Setiap tahun masyarakat suku laut di Kepulauan Bangka Belitung menggelar ritual Muang Jong untuk keselamatan mereka yang mencari nafkah di laut. Kini upacara sakral itu menjadi bagian dari daya tarik wisata di daerah ini.Syair ”Gajah Manunggang” yang berstruktur seperti pantun itu sendiri mengambil metafora terkait keberadaan ikan besar berbentuk seperti gajah. Ikan ”berbelalai” dan ”bertaring” ini dipercaya benar-benar ada. Mereka menyebut hewan laut— oleh masyarakat pada umumnya dianggap hanya mitos—tersebut sebagai gajah mina.
Seperti kisah lumba-lumba yang kerap menolong para nelayan saat terkena musibah di laut, gajah mina pun demikian. Setelah terapung-apung di laut lepas, gajah minalah yang diharapkan mau menyediakan diri jadi tunggangan Orang Sawang agar selamat dan bisa pulang ke tengah komunitasnya. Bait-bait lagu itu juga berisikan ratapan, doa, dan harapan yang merefleksikan kesedihan akan musibah yang menimpa kerabat mereka sesama Orang Sawang.Sejatinya, beberapa nyanyian komunitas suku laut yang ada di wilayah perairan Kepulauan Bangka Belitung ini hanya dimunculkan saat acara ritual tertentu. Salah satunya dalam upacara Muang Jong yang dilakukan setahun sekali setiap menjelang datangnya musim angin barat di kawasan ini.
Namun, seiring berjalannya waktu dan persentuhan mereka yang kian intens dengan ”orang darat”, tabu-tabu itu mulai menipis. Beberapa bagian dari rangkaian ritual tersebut masih bisa dihadirkan ke khalayak luar, bahkan dipanggungkan di luar upacara-upacara sakral mereka. Upacara Muang Jong yang seharusnya hanya berlangsung sekali setahun, biasanya digelar bulan Juli saat bulan naik pada penanggalan hitungan ganjil sebelum tanggal 21, pun sudah bisa ”dipesan” untuk kepentingan agenda kepariwisataan pemerintah setempat.
Sedekah laut
Kisah itu bermula ketika pada satu masa sekelompok Orang Sawang yang tengah berada di laut lepas ditimpa musibah. Ombak bergulung-gulung yang menyertai hujan badai telah membalikkan perahu mereka. Setelah berminggu-minggu terapung, akhirnya pertolongan itu datang lewat penjelmaan dewa-dewi yang belakangan dipercaya sebagai penguasa laut.
Mereka diselamatkan ke tempat yang disebut gusong timur. Di sana diperlihatkan sebuah jong (perahu) dan pondok kecil yang mereka sebut ancak. Ketika para penyelamat Orang Sawang itu menghilang, sadarlah mereka bahwa sang penyelamat tak lain adalah dewa-dewi penguasa laut.
”Menurut yang empunya cerita, sejak itulah Orang Sawang memutuskan mengadakan ritual Muang Jong dengan cara meniru bentuk jong dan ancak yang diperlihatkan kepada mereka,” tutur Salim Yan Albert Hoogstat, pemerhati budaya dan tradisi Belitung yang banyak bergaul dengan Orang Sawang.
Dalam bahasa umum, upacara Muang Jong yang berpuncak pada ritual membuang miniatur perahu/kapal berikut sesaji yang menyertainya ke laut adalah semacam kegiatan sedekah laut. Selain untuk mengenang arwah leluhur mereka yang meninggal karena ganasnya ombak di lautan, tradisi ini sekaligus sebagai sarana untuk memohon agar diberikan perlindungan dan keselamatan bagi siapa pun yang menggantungkan hidup dengan mencari nafkah di laut.
Bulan Juli dipilih sebagai waktu pelaksanaan Muang Jong lebih karena pertimbangan bahwa pada bulan-bulan berikutnya datang angin barat. Pada bulan-bulan tersebut biasanya ombak di laut mulai mengganas, ditandai tingginya empasan gelombang dan cuaca yang kian tak menentu.
”Pelaksanaannya paling tidak berlangsung tiga hari tiga malam. Di dalamnya banyak ritual yang harus dijalankan. Sebagai salah seorang dukun atau pawang di kalangan Orang Sawang, biasanya Mak Una ikut memimpin ritual-ritual itu,” kata Idris Said.
Meski bukan asli Orang Sawang, tetapi karena lahir dan besar di lingkungan masyarakat suku laut di daerah ini, Idris sudah diakui sebagai bagian dari mereka. Dalam relasi sosial antarmereka, Idris dilibatkan dalam berbagai ritual Orang Sawang. Saat ini ia bahkan memimpin Sanggar Ketimang Burong, kelompok kesenian yang mencoba mempresentasikan keberadaan Orang Sawang.
Kearifan lokal
Sebelum proses puncak pelarungan jong ke laut, ritual diawali pencarian tempat (pantai atau pulau) dan waktu upacara akan digelar.Setelah disetujui penguasa laut lewat ”komunikasi spiritual” dalam ritual khusus yang dipimpin oleh dukun atau sang pawang, rangkaian ritual berikutnya sudah menunggu.
Mulai dari prosesi mencari pokok pohon kayu di hutan untuk pembuatan replika jong, ancak, dan tiang yang akan dipasang di tanah lapang (tiang jitun menurut istilah mereka) hingga persiapan akhir sebelum jong dibuang ke laut, beragam ritual dilakukan.Baik berupa ritual untuk mengundang roh penjaga laut dan darat, yang dilakukan berkali-kali, maupun ritual yang dikemas dalam bentuk seni pertunjukan.
Momen berupa acara kesenian (baca: permainan Orang Sawang) inilah yang ditunggu-tunggu oleh orang luar. Tarian dan nyanyi- nyanyian yang dihadirkan lebih menggambarkan sikap dan pandangan hidup mereka sehari- hari. Di dalamnya tecermin berbagai kearifan lokal yang mereka miliki. Secara tak langsung, peristiwa budaya ini sekaligus berfungsi semacam bagian dari model sistem pewarisan nilai-nilai tradisi di kalangan Orang Sawang.
Setelah jong dibuang ke laut, selama tujuh hari mereka tidak dibolehkan melaut. Pelanggaran atas larangan ini dipercaya akan mendatangkan musibah.Dalam perspektif kekinian, semangat di balik larangan itu sesungguhnya terkandung pesan moral terkait perlunya upaya menjaga keseimbangan alam. Prinsip ini tak ubahnya seperti ”jeda tebang” dalam upaya pelestarian di bidang kehutanan.Kearifan untuk menjaga kehormanisan hidup pun tecermin dari salah satu rangkaian prosesi upacara Muang Jong. Sebutlah seperti dalam ritual ”jual-beli” jong, yang melibatkan dua pihak: roh halus penguasa laut dan darat. Proses ”jual-beli” itu sendiri bersifat simbolik.
Bahwa, rezeki dari laut sebagaimana yang selalu diharapkan oleh para nelayan akan terpenuhi bila manusia ”menerima” dan tidak ”memusuhi” laut dengan segala isinya. Laut dan ekosistem yang ada di dalamnya harus selalu dijaga. Oleh karena itu, kegiatan memungut hasil laut pun sepatutnya dilakukan dengan cara yang tidak berlebihan, tidak eksploitatif, apalagi sampai menggunakan bom ikan dan sejenisnya.
Di sisi lain, ritual ini juga mengedepankan semangat menjaga keharmonisan hidup antara orang-orang suku laut dan orang darat. Kedua pihak harus bisa saling menerima dan menghargai, tentu dengan segala adat dan tradisi masing-masing. (KEN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar