BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai agama rahmat, sejak diturunkan di tengah-tengah umat, Islam telah mengatur hukum-hukum yang berhubungan dengan interaksi sosial (muamalah). Peran hukum muamalah ini menjadi penting jika melihat fitrah manusia sebagai mahkluk sosial. Karena manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat terlepas dari hubungan dan interaksi antara individu satu dengan individu yang lain, mereka akan saling membutuhkan satu sama lainnya dalam kehidupan ini, sejak mulai dilahirkan hingga sampai meninggal dunia. Naluri interaksi pada diri manusia itu telah diberikan Allah sejak lahir, karena dengan itulah manusia dapat bertahan, berkembang dan memenuhi kebutuhan dirinya, baik kebutuhan jasmani misalnya: sandang, pangan, papan maupun kebutuhan rohani. Di antara perintah muamalah dalam Islam adalah anjuran kepada umatnya supaya hidup saling tolong menolong antara manusia satu dengan yang lain. Yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu harus menolong yang tidak mampu serta bantu-membantu dalam hidup bermasyarakat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat al-Maidah ayat 2:
Artinya: “ …dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Banyak cara dan bentuk bagaimana manusia dapat menolong antar sesamanya, di antaranya adalah dengan jual beli atau pembelian dan pinjaman atau utang-piutang. Dalam masalah pinjaman dan utang piutang, hukum Islam juga telah mengatur sedemikian rupa, seperti menjaga kepentingan kreditur dan debitur, agar jangan sampai diantara keduanya mendapatkan kerugian, ataupun saling merugikan satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, dalam utang-piutang, hukum Islam memperbolehkan kreditur (murtahin) meminta barang (marhun) dari debitur (rahin) sebagai jaminan atas utangnya (rahn), sehingga apabila debitur itu tidak mampu melunasi hutangnya maka barang jaminan boleh dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam hukum Islam dikenal dengan istilah rahn atau gadai.
Gadai atau rahn bukan hanya ada di masa sekarang, tapi telah ada pada masa Rasulullah, bahkan Rasulullah pernah membeli makanan dengan berhutang dari seorang yahudi, dan Rasulullah menggadaikan sebuah baju besi kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa rahn telah mempunyai dasar hukum yang bukan hanya berasal dari hadits nabi tetapi juga ada dalil al Quran yang mendasarinya. Untuk lebih jelasnya tentang gadai akan kami bahas pada bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
PEGADAIAN PADA MASA RASULULLAH
A. DEFENISI GADAI/ RAHN
Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al tsubut dan al habs yaitu penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa al rahn adalah terkurung atau terjerat.[1]
Menurut terminologi syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah:
حبس شىء بحق يمكن إستفا ؤه منه
Artinya:
“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut”.[2]
Ulama fiqih mempunyai pendapat dalam mendefenisikan rahn;
1. Menurut ulama syafi’iyah
Artinya
“Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang”.
2. Menurut ulama hanabilah
Artinya
“Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga (nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu) membayar utangnya kepada pemberi pinjaman”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa rahn atau gadai adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
B. LANDASAN SYARI’AH TENTANG GADAI
Akad rahn diperbolehkan oleh syara’ dengan berbagai dalil dari al qur’an maupun hadits Nabi Saw, begitu juga dengan ijma’ ulama. Diantaranya adalah firman allah dalam surah al Baqarah ayat 283 dan 282:
Artinya
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang* (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.”
* Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.
Artinya
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah* tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”
[*] Bermuamalah ialah seperti berjual beli, hutang piutang, atau sewa menyewa dan sebagainya.
Hadits Nabi saw
Artinya
“Dari Siti Aisyah r.a bahwa Rasulullah Saw pernah membeli makanan dari orang yahudi dengan harga yang dihutang, sebagai tanggungan atas utangnya itu Nabi menggadaikan baju besinya (Hr. Bukhari & Muslim)[3]
C. RUKUN DAN SYARAT GADAI
Rukun akad rahn atau gadai terdiri atas Rahin (orang yang menyerahkan barang), Murtahin (penerima barang), Marhun/Rahn (barang yang digadaikan), dan Marhun Bih (hutang), serta Sighat (ijab qabul). Menurut Hanafiyah, rukun rahn hanya terdiri dari ijab dan qabul, rukun selebihnya merupakan turunan dari adanya ijab dan qabul.[4]
Prof. Dr. Rachmat Syafe’i dalam bukunya Fiqih Muamalah menyatakan bahwa rahn mempunyai empat unsur, yaitu:
1. Rahin (orang yang menyerahkan barang)
2. Al murtahin (penerima barang)
3. Al marhun (barang yang digadaikan)
4. Al marhun bih (hutang)
Diantara syarat-syarat rahn yaitu sebagai berikut:[5]
1. Persyaratan Aqid (orang yang berakad)
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria ahliyah[6]. Menurut ulama selain Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian ahliyah dalam hal jual beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh orang yang mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang belum Baligh. Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan mudharat dan meyakini bahwa pemegangnya yang dapat dipercaya.
2. Syarat Sighat
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn tidak boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal dan rahn tetap sah.
Adapun menurut ulama. selain Hanafiyah, syarat dalam rahn ada yang sahih dan yang rusak. Uraiannya adalah sebagai berikut.
a. Ulama Syafi'iyah berpendapat .bahwa syarat dalam rahn ada tiga:
1) Syarat shahih, seperti mensyaratkan agar murtahin membayar sehingga jaminan tidak disita.
2) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya diberi makanan tertentu. Syarat seperti itu batal, tetapi akadnya sah.
3) Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu yang akan merugikan murtahin
b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi dua, yaitu rahn shahih dan rahn fasid. Rahn fasid adalah rahn yang didalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan kebutuhan atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti mensyaratkan barang harus berada dibawah tanggung jawab rahin.
c. Ulama Hanabilah berpendapat seperti pendapat ulama malikiyah di atas, yakni rahn terbagi dua, shahih dan fasid. Rahn shahih adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai dengan kebutuhan.
3. Syarat Marhun Bih
Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama Hanafiyah memberikan beberapa syarat, yaltu:
a. Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan
Menurut ulama selain Hanafiyah, marhun bih hendaklah berupa utang yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan barang, baik berupa uang ataupun berbentuk benda.
b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan
Jika marhum bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi tidak sah sebab menyalahi maksud dan tujuan dari disyariatkannya rahn.
c. Hak atas marhun bih harus jelas
Dengan demikian, tidak boleti memberikan dua marhun bih dijelaskan utang mana menjadi rahin.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat bagi marhum bih:
1. Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.
2. Utang harus lazim pada waktu akad.
3. Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
4. Syarat Marhun (Borg)
Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin. Para ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam jual-beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.
Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:
a. Dapat diperjualbelikan
b. Bermanfaat
c. Jelas
d. Milik rahim
e. Bisa diserahkan
f. Tidak bersatu dengan harta lain
g. Dipegang (dikuasai) oleh rahin
h. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan
Ulama sepakat bahwa serah terima (qabdh) merupakan syarat utama dalam akad rahn, dan akan dikatakan sah jika memenuhi kriteria sebagai berikut. Serah terima dilakukan berdasarkan izin dari rahin, jika tidak mendapatkan izin, maka serah terima tidak dikatakan sah. Ketika serah terima dilakukan, rahin dan murtahin haruslah memiliki ahliyah.
Ketika akad rahn telah disepakati antara rahin dan murtahin, dan telah terjadi serah terima marhun, terdapat beberapa konsekuensi hukum yang melingkupinya.
Korelasi hutang dengan marhun (barang jaminan). Ketika suatu barang dijadikan sebagai jaminan atas transaksi hutang yang dilakukan, maka marhun akan senantiasa terkait dengan hutang yang ada. Artinya, marhun akan tetap ditahan sepanjang hutang yang ada belum terbayar. Murtahin memiliki hak untuk menahan marhun, hingga rahin melunasi hutang yang ditanggungnya. Rahin tidak memiliki hak untuk menarik marhun kembali, yang dijadikan sebagai jaminan atas utang yang ada, sehingga telah terlunasi.
Ketika murtahin menahan marhun, maka la berkewajiban untuk menjaganya sebagaimana ia menjaga harta kekayaan pribadinya. Penjagaan itu bisa dilakukan oleh diri pribadinya, isteri, anak atau pembantu yang telah lama tinggal bersamanya. Jika marhun diserahkan kepada orang lain, dan terjadi kerusakan, maka ia berkewajiban untuk menggantinya.
Ulama sepakat bahwa biaya yang terkait dengan marhun, menjadi tanggung jawab rahin sebagai pemilik barang. Akan tetapi, ulama berbeda pendapat tentang biaya yang wajib ditanggung oleh rahin. Hanafiyah mengatakan, biaya yang terkait langsung dengan kemaslahatan marhun, menjadi tanggung jawab rahin, karena la adalah pemiliknya. Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk menjaga marhun dari kerusakan, menjadi tanggung jawab murtahin, karena ia yang menahan dan menjaganya.
Rahin harus menanggung biaya makan, minum, upah penggembala atas hewan ternak yang dijadikan sebagai marhun. Murtahin berkewajiban atas biaya penjagaan marhun, seperti penyewaan kandang, beserta penjaga yang bertugas menjaganya. Untuk itu, dalam akad rahn, tidak boleh disyaratkan bahwa murtahin berhak mendapatkan upah atas aktivitas penjagaan marhun yang dilakukan, karena itu sudah menjadi kewajibannya.[7]
D. PENGAMBILAN MANFAAT BARANG GADAI
Dalam pengambilan manfaat barang-barang yang digadaikan, para ulama berbeda pendapat, di antaranya jumhur fuqaha dan Ahmad.
Jumhur Fuqaha berpendapat bahwa murtahin tidak boleh mengambil suatu manfaat barang-barang gadaian tersebut, sekalipun rahin mengizinkannya, karena hal ini termasuk kepada utang yang dapat menarik manfaat, sehingga bila dimanfaatkan termasuk riba[8]. Rasul bersabda:
Artinya
"Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba" (Riwayat Hants bin Abi Usamah).
Menurut Imam Ahmad, Ishak, al-Laits, dan al-Hasan, Jika barang gadaian berupa kendaraan yang dapat dipergunakan atau binatang ternak yang dapat diambil susunya, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dari kedua benda gadai tersebut disesuaikan dengan biaya pemeliharaan yang dikeluarkannya selama kendaraan atau binatang ternak itu ada padanya. Rasul bersabda:
Artinya
“Binatang tunggangan boleh ditunggangi karena pembiayaannya apabila digadaikan, binatang boleh diambil susunya untuk diminum karena pembiayaannya bila digadaikan bagi orang yang memegang dan memi- numnya wajib memberikan biaya".
Pengambilan manfaat pada benda-benda gadai di atas ditekankan kepada biaya atau tenaga untuk pemeliharaan sehingga bagi yang memegang barang-barang gadai seperti di atas punya kewajiban tambahan? Pemegang barang gadai berkewajiban memberikan makanan bila barang gadaian itu adalah hewan. Harus memberikan bensin bila pemegang barang gadaian berupa kendaraan. Jadi, yang dibolehkan di sini adalah adanya upaya pemeliharaan terhadap barang gadaian yang ada pada dirinya.
E. GADAI PADA MASA RASULULLAH
Pegadaian pada masa rasulullah maupun pada masa sahabat dan perkembangannya telah banyak dipraktekkan oleh umat islam, hal ini didasari bahwa gadai itu adalah suatu syariat karena di dalam al Qur’an disebutkan dalilnya. Meskipun di dalam al Qur’an disebutkan dalam kondisi tertentu, tetapi itu tidak membatasi orang untuk melakukan gadai. Seperti yang telah dicontohkan rasul bahwa beliau melakukan praktek gadai tidak dalam keadaan safar seperti kondisi yang disebutkan al Qur’an. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan pada esensinya gadai itu dilakukan pada saat orang ingin bermuamalah tapi tidak secara tunai, maka diberikanlah jaminan barang berharga oleh rahin kepada murtahin agar menjadi jaminan bahwa pinjaman yang dilakukan akan dilunasi dikemudian hari.
Jika diteliti banyak hadits-hadits yang mengindikasikan bahwa telah banyak praktek gadai pada masa rasulullah, sehingga rasul menunjukkan tata cara pengambilan manfaat barang gadai melalui haditsnya.[9] Bahkan ada salah satu sumber menyebutkan bahwa pada zaman jahiliyah, jika ar rahin tidak bisa membayar utang atau pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan, maka barang agunan langsung menjadi milik al murtahin. Lalu praktik jahiliyah ini dibatalkan oleh islam. Rasulullah saw bersabda :” Agunan (barang gadai) itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah menggadaikannya, ia berhak atas kelebihan (manfaatnya) dan wajib menanggung kerugian (penyusutannya) (Hr. as Syafi’i, al Baihaki, ibn Hibban dan ad Daruqutni).
Gadai menurut hukum Islam dikategorikan sebagai perbuatan Jaiz atau boleh menurut ketentuan al Qur’an, as Sunah, dan Ijma’. Aktifitas gadai pada masa sekarang sudah jauh berbeda dengan zaman rasulullah saw sebab gadai pada saat ini tidak hanya bersifat social semata akan tetapi menjadi lading bisnis bagi para pengusaha.
Landasan syariahnya adalah kisah di masa Rasulullah, ketika seseorang menggadaikan kambingnya, saat itu rasul ditanya bolehkan kambingnya diperah. Nabi mengizinkan sekedar untuk menutup biaya pemeliharaan
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis membaca beberapa sumber tentang gadai (rahn), pemulis menyimpulkan bahwa rahn adalah menahan barang yang dijadikan jaminan oleh orang yang berutang dan barang itu mempunyai nilai /harga, apabila pemilik barang ingin barangnya kembali maka ia harus melunasi hutangnya terlebih dahulu.
Pada surah al Baqarah ayat 283 disebutkan bahwa syariatnya apabila dalam perjalanan melakukan mualamalah dengan tidak tunai dengan memberikan jaminan barang yang kegiatan ini disebut rahn atau gadai, ternyata tidak hanya terbatas pada saat perjalanan (safar/ musafir), akan tetapi bisa dalam keadaan yang lain, seperti yang dicontohkan Rasulullah yang pada waktu melakukan praktik rahn tidak dalam keadaan bepergian. Kuncinya ya misalnya pinjam meminjam dan masalah muamalah lain yang tidak tunai sehingga diharapkan ada barang berharga yang jadi jaminan agar yang memberi hutang percaya kepada orang yang berhutang.
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan, tetapi tidak diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja, jika kedua belah pihak tidak saling mempercayai
Penggalan ayat 283 itu hanya anjuran saja (irsyad) kepada orang beriman. Sebab lanjutan ayat tersebut:
Artinya: “akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
B. Saran
Untuk para pembaca dan kita semua, dalam melakukan praktik gadai kita sebaiknya melihat dulu bagaimana sistem yang dianut perum pegadaian, karena sekarang pengadaian kebanyakan didirikan oleh perusahaan yang mencari keuntungan, jangan sampai kita terlibat dalam praktik riba, agar perlu juga diketahui syarat-syarat rahn agar tidak menjadi akad yang fasid dan ada yang merasa dirugikan.
Mskslsh ini tentunya masih sarat dengan kekurangan karena penulis juga manusia biasa, untuk itu kritik dan saran yang membangun penulis harapkan dari para pembaca, demi kesempurnaan ilmu yang akan disampaikan selanjutnya.
Daftar Pustaka
Al Qur’anul Karim
Hendi Suhendi, 2008, Fiqih Muamalah, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rachmat syafe’I, 2000,.fiqih muamalah, Bandung: Pustaka Setia.
Syafi’i Jafri, 2008, Fiqih Muamalah, Pekanbaru: Suska Press.
Dimyaudin Djuwaini, 2008, Pengantar Fiqih Muamalah, Jogjakarta: Pustaka Pelajar
[1] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm. 105
[2] Rachmat syafe’I, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 159
[3] Syafi’i Jafri, Fiqih Muamalah, Suska Press, Pekanbaru, 2008, hal 74
[4] Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2008, hlm.263
[5] Rachmat syafe’I, fiqih muamalah, pustaka setia, bandung, 2000, hlm.162-164
[6] Menurut ulama Syafi'iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk jual beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz, dan orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan melakukan rahn.
[7] Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2008, hlm.264-265
[8] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 108-109
[9] Lihat hadits riwayat bukhari pada halaman 10 pada makalah ini atau lebih jelasnya lihat Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm 108-109.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar