi masyarkat madinah, walaupun banyak para ulama yang tidak setuju dengan penggunaan metode maslahah mursalah dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap metode tersebut.
Imam malik lebih banyak menggunakan ijma’ dalam menentukan sebuah hukum, khusunya hokum-hukum baru yang tidak terdapat didalam alqu’an dan hadist.
5. Metode Ijtihad Imam Malik
Hal-hal yang membuat metodenya istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan perselisihan/perbedaan di antara dia dan yang lainnya, yaitu:
1) Amal/perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai hujjah bagi Malik dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad.
2) Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal dengannya.
3) Perkataan Sahabat
4) As-Sunnah
5) Beliau berpendapat menggunakan istihsan dalam berbagai masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya saja Malik tidak meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.
Mazhab Imam Syafi’i
1. Biografi Imam Syafi’i (150-204 H)
Mazhab ini dibangun oleh imam Abu A’dullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, beliau lahir di gazah pada tahun 150 H dan wafat di mesir pada tahun 204 H pada saat imam berumur 52 tahun.
Setelah ayahnya meninggal pada saat Imam Safi’i berumur hampir 2 tahun maka ibunya membawa Imam Syafi’i ke gazah karena dikhawatirkan kalau dia tinggal di gazah maka nasabnya dengan kaum Quraisy akan hilang sehingga Imam Syafi’i tidak dapat memperoleh pendidikan yang semestinya, pada saat itu keturunan quraisy sangat di junjung tinggi, dan orang-orang Quraisy adalah keturunan atau masih memilki hubungan dengan Rasul Saw, sehingga segala kebutuhan pasti dibantu oleh kaum Quraisy, dilatar belakangi hal tersebut maka Imam Syafi’i pindah ke mekkah.
Imam Syafi’i dikenal sangat pintar dalam segi keilmuan agama, hafalannya yang tajam dan kuat, sehingga pada umur 7 tahun beliau sudah menghafal Al-Quran, dan pada waktu menuntu ilmu Imam Syafi’i juga dapat mengulangi apa yang telah disampaikan oleh gurunya, setiap kali gurunya menjelaskan beberapa materi imam syafi’i selalu mencatatnya dan menghafalnya.
Jika kita telusuri sejarah perjuangan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i untuk mencari ilmu pengetahuan, maka itu semua tidak luput dari keserisusan dan semangat beliau untuk menjadi yang lebih baik. Kepribadian imam syafi’I yang suka merantau dari suatu daerah ke daerah yang lain hanya untuk mencari ilmu, itu dapat dicermati dalam syairnya :
Merantaulah ! pasti kamu akan mendapat ganti atas apa yang engkau tinggalkan
Maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah,
sehingga dengan berbekal keberanian Imam Syafi’i melakukan rihlahnya ke berbagai daerah, rihlah dilakukan beliau antara lain ke Madinah, Mekkah, Iraq, Yaman.
Pada saat Imam Syafi’i berumur 20 tahun, beliau pergi ke Mekah Al-Mukarramah untuk menuntut ilmu fiqh kepada seorang ulama’ besar yaitu Syekh Muslim bin Khalid yaitu imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu fiqh dari Muslim bin Khalid, Imam Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke Madina dengan tujuan menuntut ilmu kepada ulama’ terkemuka yaitu Imam Malik ( tekstual normatif) dengan kitab fiqihnya yang terkenal Al-Muwattaq. Imam Syafi’i dapat menghafal dengan waktu yang singkat semua kitab Al-Muwattaq Imam Malik. Karena merasa belum puas dengan keilmuannya, Setelah memguasai kitab Al-Muwattak. Syafi;I melanjutkan rihlahnya ke Iraq berguru kepada imam terkemuka disana yaitu Imam Abu Hanifah (rasionalistis),
Imam Syafi’i mencoba mengkolaborasikan pendapat, pola fikir dan fiqh kedua Imam tersebut, antara Ahlul Al-Hadist (tesa) dan Ahlul Ar-Ra’yu (antitesa). Jadi dapat dikatakan bahwa Imam Syafi’i adalah sintesa dari dua Imam tersebut. Setelah berguru kepada Abu Hanifah, Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke yaman untuk berguru disana, karena keterbatasan dana Imam Syaf’i’i mencari kerja di yaman, dengan bantuan temannya beliau diangkat menjadi hakim di Yaman, tetapi itu hanya sebentar saja, lalu beliau kembali ke mekkah.
2. Guru dan Murid Imam Syafi’i
Imam safi’I adalah imam yang ke tiga setelah Imam Malik, Hanifah dan Safi’i. didorong dengan kemauan yang kuat maka beliau berkelana mencari guru-guru yang terkenal di setiap kota, sehingga Imam Safi’i dapat menggali keilmuan dari beberapa gurunya antara lain:
1. Di Makkah antara lain:
a. Muslim bin Khalid Az-Zanji
b. Isma’il bin Qistanti
c. Sofyan bin Ujainah
d. Sa’ad bin Abi Salim
e. Daud bin Abdurrahman
f. Abdullah bin Nafi’
2. Di Madinah :
a. Imam Malik
b. Ibrahim ibnu Sa’ad
c. Abdul Azis bin Sa’id
d. Ibrahim ibnu Abi
e. Muhammad bin Sa’ad
f. Abdullah bin Naïf
3. Di Iraq :
a. Waqi’ bin Jarra
b. Humad bin Usamah
c. Ismail bin Ulyah
d. Abdul Wahhab bin Abdul Majid
e. Muhammad bin Hasan
4. di Yaman :
a. Mathraf bin Mazin
b. Hisyam bin Abu Yusuf
c. Umar bin Abi Salamah
d. Yahya bin Hasan
e. Qadhi bin Yusuf
Sedangkan murid-muridnya antara lain:
1. Di Bagdad :
a. Abu Ali Al-Hasan
b. Ahmad bin Hambal
c. Ishaq bin Rabuyah
2. Sedangkan muridnya yang ada di Mesir:
a. Abu Usman
b. Abu Hanifah
c. Abu Bakr Al Khumaini
Sebenarnya masih banyak lagi murid dan guru Imam syafi’I yang berasal dari madinah, makkah, iraq, dan yaman, tetapi kami hanya menulis sebagian kecil saja sebagai penguat dari histories Imam syafi’i.
3. Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam syafi’i (767-820 M)
Pada awal terbentuknya Mazhab Imam Syafi’i bertepatan dengan awal pertengahan Khalifah Bani Abbas berkisar antara kekhalifahan Abu Ja’far Almansur (754-775 M) dan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M).
Pola penalaran Imam syafi’I yang sangan kompleks dalam menyikapi dua aliran mazhab tersebut. Imam syafi’I dipandang seorang aggota aliran Madinah dan berjasa dalam keberhasilan Ahli Hadist dan hukum islam dengan bukti emperik yang telah di berikan oleh syafi’i yantu kitab Ar-Risalah yang memuat tentang Al-Qur’an, Al-Hadist dan Usul Fiqh, walaupun pada dasarnya banyak yang membantah tentang eksistensi Usul fiqh di dalam kitab Ar-Risalah.
Imam Syafi’i berusaha mengembangkan eksinitas hukum yang bisa menjawab permasalahan-permasalahan pada masa itu khususnya di Mesir dan Iraq, dengan mempelajari fiqh-fiqh Imam Malik dan Hanafi, Imam Syafi’i memperoleh perbandingan dan mengetahui kelemahan-kelemahan kedua Imam tersebut, maka Imam Syafi’i berusaha menciptakan yang lebih kompleks dari kedua imam tersebut. Prinsip dasarnya produk-produk fiqh Imam Syafi’i masih berbau pemikiran Imam Maliki dan Hanafi, karena bertapapun pengaruh gurunya imam Malik ulama’ madinah yang Ahli ‘Ubudiah dan Imam Hanafi ulama hijaz (Sufi) tidak bisa hilang dari muridnya.
Pada prinsipnya Imam Syafi’i hanya mengakui cara berfikir analogis dan sistematis yang terbatas, tidak menerima pendapat-pendapat arbitrer dan ketetapan-ketetapan yang bebas, ini merupakan suatu pembaharuan penting dengan pembaharuan tersebut teori hukum Syafi’i sangat berbeda dengan teori aliran hukum lama, dalam menerima hadist Imam Syafi’i tetap mengikuti aliran lama yaitu guru-gurunnya, dan dia hanya mengambil prinsip yang hanya menimbulkan ketidak fleksibelan. Berkenaan dengan hadist Nabi, Imam Syafi’i lebih teliti dalam memilahnya, dia hanya menggunakan hadist mutawatir dan ahad saja yang dijadikan sebagai sumber hokum ke dua setelah Al-Quran.
Masyarakat pada masa itu sudah mengalami kemajuan yang pesat dari segi keilmuan, sastra, budaya, perekonomian dan biro-biro pemerintahan. Dibidang keilmuan sudah mulai menterjemahkan buku-buku keilmuan romawi kedalam bahasa Persia, dari segi sastra telah muncul seni-seni ukir dan lukis, perekonomianpun sudah tertata dengan baik selaras dengan berjalannya biro-biro pemerintahan seperti lembaga peradilan dan yang lainnya.
Padamulanya Imam Syafi’i hanya mengarang kitab usul fiqh yang diberi nama Ar-Risalah yang dikarang oleh beliau di iraq, kitab ini ditulis atas permintaan Abdurrahman bin Al-Mahdi di makkah yang meminta penjelasan kepada imam Syafi’i tentang suatu kitab yang mencakup keilmuan Al-Quran, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Setelah ditulis oleh Imam Syafi’i yang di Bantu oleh murid-muridnya lalu dikirim ke Abdurrahan bin Al-Mahdi di Makkah, di kerenakan kitab tersebut dikirim ke makkah maka kitab yang dikarang olek Syafi’i diberi nama Ar-Risalah qadimah (Qaul Qadim).
Sebagai bapak ilmu usul fiqh, Imam Safi’i sangat berjasa dalam penerapan hukum islam terkait dengan keilmuan dan keluasan berpikir, ketertarikan konsep yang ditawarkan oleh imam Syafi’i memicu daya tarik dari kalangan imam-imam yang ada di Iraq, Mesir, Yaman dan Makkah. sehingga proses penyebaran Mazhab Syafi’i sangat pesat.
Setelah Syafi’i berada di Iraq beliau pindah ke mesir, di mesir Syafi’i juga menulis sebuah kitab fiqh yang dikenal dengan Qaul Jadid yaitu fiqh yang disesuaikan dengan kondisi orang-orang yang ada di mesir
Pada masa ini perkembangan tasyri’ sudah berjalan dengan baik, pengadilan-pengadilan sudah terbentuk, pembukuan kitab-kitab fiqh mulai beredar. Buku-buku yang notabennya banyak dikarang oleh kaum lelaki, factor tersebut menyebabkan dari kalangan wanita tidak begitu berperan dalam perkembangan keilmuan, tetapi tetap saja pengaruh dan kondisi orang arab yang keras dan masih berbau badui dan mazhab yang berbeda mewarnai perjalanan tasyri’ pada masa itu.
4. Sumber-Sumber Hukum Imam Syafi’i
Pengetahuan-pengetahuan untuk menggali hukum diperlukan keilmuan tentang dalil-dalil, tentang perintah dan larangan. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu sehingga tersusun dengan baik. Asas-asas yang di maksud misalnya asas tasyri’. Pengetahuan tentang dalil tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan daya nalar fikir dan daya kepahaman dalam menggali hukum tersebut, begitu juga yang dilakukan oleh Imam Syafi’i, dalam menggali hukum Sari’ah, Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal ini di utarakan Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah:
a) Al-Qur’an
b) Al-Hadist
c) Ijma’
d) Ra’yu (Qiyas)
1. Al-Qur’an
Konsep Al-Quran menurut para ulama’ dan Syafi’i sama yaitu suatu sumber hukum yang mutlaq, ini adalah landasan dasar, karena tidak mungkin di dapati perbedaan dalamnya baik lafald dengan lafald. Pemahaman Imam Syafi’i dikuatkan dengan firman allah (QS. 2:132). “Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat”
Dalam menggali hukum didalam Al-Quran Imam Syafi’i lebih menekankan kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan dipahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam. Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat Al-Quran setiap kali beliau berfatwah, namun Safi’i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari Al-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat.
Gagasan yang meyangkut keluasan bahasa, pada kenyataannya ia ingin mengatakan bahwa bahas arab tidak mungkin dapat dikuasai dengan sempurna kecuali Nabi, telah kita ketahui bersama bahwa penukilan Al-Quran telah dikenal adanya penukilan Mutwatir dan penukilan Ahad. Imam Syaf’i membenarkan penukilan Mutawatir kaitan untuk diamalkan dan di jadikan hujjah.
2. Al-Sunnah
Arti sunnah yang biasanya disebut dalam Ar-Risalah adalah “khabar” dalam arti istilah ilmu hadist adalah berita, bentuk jama’nya adalah khabar dalam artian yag keseluruhannya datang dari Nabi atau selainnya, penggunaan khabar lebih luas dari pada hadist.
Pemahaman Syafi’i tentang hadist adalah segala bentuk :
a) Al-Aqwal Nabi
b) Al-Af’al Nabi
c) Al-Taqdiru Nabi ’ala amrin
untuk hadist Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadist yang bersifat Mutawati dan Ahad, sedangkan untuk hadist yang dhaif hanya digunakan untuk li afdhalil amal, dalam menerima hadist ahad mazhab Syafi’i mnsyaratkan:
1. Perawinya tsiqah dan terkenal shidiq
2. Perawinya cerdikdan mahami hadistyang diriwaytkannya
3. Perawinya engan riwayat bi lafdhi bukan dengan riwayat bilmakn.
4. Perawinya tidak mnyalahi ahl-ilmi
Kalau kita perhatikan, persyaratan yang di syaratkan oleh Syafi’i hanya untuk keshahihan suatu hadist, hadist ahad yang diterimanya sebatas kalau hadist tersebut sahih dan bersambung.
Factor yang melatarbelakangi Syafi’i lebih teliti dalam menerima hadist karena sesudah Nabi wafat banyak dari kelangan aliran politik yang membuat hadist-hadist palsu untuk menguatkan posisinya sebagai pemimpin. Dan hadist pun bisa di atur dan di ubah sesuai denegan kenginan pemimpin.
3.Ijma’
Ijma’ yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’nya para sahabat, dalam arti perkara yang di putuskan oleh para sahabat dan di sepakati, maka itu menjadi sumber hukum yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik Al-Quran maupun hadist, contoh ijma’ yaitu shalat terawih 20 raka’at. Jika terjadi perbedaan diantar para sahabat, maka Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Quran dan sunnah.
Ijma’ menurut para ulama’ menempati posisi ketiga setelah Al-Quran dan Hadist, begitu juga dengan Syafi’i, konsep ijma’ yang di tawarkan oleh Syafi’i mengharuskan merujuk kepada dalil yang ada yaitu Al-Kitab dan Al-Sunnah yang memiliki hubungan kepada qiyas, alasan yang di utarakan oleh Syafi’i kenapa ijma’ harus disandarkan kepada nash. Petama, bila ijma’ tidak dikaitkan kepada dalil maka ijma’ tersebut tidak akan sampai kepada kebenaran. Kedua, bahwa para sahabat tidak lebih benar dari pada nabi, sementara nabi tidak pernah menetapkan hukum tanpa mengkaitkan dengan dalil-dalil Al-Quran. Ketiga, pendapat agama tanpa dikaitkan kepada dalil maka itu adalah salah besar Keempat, pandapat yang tidak dikaitkan dengan dalil maka tidak diketahui hokum syara’ nya.
4. Qiyas
Qiyas menurut para ahli hukum islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip tertetu, perbandingan hukum permasalahan yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama, contoh yang diberikan oleh Imam Syafi’i, zakat beras, tulang babi dan lain-lain.
Imam Syafi’i sangat membatasi pemikiran analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i tidak bisa independent karena semua yang diutarakan oleh Syafi’i dikaitkan dengan nash Al-Quran dan Sunnah.
5. Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Dalam berijtihad Imam Syafi’i menggunakan pemikiran-pemikiran yang jeli dan teliti, kita lihat model ijtihadnya sebagai berikut :
1. Metode induktif (Istiqra’i)
Metode ini lebih menekankan kepada penelitian fakta lapangan, cara ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan waktu terpanjang dan terpendek bagi wanita yang lagi haid, dalam menentukan waktu tersebut Imam Syafi’i melakukan penelitian kepada beberapa wanita yang ada di mesir, hasil penelitian tersebut dihasilkan data yang beragam, ada yang satu hari satu malam, ada yang sepuluh hari dan lima belas hari. Dari data tersebut Imam Syafi’i menyimpulkan bahwa paling cepat masa haid adalah satu hari dan paling lama adalah lima belas hari.
2. Metode dialektika (Jadali)
Terkait dengan hukum menikahi anak dari hasil perzinahan,Dalam menetapkan hokum ini syafi’I meruju’ kepada firman allah yaitu surat An-Nisa’ ayat 23, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anak (perempuanmu)”
Imam Syafi’i memberi devinisi bahwa yang diharamkan adalah anak dari istri yang telah kamu kawini dengan halal bukan dengan perbuatan haram, jadi kamu boleh menikahi anak istrimu dari hasil perbuatan zina antara kamu dan istrimu, dikarenakan dia bukan anak istrimu yang syah, dan dia tidak memiliki nasab dengan kumu(suami), tetapi kebolehan yang diberikan oleh Imam Syafi’i adalah kebolehan dalam arti Makruh.
Jawaban yang diberikan oleh Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa Syafi’i berusaha memberikan suatu eksistenti kekuatan daya nalar terhadap penggalian hukum.
Imam Madzhab Hambali
1. Biografi Imam Ahmad ibn Hambal
Beliau bernama Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani al-Marwazi. Ia lahir di Baghdad pada Tahun 164 H, dibesarkan dan wafat disana pada Tahun 231 H. Ahmad ibn Hambal dilahirkan ketika kekalifahan dipegang oleh Musa Al-Mahdi dari kalangan Abbasiyah. Musa al-Mahdi meninggal dan digantikan oleh Harun Ar-Rasyid (170-194H), Harun Ar-Rasyid digantikan oleh Al-Amin (194-198 H), Al-Amin digantikan oleh al-Makmun ( 198-218 H). Al-Makmun adalah khalifah yang menjadikan Mu’tazilah sebagai Madzhab Negara. Karena Imam Ahmad Ibn Hambal ini tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan Mu’tazilah, sehingga beliau mendapatkan penyiksaan bahkan dipenjarakan. Hal itu diketahui ketika Imam Ahmad diajukan pertanyaan tentang apakah Firman Tuhan (Al-Qur’an) adalah makhluk. Akan tetapi beliau tidak sependapat dengan menjawab bahwa Al-Qur’an bersifat Qadim dan bukan Makhluk. Karena menurut Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah baru, dan tidak bersifat qadim.Keberanian mempertahankan keyakinan ini disamping membawa resiko juga membawa keuntungan , yaitu membuatnya mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Karena itu kendati banyak Ulama’ yang menjalani hukuman mati , Al-Mu’Tashim dan Al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati terhadap Imam Ahmad karena takut menimbulkan kekacauan. Akhirnya Al-Mutawakkil kahlifah berikutnya menghapuskan pemaksaan paham Mu’tazilah.
2. Guru dan Murid Imam Hanbali
Adapun guru imam hanbali adalah
a. Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i
b. Hasyim
c. Abu Yusuf
d. Ibrahim Ibn Sa’ad
e. Sufyan Ibn Uyainah
Dan murid-muridnya antara lain :
a. Shalih ibn Ahmad Ibn Hambali
b. Abdullah Ibn Ahmad Ibn Hambali
c. Ahmad ibn Muhammad ibn Hani abu Bakar
d. Abdul malik Ibn Abd Al-Hamid
e. Ahmad Ibn Muhammad IbnAl-Hajjaj
3. Dinamika Tarikh tasryi’ Pada Masa Imam Hambali
Sebagaimana diketahui bahwa Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad, kemudian melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Daerah yang pernah dikunjungi adalah Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Syam, dan Yaman. Perjalanan ini dilakukan untuk belajar dan mengumpulkan Hadist, karena perjalanan yang begitu luas dalam mengumpulkan hadist Imam ibn Hambal menurut beberapa ulama’ dikenal dengan ahli hadist bukan imam Fiqh. Akan tetapi Imam Ahmad memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu Fiqih yang berkesan yaitu Imam Syafi’I yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi murid Imam Syafi’I yang terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri. Orang yang belajar hadist akan mengenalnya seperti halnya orang yang belajar ilmu fiqh. Karena belajar kepada Imam Syafi’I, para pengikut Imam Syafi’I menilai bahwa Ahmad Ibn Hambal adalah pengikut Imam syafi’I, meskipun dalam kasus tertentu ia berijtihad sendiri. Selain Imam Syafi’I yang dikenal menjadi guru Imam Ahmad adalah Abu Yusuf yaitu murid dan penerus Madzhab Hanafi. Akan tetapi dalam proses Tasyri’ Imam Hambali banyak.
Terpengaruh oleh Imam Syafi’I, yang masih nelakukan pendekatan tekstual, tidak seperti imam Hanafi yang menggunakan Ra’yu dan Qiyas dalam mengistinbathkan hukum.
4. Sumber-Sumber Hukum Madzhab Hambali
Pendapat-pendapat Ahmad ibn Hambal dibangun atas lima dasar yaitu sebagai berikut :
1. Al-Nushush dari Al-qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat , makna yang tersiratnya ia abaikan.
2. Apabila tidak didapatkan dalam Al-qur’an dan Sunnah ia menukil fatwa sahabat memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Imam Ahmad mengambil hadist mursal dan Dhaif sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya. Dimaksud dengan Dhaif disini bukan Dhaif yang batil dan yang mungkar. Tetapi Dhaif yang tergolong sahih atau hasan. Dalam pandangan imam ahmad, hadist itu tidak terbagi atas sahih, hasan dan dhaif, tetapi terbagi atas dua yaitu shahih dan dhaif saja. Pembagian hadist menjadi shahih, hasan dan dhaif dipopulerkan oleh al-Tirmidzi (209-279 H). Karenanya tidak mengherankan kalau di masa Imam Ahmad pembagian hadist masih kepada shahih dan dhaif. Hadist dhaif ada bertingkat-tingkat. Yang dimaksud dhaif tadi adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan hadist semacam ini lebih utama daripada menggunakan Qiyas.
5. Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat yaitu bila tidak ada “senjata” yang disebut sebelumnya.
5. Metode Ijtihad Imam Ahmad ibn Hambal
Metode yang di kembangkan oleh ahmad bin hambal adalah Metode Dialektika hal ini dpat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang seatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.
Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat :
“Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”
Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda :
“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “
Selanjutnya, tokoh yang membaharui dan melengkapi pemikiran Madzhab Hambali, terutama di bidang Mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyudin Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibn Al-Qayim al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid ibn Taimiyyah. Tadinya pengikut Madzhab Mahbali tidak begitu banyak, setelah dikembangkan oleh dua tokoh tersebut maka madzhab Hambalimenjadi semarak terlebih setelah dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H). dan kini menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Berkembangnya Empat Mazhab
Ada beberapa faktor yang menyebabkan berkembangannya mazhab para imam-imam tersebut antara lain:
1. Pendapat-pendapat imamnya itu dikumpulkan dan dibukukan, hal ini tidak terdapat pada salah satu imam salaf atau mazhab-mazhab yang lain.
2. Adanya murid-murid mereka yang berusaha menyebarluaskan pendapat-pendapat mereka.
3. Adanya kecendrungan imam-imam muslim (penguasa) agar keputusan suatu perkara diberikan oleh hakim yang berasal dari imam mazhab.
Imam Hanafi atau nama lainnya disebut Abu Hanifah, yang memiliki nama lengkapnya adalah Al-Numan ibn Tsabit ibn Zuhthi (80-150 H). Secara politik, Abu Hanifah hidup dalam dua generasi. Ia dilahirkan dikufah pada Tahun 80 H,
artinya ia lahir pada zaman Dinasti Umayyah, tepatnya pada Tahun 80 H, yaitu pada zaman kekuasaan Abd Al-Malik ibn Marwan (Manna al-Qaththan, 1989:202). Beliau meninggal pada zaman kekuasaan Abbasiah pada saat beliau berumur 70 tahun.
Beliau hidup selama 52 tahun pada zaman Umayyah dan 18 tahun pada zaman Abbasiah. Selama hidupnya ia melakukan ibadah haji lima puluh lima kali. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena diantara putranya ada yang bernama Hanifah. Selain itu, menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena beliau begitu taat beribadah kepada allah, yaitu berasal dari bahasa arab Haniif yang artinya condong atau cenderung kepada yang benar. Menurut riwayat lain, beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena begitu dekat dan eratnya beliau berteman dengan tinta. Hanifah menurut bahasa Irak adalah tinta. Sikap politiknya berpihak pada keluarga Ali (Ahlul Bait) yang selalu dianiaya dan ditindas oleh Dinasti Umayyah. Ketika Zaid berontak terhadap Hisyam dan terbunuh, termasuk putranya Yahya ibn Zaid, Abu Hanifah sangat berduka. “Perjuangan Zaid sama dengan perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam perang Badar,” katanya.
Ketika Yazid ibn Umar ibn Hubairah (zaman Dinasti Umayyah) menjadi Gubernur Irak, Abu Hanifah diminta menjadi hakim dipengadilan atau bendaharawan negara, tetapi ia menolaknya. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjarakan, bahkan dicambuk. Namun, atas pertolongan juru cambuk, ia berhasil meloloskan diri dari penjara dan pindah ke Mekah. Ia tinggal disana selama enam tahun (130-136 H). Setelah pemerintahan Umayyah berakhir, ia kembali ke Kufah dan menyambut kekuasaaan Abbasiah dengan rasa gembira.
Tidak berbeda dengan pemerintahan Bani Umayyah, Bani Abbas juga melakukan kekerasaan terhadap Ahlul Bait, seperti tindakan yang dilakukan oleh Al - Manshur terhadap Al - Nasf, Al - Zakiah pada tahun 145 Hijriah. Abu hanifah tampil mengkritik Abbasiah. Ia mengkritik para Hakim dan Mufti pemerintah. Ketika diminta oleh al - Manshur untuk menjadi hakim di pengadilan, Abu Hanifah menolaknya.. akhirnya ia dipenjara dan dicambuk. Ia meninggal pada tahun 150 H, akibat penderitaannya dalam tahanan.
2. Guru dan Murid Imam Hanafi
Imam hanafi adalah sorang imam yang sangat bersemangat dalam menuntut ilmu beliau belajar kepada hammad bin abbas sulaiman dan bliaupun belajar kepada para-para tabi’in seperti atha bin abi rabahdan nafi’maulana ibnu umar.
Adapun yang menjadi murid-muridnya antara lain:
a. Abu Yusuf bin Ibrahim
b. Zufar bin Huzail
c. Muhammad bin Hasan
Murid imam Abu Hanifah yang terkenal dan yang meneruskan pemikiran-pemikirannya adalah : Imam Abu Yusuf al-An sharg, Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, dan lain-lain.
3. Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam Hanafi
Pada awalnya Imam Hanafi (Abu hanifah) adalah seorang pedagang, atas anjuran Al-Syabi ia kemudian menjadi pengembang ilmu. Abu Hanifah belajar fiqih kepada ulama aliran Irak (ra’yu). Semua ilmu yang di pelajari bertalian dengan keagamaan. Mula – mula ia mempelajari hukum agama, kemudian ilmu kalam. Akan tetapi, difokuskan kepada masalah fiqh saja, tanpa mengecilkan arti ilmu yang lain, dan Abu Hanifah sendiri memang sangat tertarik mempelajari ilmu fiqh yang mengandung berbagai aspek kehidupan. Imam Abu Hanifah mengajak kepada kebebasan berfikir dalam memecahkan masalah-masalah baru yang belum terdapat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Ia banyak mengandalkan qiyas (analogi) dalam menentukan hukum.
Di bawah ini akan dipaparkan beberapa contoh ijtihad Abu Hanifah dalam penerapan tarikh tasyri’, diantaranya :
a. Bahwa benda wakaf masih tetap milik wakif. Kedudukan wakaf dipandang sama dengan ‘Ariyah (pinjam-meminjam). Karena masih tetap milik wakif, benda wakaf dapat dijual, diwariskan, dan dihibahkan oleh wakif kepada yang lain, kecuali wakaf untuk masjid, wakaf yang ditetapkan berdasarkan keputusan hakim, wakaf wasiat, dan wakaf yang diikrarkan secara tegas bahwa itu terus dilanjutkan meskipun wakif telah meninggal dunia. Adapun alasan yang digunakan adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al Baihaqi Yang artinya
“ Nabi Muhammad SAW telah menjual benda wakaf”.(Baihaqi, VI, 1352-E: 163)
Pada awalnya, Abu Yusuf dan Muhammad sependapat dengan Abu Hanifah. Ketika melakukan ibadah haji bersama Harun al – Rasyid (salah seorang raja Dinasti Abbasiah) ’Abu Yusuf mendapat wakaf Umar bin Khattab yang tidak dibolehkan untuk dijual, diwariskan, dan dihibahkan. Perbuatan Umar ini kemudian dimuat dalam Hadits Bukhari (Lihat Shahih al Bukhari, II, t.th: 14). Oleh karena itu, Abu Yusuf berpedapat bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, diwariskan, dan hibahkan. Ia berkata, “ kalau saja hadis tersebut sampai ke Abu Hanifah ia pasti akan mengubah pendapatnya”. (Ibnu Syuhnah al-Hanafi, 1973:294).
b. Bahwa Perempuan menjadi hakim di pengadilan yang tugasnya khusus menangani perkara perdata, bukan perkara pidana. Karena perempuan tidak dibolehkan menjadi saksi pidana, ia hanya dibenarkan menjadi saksi perkara perdata. Karena itu, menurutnya perempuan boleh menjadi hakim yang menagani perkara perdata. Dengan demikian metode ijtihad yang digunakannya adalah Qiyas dengan menjadikan kesaksian sebagai al-Ashl dan menjadikan hakim perempuan sebagai far’i.
c. Abu Hanifah dan Ulama Hufadh berpendapat bahwa sholat gerhana matahari dan bulan dilakukan dua rakaat sebagaimana sholat id, tidak dilakukan dua kali rukuk dalam satu rakaat.
Imam Abu Hanifah dikenal sebagai ulama yang luas ilmunya dan sempat pula menambah pengalaman dalam masalah politik, karena di masa hidupnya ia mengalami situasi perpindahan kekuasaan dari khlifah Bani Umayyah kepada khalifah Bani Abbasiyah, yang tentunya mengalami perubahan situasi yang sangat berbeda antarta kedua masa tersebut.
Madzhab Hanafi berkembang karena kegigihan murid-muridnya menyebarkan ke masyarakat luas, namun kadang-kadang ada pendapat murid yang bertentangan dengan pendapat gurunya, maka itulah salah satu ciri khas fiqih Hanafiyah yang terkadang memuat bantahan gurunya terhadap ulama fiqih yang hidup di masanya.
4. Sumber – Sumber Imam Hanafi
Ulama Hanafiyah menyusun kitab-kitab fiqih, diantaranya Jami’ al-Fushulai, Dlarar al-Hukkam, kitab al-Fiqh dan Qawaid al-Fiqh, dan lain-lain.
Sumber-sumber hukum madzhab hanafi :
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
3. Ijma’ sahabat
4. Pendapat sahabat pribadi
5. Qiyas
6. Istihsan
7. ‘Urf
1. Al-Quran, Hadist dan Ijma’
Bagi mazhab hanafi al-quran, sunnah dan ijma’ merupakan sumber hukum yang terpenting, jika hukum tersebut tidak terdapat didalam al-quran maka meruju’ ke hadist dan jika tidak terdapat didalam hadist maka meruju’ ke ijma’. Terkait dengan sunnah, imam hanafi hanya menggunakan hadist yang sahih dan masyhur.
Pendapat para sahabat, imam Hanafi hanya menggunakan pendapat yang memadai permasalahan pada masa itu, dalam menetapkan pandangan ini sebagai prinsip penting mazhab hanafi.
2. Qiyas (Deduksi Analogis)
Konsep yang di utarakan oleh hanifah bahwa beliau tidak harus menerima rumusan hukum dari para tabi’in atau dari muritnya sahabat, dia memandang bahwa dirianya setara dengan para tabi’in dan melakukan atau menetapkan hukum dengan qiyasnya sendiri.
3. Istihsan (Preperensi)
Istihsan sederhananya adalah satu bukti yang lebih disukai dari pada bukti lainnya karena ia tampak lebih sesuai dengan situasinya yang, walupun bukti yang dugunakan ini lebih lemah dari pada bukti lain.
4. ‘Urf (Tradisi Lokal)
Tradisi lokal diberi bobot hukum dalam wilayah dimana tidak terdapat tradisi islam yang mengikat, melalui penerapan prinsip ini tradisi-tradisi yang beragam dalam budaya yang berbeda didalam dunia islam menjadi sumber hukum.
5. Metode dan Cara Ijtihat Abu Hanifah
Metode ijtihad yang digunakan oleh imam hanafi adalah :
1. Metode Dialektika
Dengan menggunakan analogi terhdap suatu permasalahan, metode yang digunakan oleh hanafi independen dalam artian lebih menjurus kepada pemikiran-pemikiran individualistik, yang diikuti dengan pola qiyas.
2. Metode Istihsan
Yaitu upaya untuk mentawaqufkan prinsip-prinsip umum dalam sat nas desebabkan adanya nas lain yang menghendaki demikian, metode ini dikaitkan dengan maqsid al-syari’ah.
Thaha Jabir Fayadl al Ulwani membagi cara ijtihad Abu Hanifah menjadi dua yaitu: Cara Ijtihad yang pokok dan cara ijtihad yang merupakan tambahan. Cara ijtihadnya yang pokok dapat diringkas sebagai berikut:
“Aku (Abu Hanifah) merujuk kepada Al-Quran apabila aku mendapatnya, apabila tidak ada dalam Al-Quran, aku merujuk kepada Sunnah Rasulullah SAW dan Atsar yang Shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang Tsiqah. Apabila tidak mendapatkan dalam Al Quran dan sunnah rasul, aku merujuk kepada Qaul Sahabat, (apabila sahabat Ikhtikaf), aku mengambil pendapat sahabat yang mana saja yang kukehendaki, aku tidak akan pindah dari pendapat yang satu ke pendapat sahabat yang lain. Apabila didapatkan pendapat Ibrahim, al-Sya’bi, dan Ibn al-Musayyab serta yang lainnya, aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”(Thaha Jabir Fayadl Al Ulwani,1987:91)
Sedangkan cara berijtihad Abu Hanifah yang bersifat tambahan adalah:
(a) Bahwa Dilalah lafad umum (“am”) adalah Qoth’i seperti lafadz Khash;
(b) Bahwa pendapat sahabat yang tidak sejalan dengan pendapat umum adalah bersifat Khusus
(c) bahwa banyaknya yang meriwayatkan tidak berarti lebih kuat (Rajih)
(d) adanya penolakan terhadap Mafhum (makna tersirat) syarat dan sifat
(e) bahwa apabila perbuatan Rawi menyalahi riwayatnya yang dijadikan dalil adalah perbuatannya, bukan riwayatnya,
(f) mendahulukan Qiyas Jali atas Khabar Ahad yang dipertentangkan
(g) menggunakan Istikhsan dan meninggalkan Qiyas apabila diperlukan.
Langkah ijtihad yang ditempuh oleh Abu Hanifah dapat dilihat dari ungkapannya yaitu “ sungguh, saya berpegang pada Kitab Allah jika aku dapati disana. Jika tidak saya mengambil sunnah Rasulullah Saw. Dan atsar shahihah yang tersiar di kalangan ulama tsiqah. Jika tidak aku dapati juga di Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah saya mengambil pendapat sahabat yang aku kehendaki pula. Kemudian aku tidak keluar dari pendapat mereka ke pendapat yang lain. Bila kasus tersebut pernah diputuskan oleh orang-orang seperti Ibrahim, al-Sya’bi, al-Hasan, Ibn Sirin, dan Sa’id al-Musayyab, maka saya akan berijtihad juga seperti mereka telah berijtihad”.
Imam Malik
1. Biografi Imam Malik (93-179 H)
Nama lengkap pendiri mazhab maliki adalah Malik bin Annas bin Abu Amir. Lahir pada tahun 93 H = 721M di Madinah pada perkembangan selanjutnya beliau dikenal dengan sebutan Imam Malik. Beliau wafat pada tahun 179 H, hanya berbeda 29 tahun dengan Abu Hanifah, walaupun pada zaman yang sama, tetapi tempatnya yang berbeda.
Pada waktu beliau masih kecil, Malik juga belajar berdagang dan pekerjaan ini tidak mnghalangi ia untuk menuntut ilmu fiqh kepada Alkamah bin Alkamah, disamping itu dia juga menuntu ilmu nahwu, syair dan juga menghafal Al-Quran, beliau juga menuntut ilmu kepada seorang ulama’ yang dikenal sangat cerdas diantara par ulam’ lainnya yaitu Rabi’ah, Imam Malik sangat mengagumi gurunya tersebut, karena kecerdasan dan kealimanya.
Imam Malik belajar kepada ulama’-ulama’ Madinah, dan yang menjadi guru pertamanya adalah Abdurrahman bin Hurmuz, beliau juga belajar kepada Nafi’ Maulana ibnu Umar, Imam Malik diakui oleh ulama di madinah sebagai Ahli hadist, bliau menghafal hadist sebanyak 100.000 ribu hadist.
Imam Malik adalah seorang tokok dihijas dalam segala hal, baik fiqh, al-quran dan hadist, Imam Malik tumbuh besar dikalangan ulama Ahlu Al-Hadist, maka hal tersebut mempengaruhi pemikiran Imam Malik. Imam Malik membangun madzhabnya di atas dua puluh dalil, sebagaimana di kutip dari perkataan para Ulama Madzhab Maliki. dua puluh dalil tersebut yaitu:
1. Nash Al-Qur’an
2. Keumuman Al-Qur’an, yakni zhahir Al-Qur’an
3. Dalil Al-Qur’an, yakni mafhum mukhalafahnya
4. Mafhum Al-Qur’an, yakni mafhum muwafaqahnya
5. Tambih Al-Qur’an, yakni memperhatikan illat (sebab) suatu ayat, seperti firman Allah, “Karena sesungguhnya semua itu kotor (najis).” (Al-An’am:145)
Lima dalil ini adalah yang bersumber dari Al-Qur’an. Sedangkan yang berasal dari sunnah, juga sama seperti lima yang dari Al-Qur’an. Dengan demikian jumlahnya menjadi sepuluh. Adapun yang selanjutnya:
11. Ijma’
12. qiyas
13. Amal/perbuatan penduduk Madinah
14. Perkataan Sahabat
15. Istihsan
16. Saddu Dzari’ah
17. Memperhatikan perbedaan
18. Istishab
19. Mashlahah Mursalah
20. Syar’u man qablana (syariat sebelum kita).
Dalam pelaksanaannya tidak berurutan seperti yang disebutkan di atas. Qadhi Iyadh berkata: Setelah menjelaskan susunan ijtihad sesuai dengan yang dikehendaki, akal dan disaksikan syara’ , mendahulukan Kitabullah pada dalilnya dengan jelas daripada mendahulukan nash-nashnya, kemudian dzahir mafhumnya. Demikian juga sunnah menurut susunan mutawatir, masyhur dan ahad, lalu susunan nash-nashnya, dzahir-dzahirnya, dan mafhum-mafhumnya. Kemudian Ijma’ ketika tidak ada dalam Al-Qur’an dam sunnah mutawatir. Ketika tidak ada semua yang pokok ini maka menggunakan Qiyas dan mengistimbatkan darinya. Qadhi Iyad berkata setelah menjelaskan hal itu dan berhujjah dengannya: Bila Anda perhatikan pertama kali sikap para imam dan sumber pengambilan mereka dalam fiqih dan ijtihadnya dalam syara’, niscaya Anda dapati Malik menempuh cara ini dalam Ushulnya, susunannya, mendahului Al-Qur’an dari pada Atsar, mendahulukan Atsar dari pada Qiyas dan I’tibar. Meninggalkan Qiyas terhadap sesuatu yang orang-orang arif terpercaya tidak melakukannya dengan apa yang mereka lakukan atau mendapati sesuatu dari mayoritas penduduk Madinah yang telah melakukan yang lainnya dan menyelisihinya, kemudian beliau menempuh cara Salaf dalam menghadapi berbagai kesulitan. Dia mengutamakan ittiba dan tidak menyukai bid’ah.
Dapat di pahami bahwa Imam Malik secara umum mengikuti cara orang-orang Hijaz dengan menetapkan Atsar selagi memungkinkan dan tidak menyukai perluasan masalah dan memaparkannya sebelum terjadi.
2. Murid dan Guru Imam Malik
Guru-guru imam malik sangat banyak, kebanyakan berasal dari antara lain:
a. Abdurrahman bin Hurmuz
b. Nafi’ Maulan ibnu Umar
c. Abnu Shihab Az-Zuhri, dan lain-lain
Adapun murid-muridnya adalah :
a. abumuhammad abdullah bin wahab
b. asbah bin farj
c. imam syafi’i
d. muhammad bin ibrahim, dan lain-lain
3. Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam Malik
Ditangah bekembangnya Mazhab hanafi, Imam Maliki memosisikan diri sebagai ulama’ Ahlu Al-Hadist, yang berpijak kepada tekstualitas dan memasukkan beberapa konsep Dhuruf wa Al-Hal serta diikuti dengan maslahah mursalah. Fikiran Imam Malik pada keseluruhannya hampir sama dengan ulama’ di iraq, khusunya dalam ketergantungannya baik dalam praktek yang dipandang ideal maupun dalam tradisi yang hidup dari para ulama.
Tujuan imam malik adalah ingin mengemukakan doktrin-doktrin yang deterima dari kalangan ulama’ madinah dan begitu jauh konsep-konsepnya didasari pada pemikiran perorangan dan wakil aliran madinah tersebut. Didalam menggabungkan penggunaan fikiran dengan ketergantungan kepada tradisi yang hidup, Malik menampakan cirikhas madinah, sehingga fiqh yang di karang olehnya Imam Maliki dilatar belakangi oleh background madinah.
Dalam berbagai hal banyak ditemui bahwa pemikiran imam malik banyak diilhami oleh tradisi masyrakat madinah yang didasari pertimbangan-pertimbangan yang matang.
Masyarakat penduduk madinah banyak menerima fatwah-fatwah imam maliki walaupun kondisi masyarakat yang beragam aliran, ada beberapa fakto yang mempengaruhi fatwah-fatwah imam malik antara lain, budaya, sifat, dan kondisi masyarakat pada masa itu yang plural, sehingga imam malik menggunakan tiori maslahah mursalah.
4. Sumber-Sumber Hukum Imam Maliki
Dalam menentukan hukum-hukum, imam maliki memeberi runtutan pengambilan sumber hukum, adapun sumber-sumber hukum yang digunakan imam malik antara lain:
1. Al-Quran
2. Hadist (yang berkwalitas shahih dan masyhur)
3. Ijma’ (amalan ulama’ madinah ketika itu)
4. Qiyas (analogis)
5. Maslahah mursalah (kepentingan umum)
Konsep maslahah mursalah yang di gunakan oleh imam malik di dasari oleh kondisi masyarkat madinah, walaupun banyak para ulama yang tidak setuju dengan penggunaan metode maslahah mursalah dikarenakan tidak ada dalil yang menunjukkan terhadap metode tersebut.
Imam malik lebih banyak menggunakan ijma’ dalam menentukan sebuah hukum, khusunya hokum-hukum baru yang tidak terdapat didalam alqu’an dan hadist.
5. Metode Ijtihad Imam Malik
Hal-hal yang membuat metodenya istimewa, yang memberi pengaruh dalam perluasan lapangan perselisihan/perbedaan di antara dia dan yang lainnya, yaitu:
1) Amal/perbuatan Penduduk Madinah, adalah sebagai hujjah bagi Malik dan didahulukan dari pada Qiyas dan Khobar Ahad.
2) Mashlahah Mursalah Istishlah yaitu kemaslahatan-kemaslahatan yang tidak diperlihatkan oleh syara’ kebatalannya dan tidak pula disebutkan oleh nash tertentu dan dikembalikan pada pemeliharaan maksud syara’ yang keadaan maksudnya dapat diketahui dengan Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan tidak diperselisihkan mengikutinya kecuali ketika terjadi pertentangan dengan maslahat lain. Maka ketika seperti ini Malik mendahulukan beramal dengannya.
3) Perkataan Sahabat
4) As-Sunnah
5) Beliau berpendapat menggunakan istihsan dalam berbagai masalah, seperti jaminan pekerjaan, menolong pemilik dapur roti dan mesin giling, bayaran kamar mandi bagi semua orang itu sama dan pelaksanaan Qisas harus menghadirkan beberapa orang saksi dan sumpah; hanya saja Malik tidak meluaskan dalam pendapatnya tidak seprti madzhab Hanafi.
Mazhab Imam Syafi’i
1. Biografi Imam Syafi’i (150-204 H)
Mazhab ini dibangun oleh imam Abu A’dullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Syafi’i, beliau di juluki Imam Syafi’i karena kakeknya bernama Syafi’i, Imam Syafi’i adalah keturunan Bani Hasyim yang memiliki nasab kepada Rasul, beliau lahir di gazah pada tahun 150 H dan wafat di mesir pada tahun 204 H pada saat imam berumur 52 tahun.
Setelah ayahnya meninggal pada saat Imam Safi’i berumur hampir 2 tahun maka ibunya membawa Imam Syafi’i ke gazah karena dikhawatirkan kalau dia tinggal di gazah maka nasabnya dengan kaum Quraisy akan hilang sehingga Imam Syafi’i tidak dapat memperoleh pendidikan yang semestinya, pada saat itu keturunan quraisy sangat di junjung tinggi, dan orang-orang Quraisy adalah keturunan atau masih memilki hubungan dengan Rasul Saw, sehingga segala kebutuhan pasti dibantu oleh kaum Quraisy, dilatar belakangi hal tersebut maka Imam Syafi’i pindah ke mekkah.
Imam Syafi’i dikenal sangat pintar dalam segi keilmuan agama, hafalannya yang tajam dan kuat, sehingga pada umur 7 tahun beliau sudah menghafal Al-Quran, dan pada waktu menuntu ilmu Imam Syafi’i juga dapat mengulangi apa yang telah disampaikan oleh gurunya, setiap kali gurunya menjelaskan beberapa materi imam syafi’i selalu mencatatnya dan menghafalnya.
Jika kita telusuri sejarah perjuangan yang dilakukan oleh Imam Syafi’i untuk mencari ilmu pengetahuan, maka itu semua tidak luput dari keserisusan dan semangat beliau untuk menjadi yang lebih baik. Kepribadian imam syafi’I yang suka merantau dari suatu daerah ke daerah yang lain hanya untuk mencari ilmu, itu dapat dicermati dalam syairnya :
Merantaulah ! pasti kamu akan mendapat ganti atas apa yang engkau tinggalkan
Maka tinggalkanlah kampung halaman dan merantaulah,
sehingga dengan berbekal keberanian Imam Syafi’i melakukan rihlahnya ke berbagai daerah, rihlah dilakukan beliau antara lain ke Madinah, Mekkah, Iraq, Yaman.
Pada saat Imam Syafi’i berumur 20 tahun, beliau pergi ke Mekah Al-Mukarramah untuk menuntut ilmu fiqh kepada seorang ulama’ besar yaitu Syekh Muslim bin Khalid yaitu imam masjidil haram. Setelah menggali ilmu fiqh dari Muslim bin Khalid, Imam Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke Madina dengan tujuan menuntut ilmu kepada ulama’ terkemuka yaitu Imam Malik ( tekstual normatif) dengan kitab fiqihnya yang terkenal Al-Muwattaq. Imam Syafi’i dapat menghafal dengan waktu yang singkat semua kitab Al-Muwattaq Imam Malik. Karena merasa belum puas dengan keilmuannya, Setelah memguasai kitab Al-Muwattak. Syafi;I melanjutkan rihlahnya ke Iraq berguru kepada imam terkemuka disana yaitu Imam Abu Hanifah (rasionalistis),
Imam Syafi’i mencoba mengkolaborasikan pendapat, pola fikir dan fiqh kedua Imam tersebut, antara Ahlul Al-Hadist (tesa) dan Ahlul Ar-Ra’yu (antitesa). Jadi dapat dikatakan bahwa Imam Syafi’i adalah sintesa dari dua Imam tersebut. Setelah berguru kepada Abu Hanifah, Syafi’i melanjutkan rihlahnya ke yaman untuk berguru disana, karena keterbatasan dana Imam Syaf’i’i mencari kerja di yaman, dengan bantuan temannya beliau diangkat menjadi hakim di Yaman, tetapi itu hanya sebentar saja, lalu beliau kembali ke mekkah.
2. Guru dan Murid Imam Syafi’i
Imam safi’I adalah imam yang ke tiga setelah Imam Malik, Hanifah dan Safi’i. didorong dengan kemauan yang kuat maka beliau berkelana mencari guru-guru yang terkenal di setiap kota, sehingga Imam Safi’i dapat menggali keilmuan dari beberapa gurunya antara lain:
1. Di Makkah antara lain:
a. Muslim bin Khalid Az-Zanji
b. Isma’il bin Qistanti
c. Sofyan bin Ujainah
d. Sa’ad bin Abi Salim
e. Daud bin Abdurrahman
f. Abdullah bin Nafi’
2. Di Madinah :
a. Imam Malik
b. Ibrahim ibnu Sa’ad
c. Abdul Azis bin Sa’id
d. Ibrahim ibnu Abi
e. Muhammad bin Sa’ad
f. Abdullah bin Naïf
3. Di Iraq :
a. Waqi’ bin Jarra
b. Humad bin Usamah
c. Ismail bin Ulyah
d. Abdul Wahhab bin Abdul Majid
e. Muhammad bin Hasan
4. di Yaman :
a. Mathraf bin Mazin
b. Hisyam bin Abu Yusuf
c. Umar bin Abi Salamah
d. Yahya bin Hasan
e. Qadhi bin Yusuf
Sedangkan murid-muridnya antara lain:
1. Di Bagdad :
a. Abu Ali Al-Hasan
b. Ahmad bin Hambal
c. Ishaq bin Rabuyah
2. Sedangkan muridnya yang ada di Mesir:
a. Abu Usman
b. Abu Hanifah
c. Abu Bakr Al Khumaini
Sebenarnya masih banyak lagi murid dan guru Imam syafi’I yang berasal dari madinah, makkah, iraq, dan yaman, tetapi kami hanya menulis sebagian kecil saja sebagai penguat dari histories Imam syafi’i.
3. Dinamika Tarikh Tasyri’ Pada Masa Imam syafi’i (767-820 M)
Pada awal terbentuknya Mazhab Imam Syafi’i bertepatan dengan awal pertengahan Khalifah Bani Abbas berkisar antara kekhalifahan Abu Ja’far Almansur (754-775 M) dan Khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M).
Pola penalaran Imam syafi’I yang sangan kompleks dalam menyikapi dua aliran mazhab tersebut. Imam syafi’I dipandang seorang aggota aliran Madinah dan berjasa dalam keberhasilan Ahli Hadist dan hukum islam dengan bukti emperik yang telah di berikan oleh syafi’i yantu kitab Ar-Risalah yang memuat tentang Al-Qur’an, Al-Hadist dan Usul Fiqh, walaupun pada dasarnya banyak yang membantah tentang eksistensi Usul fiqh di dalam kitab Ar-Risalah.
Imam Syafi’i berusaha mengembangkan eksinitas hukum yang bisa menjawab permasalahan-permasalahan pada masa itu khususnya di Mesir dan Iraq, dengan mempelajari fiqh-fiqh Imam Malik dan Hanafi, Imam Syafi’i memperoleh perbandingan dan mengetahui kelemahan-kelemahan kedua Imam tersebut, maka Imam Syafi’i berusaha menciptakan yang lebih kompleks dari kedua imam tersebut. Prinsip dasarnya produk-produk fiqh Imam Syafi’i masih berbau pemikiran Imam Maliki dan Hanafi, karena bertapapun pengaruh gurunya imam Malik ulama’ madinah yang Ahli ‘Ubudiah dan Imam Hanafi ulama hijaz (Sufi) tidak bisa hilang dari muridnya.
Pada prinsipnya Imam Syafi’i hanya mengakui cara berfikir analogis dan sistematis yang terbatas, tidak menerima pendapat-pendapat arbitrer dan ketetapan-ketetapan yang bebas, ini merupakan suatu pembaharuan penting dengan pembaharuan tersebut teori hukum Syafi’i sangat berbeda dengan teori aliran hukum lama, dalam menerima hadist Imam Syafi’i tetap mengikuti aliran lama yaitu guru-gurunnya, dan dia hanya mengambil prinsip yang hanya menimbulkan ketidak fleksibelan. Berkenaan dengan hadist Nabi, Imam Syafi’i lebih teliti dalam memilahnya, dia hanya menggunakan hadist mutawatir dan ahad saja yang dijadikan sebagai sumber hokum ke dua setelah Al-Quran.
Masyarakat pada masa itu sudah mengalami kemajuan yang pesat dari segi keilmuan, sastra, budaya, perekonomian dan biro-biro pemerintahan. Dibidang keilmuan sudah mulai menterjemahkan buku-buku keilmuan romawi kedalam bahasa Persia, dari segi sastra telah muncul seni-seni ukir dan lukis, perekonomianpun sudah tertata dengan baik selaras dengan berjalannya biro-biro pemerintahan seperti lembaga peradilan dan yang lainnya.
Padamulanya Imam Syafi’i hanya mengarang kitab usul fiqh yang diberi nama Ar-Risalah yang dikarang oleh beliau di iraq, kitab ini ditulis atas permintaan Abdurrahman bin Al-Mahdi di makkah yang meminta penjelasan kepada imam Syafi’i tentang suatu kitab yang mencakup keilmuan Al-Quran, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Setelah ditulis oleh Imam Syafi’i yang di Bantu oleh murid-muridnya lalu dikirim ke Abdurrahan bin Al-Mahdi di Makkah, di kerenakan kitab tersebut dikirim ke makkah maka kitab yang dikarang olek Syafi’i diberi nama Ar-Risalah qadimah (Qaul Qadim).
Sebagai bapak ilmu usul fiqh, Imam Safi’i sangat berjasa dalam penerapan hukum islam terkait dengan keilmuan dan keluasan berpikir, ketertarikan konsep yang ditawarkan oleh imam Syafi’i memicu daya tarik dari kalangan imam-imam yang ada di Iraq, Mesir, Yaman dan Makkah. sehingga proses penyebaran Mazhab Syafi’i sangat pesat.
Setelah Syafi’i berada di Iraq beliau pindah ke mesir, di mesir Syafi’i juga menulis sebuah kitab fiqh yang dikenal dengan Qaul Jadid yaitu fiqh yang disesuaikan dengan kondisi orang-orang yang ada di mesir
Pada masa ini perkembangan tasyri’ sudah berjalan dengan baik, pengadilan-pengadilan sudah terbentuk, pembukuan kitab-kitab fiqh mulai beredar. Buku-buku yang notabennya banyak dikarang oleh kaum lelaki, factor tersebut menyebabkan dari kalangan wanita tidak begitu berperan dalam perkembangan keilmuan, tetapi tetap saja pengaruh dan kondisi orang arab yang keras dan masih berbau badui dan mazhab yang berbeda mewarnai perjalanan tasyri’ pada masa itu.
4. Sumber-Sumber Hukum Imam Syafi’i
Pengetahuan-pengetahuan untuk menggali hukum diperlukan keilmuan tentang dalil-dalil, tentang perintah dan larangan. Pengetahuan-pengetahuan ini diakumulasikan melalui asas-asas tertentu sehingga tersusun dengan baik. Asas-asas yang di maksud misalnya asas tasyri’. Pengetahuan tentang dalil tidak berdiri sendiri melainkan berkaitan dengan daya nalar fikir dan daya kepahaman dalam menggali hukum tersebut, begitu juga yang dilakukan oleh Imam Syafi’i, dalam menggali hukum Sari’ah, Imam Syafi’i hanya menggunakan empat macam, hal ini di utarakan Imam Syafi’i dalam kitab Ar-Risalah:
a) Al-Qur’an
b) Al-Hadist
c) Ijma’
d) Ra’yu (Qiyas)
1. Al-Qur’an
Konsep Al-Quran menurut para ulama’ dan Syafi’i sama yaitu suatu sumber hukum yang mutlaq, ini adalah landasan dasar, karena tidak mungkin di dapati perbedaan dalamnya baik lafald dengan lafald. Pemahaman Imam Syafi’i dikuatkan dengan firman allah (QS. 2:132). “Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat”
Dalam menggali hukum didalam Al-Quran Imam Syafi’i lebih menekankan kepada keilmuan bahasa sebagi mana yang telah beliau utarakan bahwa Al-Quran diturunkan dengan bahasa arab dengan tujuan agar mudah dipelajari dan dipahami tidak mungkin terdapat lafadz-lafadz ‘ajam. Imam Syafi’i selalu mencantumkan ayat-ayat Al-Quran setiap kali beliau berfatwah, namun Safi’i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari Al-Sunnah, karena kaitan antara keduanya sangat erat.
Gagasan yang meyangkut keluasan bahasa, pada kenyataannya ia ingin mengatakan bahwa bahas arab tidak mungkin dapat dikuasai dengan sempurna kecuali Nabi, telah kita ketahui bersama bahwa penukilan Al-Quran telah dikenal adanya penukilan Mutwatir dan penukilan Ahad. Imam Syaf’i membenarkan penukilan Mutawatir kaitan untuk diamalkan dan di jadikan hujjah.
2. Al-Sunnah
Arti sunnah yang biasanya disebut dalam Ar-Risalah adalah “khabar” dalam arti istilah ilmu hadist adalah berita, bentuk jama’nya adalah khabar dalam artian yag keseluruhannya datang dari Nabi atau selainnya, penggunaan khabar lebih luas dari pada hadist.
Pemahaman Syafi’i tentang hadist adalah segala bentuk :
a) Al-Aqwal Nabi
b) Al-Af’al Nabi
c) Al-Taqdiru Nabi ’ala amrin
untuk hadist Nabi Imam Syafi’i hanya menggunakan hadist yang bersifat Mutawati dan Ahad, sedangkan untuk hadist yang dhaif hanya digunakan untuk li afdhalil amal, dalam menerima hadist ahad mazhab Syafi’i mnsyaratkan:
1. Perawinya tsiqah dan terkenal shidiq
2. Perawinya cerdikdan mahami hadistyang diriwaytkannya
3. Perawinya engan riwayat bi lafdhi bukan dengan riwayat bilmakn.
4. Perawinya tidak mnyalahi ahl-ilmi
Kalau kita perhatikan, persyaratan yang di syaratkan oleh Syafi’i hanya untuk keshahihan suatu hadist, hadist ahad yang diterimanya sebatas kalau hadist tersebut sahih dan bersambung.
Factor yang melatarbelakangi Syafi’i lebih teliti dalam menerima hadist karena sesudah Nabi wafat banyak dari kelangan aliran politik yang membuat hadist-hadist palsu untuk menguatkan posisinya sebagai pemimpin. Dan hadist pun bisa di atur dan di ubah sesuai denegan kenginan pemimpin.
3.Ijma’
Ijma’ yang dimaksud oleh Syafi’i adalah ijma’nya para sahabat, dalam arti perkara yang di putuskan oleh para sahabat dan di sepakati, maka itu menjadi sumber hukum yang ketiga jika tidak ada didalam nash baik Al-Quran maupun hadist, contoh ijma’ yaitu shalat terawih 20 raka’at. Jika terjadi perbedaan diantar para sahabat, maka Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih dekat kepada Al-Quran dan sunnah.
Ijma’ menurut para ulama’ menempati posisi ketiga setelah Al-Quran dan Hadist, begitu juga dengan Syafi’i, konsep ijma’ yang di tawarkan oleh Syafi’i mengharuskan merujuk kepada dalil yang ada yaitu Al-Kitab dan Al-Sunnah yang memiliki hubungan kepada qiyas, alasan yang di utarakan oleh Syafi’i kenapa ijma’ harus disandarkan kepada nash. Petama, bila ijma’ tidak dikaitkan kepada dalil maka ijma’ tersebut tidak akan sampai kepada kebenaran. Kedua, bahwa para sahabat tidak lebih benar dari pada nabi, sementara nabi tidak pernah menetapkan hukum tanpa mengkaitkan dengan dalil-dalil Al-Quran. Ketiga, pendapat agama tanpa dikaitkan kepada dalil maka itu adalah salah besar Keempat, pandapat yang tidak dikaitkan dengan dalil maka tidak diketahui hokum syara’ nya.
4. Qiyas
Qiyas menurut para ahli hukum islam berarti penalaran analogis, yaitu pengambilan kesimpulan dari prinsip tertetu, perbandingan hukum permasalahan yang baru dibandingkan dengan hukum yang lama, contoh yang diberikan oleh Imam Syafi’i, zakat beras, tulang babi dan lain-lain.
Imam Syafi’i sangat membatasi pemikiran analogis, qiyas yang dilakukan oleh Syafi’i tidak bisa independent karena semua yang diutarakan oleh Syafi’i dikaitkan dengan nash Al-Quran dan Sunnah.
5. Metode Ijtihad Imam Syafi’i
Dalam berijtihad Imam Syafi’i menggunakan pemikiran-pemikiran yang jeli dan teliti, kita lihat model ijtihadnya sebagai berikut :
1. Metode induktif (Istiqra’i)
Metode ini lebih menekankan kepada penelitian fakta lapangan, cara ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam menentukan waktu terpanjang dan terpendek bagi wanita yang lagi haid, dalam menentukan waktu tersebut Imam Syafi’i melakukan penelitian kepada beberapa wanita yang ada di mesir, hasil penelitian tersebut dihasilkan data yang beragam, ada yang satu hari satu malam, ada yang sepuluh hari dan lima belas hari. Dari data tersebut Imam Syafi’i menyimpulkan bahwa paling cepat masa haid adalah satu hari dan paling lama adalah lima belas hari.
2. Metode dialektika (Jadali)
Terkait dengan hukum menikahi anak dari hasil perzinahan,Dalam menetapkan hokum ini syafi’I meruju’ kepada firman allah yaitu surat An-Nisa’ ayat 23, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibu-ibumu, anak-anak (perempuanmu)”
Imam Syafi’i memberi devinisi bahwa yang diharamkan adalah anak dari istri yang telah kamu kawini dengan halal bukan dengan perbuatan haram, jadi kamu boleh menikahi anak istrimu dari hasil perbuatan zina antara kamu dan istrimu, dikarenakan dia bukan anak istrimu yang syah, dan dia tidak memiliki nasab dengan kumu(suami), tetapi kebolehan yang diberikan oleh Imam Syafi’i adalah kebolehan dalam arti Makruh.
Jawaban yang diberikan oleh Imam Syafi’i menjelaskan, bahwa Syafi’i berusaha memberikan suatu eksistenti kekuatan daya nalar terhadap penggalian hukum.
Imam Madzhab Hambali
1. Biografi Imam Ahmad ibn Hambal
Beliau bernama Abu Abdillah Ahmad ibn Hambal ibn Hilal Ibn Asad al-Syaibani al-Marwazi. Ia lahir di Baghdad pada Tahun 164 H, dibesarkan dan wafat disana pada Tahun 231 H. Ahmad ibn Hambal dilahirkan ketika kekalifahan dipegang oleh Musa Al-Mahdi dari kalangan Abbasiyah. Musa al-Mahdi meninggal dan digantikan oleh Harun Ar-Rasyid (170-194H), Harun Ar-Rasyid digantikan oleh Al-Amin (194-198 H), Al-Amin digantikan oleh al-Makmun ( 198-218 H). Al-Makmun adalah khalifah yang menjadikan Mu’tazilah sebagai Madzhab Negara. Karena Imam Ahmad Ibn Hambal ini tidak memiliki pemikiran yang sejalan dengan Mu’tazilah, sehingga beliau mendapatkan penyiksaan bahkan dipenjarakan. Hal itu diketahui ketika Imam Ahmad diajukan pertanyaan tentang apakah Firman Tuhan (Al-Qur’an) adalah makhluk. Akan tetapi beliau tidak sependapat dengan menjawab bahwa Al-Qur’an bersifat Qadim dan bukan Makhluk. Karena menurut Mu’tazilah bahwa Al-Qur’an adalah baru, dan tidak bersifat qadim.Keberanian mempertahankan keyakinan ini disamping membawa resiko juga membawa keuntungan , yaitu membuatnya mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang tak sepaham dengan kaum Mu’tazilah. Karena itu kendati banyak Ulama’ yang menjalani hukuman mati , Al-Mu’Tashim dan Al-Watsiq tidak berani menjatuhkan hukuman mati terhadap Imam Ahmad karena takut menimbulkan kekacauan. Akhirnya Al-Mutawakkil kahlifah berikutnya menghapuskan pemaksaan paham Mu’tazilah.
2. Guru dan Murid Imam Hanbali
Adapun guru imam hanbali adalah
a. Muhammad ibn Idris Al-Syafi’i
b. Hasyim
c. Abu Yusuf
d. Ibrahim Ibn Sa’ad
e. Sufyan Ibn Uyainah
Dan murid-muridnya antara lain :
a. Shalih ibn Ahmad Ibn Hambali
b. Abdullah Ibn Ahmad Ibn Hambali
c. Ahmad ibn Muhammad ibn Hani abu Bakar
d. Abdul malik Ibn Abd Al-Hamid
e. Ahmad Ibn Muhammad IbnAl-Hajjaj
3. Dinamika Tarikh tasryi’ Pada Masa Imam Hambali
Sebagaimana diketahui bahwa Imam Ahmad dilahirkan di Baghdad, kemudian melakukan perjalanan ke berbagai daerah. Daerah yang pernah dikunjungi adalah Kufah, Bashrah, Mekah, Madinah, Syam, dan Yaman. Perjalanan ini dilakukan untuk belajar dan mengumpulkan Hadist, karena perjalanan yang begitu luas dalam mengumpulkan hadist Imam ibn Hambal menurut beberapa ulama’ dikenal dengan ahli hadist bukan imam Fiqh. Akan tetapi Imam Ahmad memiliki salah satu guru dalam belajar ilmu Fiqih yang berkesan yaitu Imam Syafi’I yang dijumpainya di Baghdad. Ia pun menjadi murid Imam Syafi’I yang terpenting bahkan menjadi seorang mujtahid mandiri. Orang yang belajar hadist akan mengenalnya seperti halnya orang yang belajar ilmu fiqh. Karena belajar kepada Imam Syafi’I, para pengikut Imam Syafi’I menilai bahwa Ahmad Ibn Hambal adalah pengikut Imam syafi’I, meskipun dalam kasus tertentu ia berijtihad sendiri. Selain Imam Syafi’I yang dikenal menjadi guru Imam Ahmad adalah Abu Yusuf yaitu murid dan penerus Madzhab Hanafi. Akan tetapi dalam proses Tasyri’ Imam Hambali banyak.
Terpengaruh oleh Imam Syafi’I, yang masih nelakukan pendekatan tekstual, tidak seperti imam Hanafi yang menggunakan Ra’yu dan Qiyas dalam mengistinbathkan hukum.
4. Sumber-Sumber Hukum Madzhab Hambali
Pendapat-pendapat Ahmad ibn Hambal dibangun atas lima dasar yaitu sebagai berikut :
1. Al-Nushush dari Al-qur’an dan Sunnah. Apabila telah ada ketentuan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ia berpendapat sesuai dengan makna yang tersurat , makna yang tersiratnya ia abaikan.
2. Apabila tidak didapatkan dalam Al-qur’an dan Sunnah ia menukil fatwa sahabat memilih pendapat sahabat yang disepakati sahabat lainnya.
3. Apabila fatwa sahabat berbeda-beda ia memilih salah satu pendapat yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
4. Imam Ahmad mengambil hadist mursal dan Dhaif sekiranya tidak ada dalil yang menghalanginya. Dimaksud dengan Dhaif disini bukan Dhaif yang batil dan yang mungkar. Tetapi Dhaif yang tergolong sahih atau hasan. Dalam pandangan imam ahmad, hadist itu tidak terbagi atas sahih, hasan dan dhaif, tetapi terbagi atas dua yaitu shahih dan dhaif saja. Pembagian hadist menjadi shahih, hasan dan dhaif dipopulerkan oleh al-Tirmidzi (209-279 H). Karenanya tidak mengherankan kalau di masa Imam Ahmad pembagian hadist masih kepada shahih dan dhaif. Hadist dhaif ada bertingkat-tingkat. Yang dimaksud dhaif tadi adalah pada tingkat yang paling atas. Menggunakan hadist semacam ini lebih utama daripada menggunakan Qiyas.
5. Qiyas adalah digunakan dalam keadaan darurat yaitu bila tidak ada “senjata” yang disebut sebelumnya.
5. Metode Ijtihad Imam Ahmad ibn Hambal
Metode yang di kembangkan oleh ahmad bin hambal adalah Metode Dialektika hal ini dpat kita lihat cara beliau menjelaskan tentang seatu hukum, Fiqih Imam Ahmad menjelaskan tentang syarat-syarat penegakan sanksi potong tangan. Dari sisi pelaku pencurian, syarat-syarat yang meski dipenuhi adalah pencurinya sudah mukallaf, dapat memilih, merdeka, dan budak pemilik, meskipun Syubhat. Sedangkan syarat dari segi benda adalah benda yang dicurinya berupa harta dan sudah mencapai nishab.Menurut Ahmad ibn Hambal, nishab harta curian yang pencurinya harus dikenai sanksi potong tangan adalah ¼ dinar atau 3 Dirham.
Dalam bidang pemerintahan Imam Ahmad berpendapat bahwa khalifah yang memimpin adalah dari kalangan Quraisy sedangkan taat kepada khalifah adalah mutlak. Imam Ahmad berpendapat :
“Mendengarkan dan taat kepada para imam dan amirul mu’minin (adalah wajib), baik ia seorang yang baik maupun Fajir”
Dalam bidang Mu’amalah, terutama tentang Khiyar al-Majlis. Imam Ahmad berpendapat bahwa jual beli belum dianggap lazim (meskipun telah terjadi ijab dan qabul) apabila penjual dan pembeli masih dalam satu ruangan yang di tempat itu akad dilakukan. Apabila keduanya atau salah satunya tidak di tempat itu lagi (berpisah) maka akad sudah lazim. Alasannya adalah hadist riwayat Nafi’ dan ‘Abdullah ibn Umar r.a yang menyatakan bahwa nabi Muhammad Saw bersabda :
“Setiap penjual dan pembeli mempunyai hak khiyar (pilih) selama keduanya belum berpisah “
Selanjutnya, tokoh yang membaharui dan melengkapi pemikiran Madzhab Hambali, terutama di bidang Mu’amalah adalah Syeikh al-Islam Taqiyudin Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan Ibn Al-Qayim al-Jauziyyah (Wafat 751 H) murid ibn Taimiyyah. Tadinya pengikut Madzhab Mahbali tidak begitu banyak, setelah dikembangkan oleh dua tokoh tersebut maka madzhab Hambalimenjadi semarak terlebih setelah dikembangkan lagi oleh Muhammad bin Abdul Wahab (wafat 1206 H). dan kini menjadi Madzhab resmi pemerintah Kerajaan Saudi Arabia.
Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Berkembangnya Empat Mazhab
Ada beberapa faktor yang menyebabkan berkembangannya mazhab para imam-imam tersebut antara lain:
1. Pendapat-pendapat imamnya itu dikumpulkan dan dibukukan, hal ini tidak terdapat pada salah satu imam salaf atau mazhab-mazhab yang lain.
2. Adanya murid-murid mereka yang berusaha menyebarluaskan pendapat-pendapat mereka.
3. Adanya kecendrungan imam-imam muslim (penguasa) agar keputusan suatu perkara diberikan oleh hakim yang berasal dari imam mazhab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar