BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kesehatan reproduksi merupakan keadaan seksualitas yang sehat yang berhubungan dengan fungsi dan proses sistem reproduksi. Seksualitas dalam hal ini berkaitan erat dengan anatomi dan fungsional alat reproduksi atau alat kelamin manusia dan dampaknya bagi kehidupan fisik dan biologis manusia. Termasuk dalam menjaga kesehatannya dari gangguan seperti IMS dan HIV/AIDS (Herbaleng, 2001).
Dahulu kelompok penyakit ini dikenal sebagai penyakit kelamin yang hanya terdiri dari 5 jenis penyakit yaitu gonoroe (kencing nanah), sifilis (raja singaj, ulkus mole, limfogranuloma inguinale (bungkul) dan granuloma inguinale. Namun pada akhir abad ke-20 dapat dibuktikan bahwa pada waktu mengadakan hubungan seksual dapat terjadi infeksi oleh lebih dari 20 jenis kuman, sehingga muncullah istilah Penyakit Menular Seksual (PMS). Pada tahun 1997 pada Kongres IUVDT {International Union of Venereal Diseases and Treponematosis) di Australia, istilah tersebut diubah menjadi IMS, oleh karena semua penyakit yang termasuk dalam kelompok tersebut merupakan penyakit infeksi (Djajakusumah, 2008).
Sexually Transmitted Infection (STI) dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) mencerminkan masalah terbesar dalam kesehatan masyarakat di negara berkembang. Pada seorang individu, penyakit IMS membuat individu tersebut rentan terhadap infeksi HIV. Penularan IMS melalui hubungan seksual diikuti dengan perilaku yang menempatkan individu dalam risiko mencapai HIV, seperti mereka berperilaku bergantian pasangan seksual, dan tidak konsisten menggunakan kondom (BNN, 2004).
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, dampaknya mulai terasa sejak awal tahun 1998. Selain langsung pada kehidupan ekonomi bangsa, juga berdampak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Krisis ekonomi mengakibatkan turunnya pendapatan nyata penduduk akibat hilangnya kesempatan kerja. Dampak kelanjutan adalah kerawanan yang menyangkut berbagai hal, salah satu diantaranya adalah bidang ekonomi dan sosial. Krisis ekonomi dapat meningkatkan jumlah Pekerja Seks Komersial (PSK). Karena sifat pekerjaan dan perilaku mereka, para PSK berpotensi tertular dan menularkan Infeksi Menular Seksual (IMS) (Kasnodihardjo, 2010).
Pekerja Seks Komersial (PSK) adalah suatu pekejaan atau profesi dengan melacurkan diri, penjualan diri dengan jalan memperjualbelikan badan, kehormatan dan kepribadian kepada banyak orang untuk memuaskan nafsu-nafsu seks dengan imbalan pembayaran, dengan alasan komersial mereka siap melakukan apa saja untuk kepuasan pelanggan sampai pada perilaku seks yang tidak sehat, sehingga kelompok ini beresiko untuk terkena infeksi menular seksual (IMS) (Kartono, 2003).
Berdasarkan data WHO yang dikutip Jain (2008) negara dengan prevalensi IMS tertinggi di dunia yaitu Papua New Guinea, dimana kurang lebih 1 juta infeksi menular seksual (IMS) didiagnosis setiap tahun. Dengan gonoroe sebanyak 21%, klamidia 19%, sifilis 24% dan trichomoniasis 51%. Dengan 74% orang mempunyai sedikitnya satu jenis IMS dan 43% mempunyai lebih dari satu tetapi kurang dari 1% yang menerima pengobatan.
Kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) pada Pekerja Seks Komersial (PSK) cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil estimasi tahun 2006 menunjukkan bahwa Pekerja Seks Komersial (PSK) sebesar 221.000 orang dan pelanggan 3.160.000 orang dengan prevalensi IMS sangat tinggi di wilayah Bandung yaitu : gonoroe 37,4%, klamidia 34,5%, dan sifilis 25,2%. Selanjutnya diikuti kota Surabaya yaitu : klamidia 33,7%, sifilis 28,8%, dan dan gonoroe 19,8%. Lalu kota Jakarta yaitu : gonoroe 29,8%, sifilis 25,2% dan klamidia 22,7% dan Medan 5,3% klamidia dan 2,4% sifilis (Adhitama, 2008).
PSK lebih berisiko menimbulkan IMS karena mereka sering bertukar pasangan seks. Semakin banyak jumlah pasangan seksnya semakin besar kesempatan terinfeksi IMS dan menularkan ke orang lain. Peran serta masyarakat dalam mengontrol IMS sangat penting, selama kelompok ini belum terjangkau dengan pencegahan dan layanan pengobatan yang berkualitas baik. Jangkauan yang efektif, pendidikan sebaya serta layanan klinik untuk pekerja seks telah dikembangkan dengan menggunakan klinik berjalan atau dengan menyediakan waktu khusus di klinik. Pelayanan seperti ini memberikan kontribusi untuk mengurangi prevalensi IMS di masyarakat (Depkes RI, 2006).
Seorang PSK seharusnya menyadari bahwa pekerjaannya beresiko terhadap penularan IMS, dan dengan resiko tersebut seharusnya sesering mungkin melakukan pemeriksaan, karena kelompok resiko tinggi seperti PSK harus selalu melakukan pemeriksaan sesering mungkin baik dilakukan dengan sendiri ataupun dengan bantuan pelayanan kesehatan (Daili, 2001).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Reta (2009), diperoleh hasil bahwa pengetahuan dan sikap mempunyai hubungan yang bermakna dengan tindakan pencegahan penyakit menular seksual dengan nilai p<0,05.
Sedangkan menurut hasil penelitian Silalahi, R (2009), ternyata pengetahuan dan sikap PSK ada hubungan yang bermakna terhadap tindakan untuk menggunakan kondom dengan hasil p<0,05. Artinya pengetahuan dan sikap yang baik akan mempengaruhi pelanggan menggunakan kondom pada saat berhubungan seksual.
Menurut Data Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan SP2S (Solidaritas Perempuan Pekerja Seks) tahun 2009 yang selama ini memfasilitasi pemberian informasi tentang IMS di Desa X mengatakan bahwa pekerja seks komersial pada tahun 2010 berjumlah sekitar 50 orang. Lokasi X terletak ± 24 km dari Kecamatan X dengan luas ± 1 ha. Untuk menuju lokasi X tersebut dapat dicapai melalui jalan darat dengan menggunakan alat tranportasi roda dua atau roda empat. Seiring dengan berjalannya waktu lokalisasi ini mengalami perubahan baik dari aspek bangunan, sarana atau fasilitas maupun dari jumlah PSK. Berdasarkan data LSM SP2S sampai dengan akhir tahun 2010 jumlah rumah (barak) ±13 buah dengan rata-rata 4 PSK per rumah dengan jumlah PSK sekitar 50 PSK. Pada umumnya bangunan sudah permanen, walaupun sebagian kecil saja bangunan masih berlantai tanah. Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan penulis jumlah PSK terbanyak di Kabupaten X terdapat di Desa X sebanyak 50 orang PSK, dari 50 orang PSK tersebut ditemukan sekitar 35 kasus IMS dan 1 kasus HIV (Yayasan SP2S, 2009).
Desa X adalah salah satu desa di Kecamatan X Kabupaten X merupakan desa yang mempunyai resiko tinggi terhadap penularan infeksi menular seksual. Hal ini dikarenakan adanya daerah lokalisasi terselubung berupa warung bubur.
1.2. Perumusan Masalah
Warung bubur di Desa X Kecamatan X merupakan salah satu tempat praktek prostitusi. Banyaknya pekerja seks komersial di lokalisasi yang terselebung merupakan peluang membuat semakin meningkatnya kasus IMS sekarang ini., karena mereka tidak mengetahui resiko dari pekerjaannya.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melihat sejauh mana pengetahuan dan sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kebupaten X.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengetahuan dan sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengetahuan Pekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
2. Mengetahui sikapPekerja Seks Komersial (PSK) tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) di Desa X Kecamatan X Kabupaten X.
1.4.Manfaat Penelitian
1. Memberikan masukan bagi komunitas PSK mengenai kesehatan reproduksi khususnya perilaku seksual dan perilaku pemeliharaan organ reproduksi dalam mencegah IMS.
2. Memberikan masukan bagi tenaga kesehatan agar lebih memperhatikan komunitas PSK dalam mengantisipasi berjangkitnya IMS di kalangan masyarakat dengan meningkatkan penyuluhan tentang IMS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar