BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Kemajuan-kemajuan dalam kehidupan seperti bidang ekonomi, dan ilmu pengetahuan hanya dapat dicapai melalui proses pendidikan. Dari proses pendidikan ini diharapkan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang cerdas. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu "mencerdaskan kehidupan bangsa". Dari Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kemudian diterjemahkan ke dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 yang menyatakan bahwa :
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sedangkan yang dimaksud pendidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah :
Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Melalui pendidikan diharapkan bangsa Indonesia segera mencapai kemajuan. Departemen Pendidikan Nasional dalam merealisasikan tujuan tersebut membuat kebijakan, yaitu melaksanakan usaha peningkatan mutu pendidikan yang berpedoman pada azas persatuan.
Usaha peningkatan mutu pendidikan oleh pemerintah telah nampak dengan diadakannya upaya pembaharuan dan penyempurnaan kurikulum, sarana, tenaga pendidik, pelatihan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat.
Berbagai fakta empirik telah membuktikan, bahwa tingkat kemajuan yang dicapai oleh suatu bangsa ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia bangsa itu. Seberapapun besarnya sumber daya alam, modal serta sarana dan prasarana, pada akhirnya ditangan sumber daya manusia yang handal terletak kemajuan yang ingin dicapai. Hal ini sesuai dengan pendapat (Sedarmayanti ; 288) :
Keberhasilan manajemen dalam suatu organisasi, baik organisasi yang bergerak dalam bidang pemerintahan, maupun organisasi yang bergerak dalam bidang usaha (bisnis), sangat ditentukan oleh sumber daya manusia yang ada pada organisasi tersebut. Artinya manusia yang memiliki daya, kemampuan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam setiap pelaksanaan kegiatan organisasi sehingga terwujud kinerja sebagaimana diharapkan.
Dalam perspektif berpikir seperti itu, rasanya tidak mungkin suatu organisasi atau suatu bangsa dapat mencapai kemajuan dibidang apapun tanpa mempersoalkan kesiapan sumber daya manusia yang telah diyakini sebagai faktor diterminan keberhasilan pembangunan.
Pembangunan di bidang pendidikan merupakan bagian integral dari keseluruhan aktifitas pembangunan nasional, karena pembangunan itu sendiri ingin memanfaatkan kemajuan yang dicapai di bidang pendidikan untuk mempercepat berbagai upaya pembangunan yang tengah dan akan berkelanjutan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, guru mempunyai peranan sentral. Hal ini sesuai dengan pendapat Syaodih (1998) mengemukakan bahwa guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Lebih lanjut dikemukakannya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Yang dimaksud dengan guru, seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 74 tentang guru, Pasal 1 ayat 1 adalah :
Pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Menyadari hal tersebut, betapa pentingnya untuk meningkatkan aktivitas, kreatifitas, kualitas, dan profesionalisme guru. Guru sebagai tenaga profesional harus memiliki kemandirian dalam keseluruhan kegiatan pendidikan baik dalam jalur sekolah maupun luar sekolah, guru memegang posisi yang paling strategis. Dalam tingkatan operasional, guru merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tingkat institusional, instruksional, dan eksperiensial (Surya, 2005 ;4). Guru merupakan sumber daya manusia yang mampu mendayagunakan faktor-faktor lainnya sehingga tercipta pembelajaran yang bermutu dan menjadi faktor utama dalam menentukan mutu pendidikan.
Tugas guru sebagai profesi menurut Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab tersebut, seorang guru dituntut memiliki beberapa kemampuan dan keterampilan tertentu. Kemampuan dan keterampilan tersebut sebagai bagian dari kompetensi profesionalisme guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik.
Ada empat kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, diantaranya kompetensi pedagogik. Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan Guru dalam pengelolaan pembelajaran peserta didik yang sekurang-kurangnya meliputi :
a. pemahaman wawasan atau landasan kependidikan;
b. pemahaman terhadap peserta didik;
c. pengembangan kurikulum atau silabus;
d. perancangan pembelajaran;
e. pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
f. pemanfaatan teknologi pembelajaran;
g. evaluasi hasil belajar; dan
h. pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
(Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008 tentang Guru, Pasal 3 ayat 4)
Tugas guru erat kaitannya dengan peningkatan sumber daya manusia melalui sektor pendidikan, oleh karena itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan mutu mengajar guru untuk menjadi tenaga profesional, agar peningkatan mutu pendidikan dapat berhasil. Hal ini sesuai dengan pendapat Tilaar (1999), mengatakan bahwa : "peningkatan kualitas pendidikan tergantung banyak hal, terutama mutu gurunya".
Guru, murid, dan bahan ajar merupakan unsur yang dominan dalam proses pembelajaran di kelas. Ketiga unsur ini saling berkaitan, saling mempengaruhi serta saling menunjang antara satu dengan yang lainnya. Jika salah satu unsur tidak ada, kedua unsur yang lain tidak dapat berhubungan secara wajar dan proses pembelajaran tidak akan berlangsung dengan baik. Jika proses belajar mengajar ditinjau dari segi kegiatan guru, maka akan terlihat bahwa guru memegang peranan strategis. Menurut Majid (2005 : 91) dalam konteks ini guru berfungsi sebagai pembuat keputusan yang berhubungan dengan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan penilaian pembelajaran. Ketiga hal tersebut merupakan indikator dari mutu mengajar guru. Apabila ketiga hal tersebut; perencanaan pembelajaran (input), pelaksanaan pembelajaran (proses), dan evaluasi pembelajaran (output) dilakukan oleh guru dengan baik, maka mutu mengajar guru bisa dikatakan baik.
Untuk menjadikan guru sebagai tenaga profesional maka perlu diadakan pembinaan secara terus-menerus dan berkesinambungan, dan menjadikan guru sebagai tenaga kerja perlu diperhatikan, dihargai dan diakui keprofesionalannya. Dengan demikian pekerjaan guru bukan semata-mata pekerjaan pengabdian namun guru adalah pekerja profesional seperti pekerjaan yang lain misalnya, dokter, pengusaha, pengacara, akuntan dan sebagainya. Memandang guru sebagai tenaga kerja profesional maka usaha-usaha untuk membuat mereka menjadi profesional tidak semata-mata hanya meningkatkan kompetensinya baik melalui pemberian penataran, pelatihan maupun memperoleh kesempatan untuk belajar lagi, namun perlu juga memperhatikan guru dari segi yang lain seperti peningkatan disiplin, pemberian motivasi, pemberian bimbingan melalui supervisi, pemberian insentif, gaji yang layak dengan keprofesionalannya sehingga memungkinkan guru untuk meningkatkan kinerja mengajarnya sebagai pendidik.
Proses pendidikan tidak akan terjadi dengan sendirinya melainkan harus direncanakan, diprogram, dan difasilitasi dengan dukungan dan partisipasi aktif guru sebagai pendidik. Tugas dan tanggung jawab guru adalah mengubah perilaku peserta didik ke arah pencapaian tujuan pendidikan. Oleh karena itu, pencapaian tujuan pendidikan sangat bergantung kepada pelaksanaan tugas dan kinerja guru di samping kemampuan peserta didik itu sendiri serta dukungan komponen system pendidikan lainnya. Posisi strategis guru merupakan salah satu faktor penentu kualitas proses dan hasil pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan akan ditentukan oleh sejauh mana kesiapan guru dalam mengarahkan peserta didiknya melalui kegiatan pembelajaran. Ketika pembelajaran berlangsung, guru tidak sekedar menyampaikan pelajaran akan tetapi juga menciptakan suasana belajar yang dialami setiap siswa. Komunikasi antara guru dan siswa sebaiknya berjalan dengan lancar. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan siswa sehingga kelas menjadi tempat yang menyenangkan dan siswa lebih mudah memahami pelajarannya. Menurut Satori (2002; 1) pembelajaran di kelas merupakan core business, jantung kegiatan sekolah dan pendidikan pada umumnya karena disanalah peserta didik seharusnya mendapatkan layanan belajar dan jaminan mutu hasil pendidikan.
Akan tetapi masih banyak permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah belum optimalnya sumber daya manusia yang terdapat pada guru. Fakta empirik yang sulit terbantahkan saat ini adalah kesulitan untuk mendapatkan guru yang benar-benar mengabdikan diri dan mencurahkan waktu dan perhatiannya untuk melaksanakan tugas profesionalnya sebagai tenaga pendidik. Menurut Mulyasa (2005) bahwa :
Sedikitnya terdapat tujuh kesalahan yang sering dilakukan guru dalam pembelajaran. Kesalahan tersebut adalah mengambil jalan pintas dalam pembelajaran, menunggu peserta didik berperilaku negative, menggunakan destruktif discipline, mengabaikan kebutuhan-kebutuhan khusus (perbedaan individu) peserta didik, merasa diri paling pandai di kelasnya, tidak adil (diskriminatif), serta memaksa hak peserta didik.
Alasan klasiknya guru belum melaksanakan tugas profesionalnya sebagai tenaga pendidik adalah gaji dan kesejahteraan guru yang rendah membuat para guru seakan-akan tak mampu untuk menghadapi tuntutan yang berat yang dibebankan kepadanya. Mereka selalu terpuruk dan seakan-akan tak berdaya menghadapi hempasan badai keras globalisasi yang melunturkan semangat pengabdian mereka.
Paradigma metodologi pendidikan saat ini disadari atau tidak telah mengalami suatu pergeseran dari behaviourisme ke konstruktivisme yang menuntut guru dilapangan harus mempunyai syarat dan kompetensi untuk dapat melakukan suatu perubahan dalam melaksanakan proses pembelajaran dikelas. Guru dituntut lebih kreatif, inovatif, tidak merasa sebagai teacher center, menempatkan siswa tidak hanya sebagai objek belajar tetapi juga sebagai subjek belajar dan pada akhirnya bermuara pada proses pembelajaran yang menyenangkan, bergembira, dan demokratis yang menghargai setiap pendapat sehingga pada akhirnya substansi pembelajaran benar-benar dihayati.
Sejalan dengan pendapat diatas, pembelajaran menurut pandangan konstruktivisme adalah :
Pembelajaran dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas (sempit) dan tidak sekonyong-konyong. Pembelajaran bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi Pembelajaran itu dan membentuk makna melalui pengalaman nyata. (Depdiknas, 2003 : 11)
Implementasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran diwujudkan dalam bentuk pembelajaran yang berpusat pada siswa (Student Center). Guru dituntut untuk menciptakan suasana belajar sedemikian rupa, sehingga siswa bekerja sama secara gotong royong (cooperative learning).
Untuk menciptakan situasi yang diharapkan pada pernyataan diatas seoarang guru harus mempunyai syarat-syarat apa yang diperlukan dalam mengajar dan membangun pembelajaran siswa agar efektif dikelas, saling bekerjasama dalam belajar sehingga tercipta suasana yang menyenangkan dan saling menghargai (demokratis), diantaranya :
1. Guru harus lebih banyak menggunakan metode pada waktu mengajar, variasi metode mengakibatkan penyajian bahan lebih menarik perhatian siswa, mudah diterima siswa, sehingga kelas menjadi hidup, metode pelajaran yang selalu sama (monoton) akan membosankan siswa.
2. Menumbuhkan motivasi, hal ini sangat berperan pada kemajuan, perkembangan siswa. Selanjutnya melalui proses belajar, bila motivasi guru tepat dan mengenai sasaran akan meningkatkan kegiatan belajar, dengan tujuan yang jelas maka siswa akan belajar lebih tekun, giat dan lebih bersemangat. (Slamet, 1987 : 92)
Pada saat ini banyak guru yang telah melaksanakan teori konstruktivisme dalam pembelajaran di kelas tetapi volumenya masih terbatas, karena kenyataan dilapangan masih banyak dijumpai guru yang dalam mengajar masih terkesan hanya melaksanakan kewajiban. Ia tidak memerlukan strategi, metode dalam mengajar, baginya yang penting bagaimana sebuah peristiwa pembelajaran dapat berlangsung.
Disisi lain menurut Hartono Kasmadi (1993 : 24) bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dimana pengajar masih memegang peran yang sangat dominan, pengajar banyak ceramah (telling method) dan kurang membantu pengembangan aktivitas murid.
Dari uraian diatas, tidak dipungkiri bahwa dilapangan masih banyak guru yang masih melakukan cara seperti pendapat diatas, dan diakui bahwa banyak faktor penyebabnya sehingga dapat dilihat akibat yang timbul pada peserta didik, sering dijumpai siswa belajar hanya untuk memenuhi kewajiban pula, masuk kelas tanpa persiapan, siswa merasa terkekang, membenci guru karena tidak suka gaya mengajarnya, bolos, tidak mengerjakan tugas yang diberikan guru, takut berhadapan dengan mata pelajaran tertentu, merasa tersisihkan karena tidak dihargai pendapatnya, hak mereka merasa dipenjara, terkekang sehingga berdampak pada hilangnya motivasi belajar, suasana belajar menjadi monoton, dan akhirnya kualitas pun menjadi pertanyaan.
Dari permasalahan tersebut, guru mempunyai tanggung jawab terhadap peningkatan mutu mengajar di sekolah karena guru sebagai ujung tombak dilapangan (di kelas) dan bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pembelajaran.
Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat terhadap kemajuan dan peningkatan kompetensi siswa, dimana hasilnya akan terlihat dari jumlah siswa yang lulus dan tidak lulus. dengan demikian tangung jawab peningkatan mutu pendidikan di sekolah, selalu dibebankan kepada guru.
Demikian halnya, dengan guru-guru di SMA Negeri se-Kabupaten X, dimana masih banyak guru yang belum optimal dalam menjalankan profesinya sebagai guru terutama dalam melaksanakan proses pembelajaran, seperti : belum memahaminya wawasan atau landasan kependidikan, belum memahami berbagai keadaan peserta didik, belum melakukan pengembangan kurikulum atau silabus, belum sempurnanya membuat perancangan pembelajaran, belum optimal dalam melaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis, belum memanfaatkan teknologi pembelajaran, belum optimal dalam melakukan evaluasi hasil belajar, dan belum optimal dalam pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Hal ini mengakibatkan mutu pendidikan belum optimal.
Fenomena masih belum optimalnya mutu mengajar guru (proses pembelajaran) di SMA Negeri se-Kabupaten X diperoleh melalui hasil studi pendahuluan (survei) dan diskusi yang dilakukan oleh penulis terhadap teman sesama guru di Kabupaten X.
Melihat kenyataan ini, kalau dibiarkan akan mengakibatkan rendahnya mutu pendidikan khususnya di Kabupaten X. Oleh karena itu permasalahan tersebut harus segera diatasi.
Ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan mutu mengajar guru meningkat, namun penulis mencoba mengkaji masalah supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala sekolah dan budaya sekolah.
Supervisi dalam hal ini adalah mengenai tanggapan guru terhadap pelaksanaan pembinaan atau bimbingan yang diberikan oleh kepala sekolah, apakah ada pengaruhnya terhadap peningkatan mutu mengajarnya.
Supervisi akademik merupakan salah satu tugas kepala sekolah dalam membina guru melalui fungsi pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah pada intinya yaitu melakukan pembinaan, bimbingan untuk memecahkan masalah pendidikan termasuk masalah yang dihadapi guru secara bersama dalam proses pembelajaran dan bukan mencari kesalahan guru.
Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, dinyatakan bahwa salah satu kompetensi Kepala Sekolah adalah memiliki kompetensi supervisi, yaitu :
1. Merencanakan program supervisi akademik dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
2. Melaksanakan supervisi akademik terhadap guru dengan menggunakan pendekatan dan teknik supervisi yang tepat.
3. Menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
Adapun indikator-indikator dari supervisi akademik yang dilakukan oleh kepala sekolah terhadap guru menurut Suharsimi Arikunto (1990) adalah sebagai berikut :
1. Tujuan supervisi
2. Hubungan guru dengan supervisor
3. Bimbingan perencanan mengajar
4. Prosedur pelaksanaan supervisi
5. Bantuan dalam memecahkan masalah
6. Hasil dan tindak lanjut supervisi
Guru yang mempunyai persepsi yang baik terhadap supervisi akademik, maka guru akan mengajar dengan baik, karena supervisi itu berarti pembinaan kepada guru ke arah perbaikan dalam mengajar. Begitu sebaliknya jika saran dan advis dari supervisor (pengawas) dari kepala sekolah diabaikan oleh guru maka bisa berdampak pada kegiatan mengajarnya kurang baik.
Kegiatan supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah akan berpengaruh secara psikologis terhadap peningkatan mutu mengajar guru apabila guru menerima supervisi tersebut sebagai masukan dan motivasi untuk meningkatkan mutu mengajarnya sehingga ia akan bekerja dengan sukarela yang akhirnya dapat membuat produktivitas kerja guru menjadi meningkat. Tetapi jika guru tidak menerima supervisi akademik sebagai suatu hal yang dapat mengakibatkan peningkatan mutu mengajar dan motivasi atau dijadikan beban maka ia akan bekerja karena terpaksa dan kurang bergairah yang ditunjukkan oleh sikap-sikap yang negative sehingga mengakibatkan pruduktivitas kerja guru menjadi menurun.
Selain supervisi akademik yang dilakukan oleh kepalas sekolah hal lain yang dapat mempengaruhi mutu mengajar guru adalah budaya sekolah.
Budaya sekolah yang kerap disebut dengan iklim kerja menggambarkan suasana dan hubungan kerja antara sesama guru, antara guru dengan kepala sekolah, antara guru dengan tenaga kependidikan lainnya serta antara dinas di lingkungannya merupakan wujud dari lingkungan kerja yang kondusif. Suasana seperti ini sangat dibutuhkan guru dan kepala sekolah untuk melaksanakan pekerjaannya dengan lebih efektif. Budaya sekolah dapat digambarkan melalui sikap saling mendukung (supportive), tingkat persahabatan (collegial), tingkat keintiman (intimate) serta kerja sama (cooperative). (Hasanah; 2008; 12). Kondisi yang terjadi atas keempat dimensi budaya sekolah tersebut berpotensi meningkatkan mutu mengajar guru.
Budaya sekolah yang kondusif akademik merupakan prasyarat bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang efektif. Lingkungan sekolah yang aman dan tertib, optimisme dan harapan/ekspektasi yang tinggi dari warga sekolah, kesehatan sekolah, dan kegiatan-kegiatan yang terpusat pada siswa adalah contoh-contoh budaya sekolah yang dapat menumbuhkan semangat belajar siswa. Budaya sekolah sudah merupakan kewenangan sekolah sehingga yang diperlukan adalah upaya-upaya yang lebih intensif dan ekstensif demi produktivitas sekolah.
Menurut Miller (1987 ; 56-57) indikator dari budaya sekolah adalah :
Budaya yang ada di sekolah dibagi dua, yaitu budaya yang mempunyai nilai-nilai primer, yaitu : (1) tujuan organisasi sekolah; (2) konsensus dan komitmen terhadap tugas; (3) keunggulan, (4) kesatuan kepentingan, (5) integritas. Sedangkan budaya yang bernilai sekunder, yaitu : (1) penerima layanan, (2) pengendalian yang disiplin, (3) kemandirian, (4) pengambilan keputusan yang cepat, (5) visioner, (6) pengembangan.
Dari hasil wawancara dan diskusi informal dengan teman sejawat sesama guru di SMA Negeri se-Kabupaten X menunjukkan bahwa pada umumnya guru-guru di SMA Negeri se-Kabupaten X motivasi kerja, kreativitas, kinerja, dan produktivitas kerja yang belum optimal dan belum sesuai dengan yang diharapkan, apalagi jika mengacu kepada standar kerja minimal yang dituntut kepada para guru, khususnya guru-guru di SMA Negeri se-Kabupaten X. Tanpa mengabaikan berbagai faktor yang berhubungan dengan perilaku kepemimpinan kepala sekolah dan budaya sekolah seperti faktor tingkat kesejahteraan (gaji) yang diterima masih jauh dari standar kebutuhan yang layak, iklim sosial, dan budaya di lingkungan sekolah kurang mendukung, kesibukan lain di luar jam mengajar di sekolah, dan yang lainnya, maka faktor supervisi akademik yang dilakukan kepala sekolah dan budaya sekolah diduga berpengaruh yang signifikan terhadap mutu mengajar guru di SMA se-Kabupaten X. Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang : "Pengaruh Supervisi Akademik Kepala Sekolah dan Budaya Sekolah Terhadap Mutu Mengajar Guru" (Studi Analisis Tentang Mutu Mengajar Guru di SMA Negeri se-Kabupaten X).
1.2. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang penelitian dan identifikasi masalah di atas, maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian yaitu "Seberapa besar pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?". Rumusan masalah penelitian tersebut, dapat dirinci ke dalam beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a. Bagaimana gambaran supervisi akademik kepala sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
b. Bagaimana gambaran budaya sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X?
c. Bagaimana gambaran mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
d. Apakah ada korelasi antara supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
e. Seberapa besar pengaruh supervisi akademik sekolah terhadap mutu megajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
f. Seberapa besar pengaruh budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
g. Seberapa besar pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah secara bersamaan terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X ?
1.3. Variabel dan Definisi Operasional
1.3.1.Variabel
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu :
1) Variabel bebas/independent variable (X) :
a. Supervisi akademik kepala sekolah (X-1).
Variabel supervisi akademik kepala sekolah diuraikan lagi menjadi subvariabel- subvariabel sebagai berikut : tujuan supervisi, hubungan guru dengan supervisor, bimbingan perencanan mengajar, prosedur pelaksanaan supervisi, dialog profesional dalam superisi, bantuan dalam memecahkan masalah, hasil dan tindak lanjut supervisi.
b. Budaya sekolah (X-2)
Variabel budaya sekolah diuraikan lagi menjadi subvariabel- subvariabel sebagai berikut : budaya yang mempunyai nilai-nilai primer, dan budaya yang bernilai sekunder.
2) Variabel terikat/dependent variable (Y) : mutu mengajar guru SMA Negeri se-Kabupaten X. Variabel mutu mengajar guru dijabarkan lagi menjadi subvariabel-subvariabel : perencanaan pembelajaran (input), pelaksanaan pembelajaran (prose), dan evaluasi pembelajaran (output).
1.3.2. Definisi Operasional
Definisi Operasional variabel bertujuan untuk menjelaskan makna variabel yang sedang diteliti. Masri. S (2003;46-47) memberikan pengertian tentang definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel, dengan kata lain definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama. Lebih lanjut beliau mengatakan : "dari informasi tersebut akan mengetahui bagaimana caranya pengukuran atas variabel itu dilakukan". Dengan demikian peneliti dapat menentukan apakah prosedur pengukuran yang sama akan dilakukan prosedur pengukuran baru.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi operasional itu harus bisa diukur dan spesifik serta bisa dipahami oleh orang lain. Adapun definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Supervisi akademik kepala sekolah (X-1) adalah upaya seorang kepala sekolah dalam pembinaan guru agar guru dapat meningkatkan kualitas mengajarnya dengan melalui langkah-langkah perencanaan, penampilan mengajar yang nyata serta mengadakan perubahan dengan cara yang rasional dalam usaha meningkatkan hasil belajar siswa.
2. Budaya sekolah (X-2) adalah pola dasar atau aturan yang diciptakan oleh kepala sekolah, guru, siswa, masyarakat, stakeholders, dan lingkungannya untuk mencapai tujuan
3. Mutu mengajar guru (Y) adalah seperangkat perilaku yang ditunjukkan oleh guru pada saat menjalankan tugas dan kewajibannya dalam bidang pengajaran yang dapat memuaskan kebutuhan siswa sehingga menghasilkan pendidikan yang baik.
1.4. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X. Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk :
1. Mendapatkan gambaran empirik supervisi akademik kepala sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X.
2. Mendapatkan gambaran empirik budaya sekolah di SMA Negeri se-Kabupaten X.
3. Mendapatkan gambaran empirik mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.
4. Menganalisis korelasi antara supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X
5. Menganalisis pengaruh supervisi akademik kepala sekolah terhadap mutu megajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.
6. Menganalisis pengaruh budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.
7. Menganalisis pengaruh supervisi akademik kepala sekolah dan budaya sekolah secara simultan terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X.
1.5. Kegunaan Penelitian
1.5.1 Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan studi lanjutan yang relevan dan bahan kajian ke arah pengembangan konsep-konsep pengembangan guru yang mendekati pertimbangan-pertimbangan kontekstual dan konseptual, serta kultur yang berkembang pada dunia pendidikan dewasa ini. Pembahasan tentang pengaruh supervisi akademik dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari manajemen pendidikan yang akan menjadi suplemen bahasan dalam memperkuat validitas dan reliabilitas pelaksananan manajemen sekolah sebagai sebuah nilai budaya institusi, disamping sebagai sebuah konsep operasional.
1.5.2. Kegunaan Praktis
Secara praktis kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memiliki kegunaan sebagai berikut :
a. Bagi kepala sekolah sebagai supervisor, bisa mengambil manfaat dari hasil penelitian ini, dan mereka bisa melakukan supervisi akademik terhadap guru lebih baik lagi sehingga dapat memotivasi dan meningkatkan mutu mengajar guru, yang pada gilirannya mampu meningkatkan mutu pendidikan di sekolahnya.
b. Bagi penulis, menambah wawasan dalam bidang penelitian sehingga mengetahui bagaimana pengaruh supervisi akademik dan budaya sekolah terhadap mutu mengajar guru di SMA Negeri se-Kabupaten X sebagai bekal peningkatan profesionalisme pada masa yang akan datang.
c. Bagi para peneliti, sebagai masukan untuk dapat melakukan penelitian lebih akurat dengan populasi dan sampel yang berbeda, sehingga bisa menguatkan simpulan.
1.6. Sistematika Penulisan
Penulisan laporan hasil penelitian ini dibuat dalam bentuk tesis dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan
BAB II Landasan Teoritis
BAB III Metode Penelitian
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
BAB V Kesimpulan, Implikasi, dan Rekomendasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar