UPAYA PEMBIASAN BUDAYA YANG BERKARAKTER DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA
DI SEKOLAH DASAR NEGERI 1 WRINGINAOM SAMBIT-PONOROGO
Abstrak: salah satu upaya mengimplementasikan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa demi mewujudkan visi pembangunan nasional, dapat dilakukan di sekolah yakni melalui serangkaian kegiatan pembelajaran. Pembelajaran bahasa Indonesia yang mendidik di sekolah dasar yang tidak hanya mengandalkan pada ketercapaian tujuan instruksional semaata melainkan lebih kepada keterbentukan pribadi-pribadi yang terampil berbahasa, berbudaya, cakap, mandiri, dan santun dalam berpikir, bertutur kata, serta berperilaku merupakan wahana tepat pengembangan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang diharapkan. Hal itu mengingat siswa-siswa sekolah dasar adalah generasi penerus bangsa yang wajib dibimbing dan diarahkan agar menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dalam menghadapi tantangan. Strategi penerapan nilai-nilai udaya dan karakter bangsa dalam pembelajaran bahasa Indonesia yang mendidik dilakukan guru dengan mengacu pada pembelajaran aktif, menyenangkan, dan bermakna.
Kata-kata kunci: Nilai-nilai budaya dan karakter, pembelajaran bahasa Indonesia.
Pembelajaran merupakan suatu aktivitas yang kompleks yang melibatkan sosok individu secara utuh (whole person). Keberhasilan seseorang dalam belajar ditentukan oleh berbagai factor yaitu the mind, the body, and the emotions. Seperti halnya kebutuhan akan makan dan tidur, setiap orang juga butuh belajar untuk memperoleh pendidikan, baik untuk diri sendiri maupun agar dapat membantu orang lain.
Di era informasi dan globalisasi saat ini banyak kalangan berpendapat, pendidikan dipandang sebaga proses intelektual semata. Dalam pembelajaran, yang paling menentukan adalah intelek (cognition). Manusia dipandang sebagai makhluk intelektual. Pola penalaran seperti ini harus segera ditinggalkan, khususnya setelah Abraham Maslow mendengungkan teori humanistiknya. Dalam teori ini manusia di pandang sebagai individu yang utuh yang tidak saja memiliki kapabilitas intelektual, melainkan juga memiliki reaksi emosional dan reaksi somatic (Curran, 1976).
Sejalan dengan pandangan tersebut. Brown (1987) mengklaim bahwa manusia adalah makhluk emosional. Inti pikiran, makna, dan tindakan adalah emosi. Hal ini berarti manusia selalu dipengaruhi oleh emosi. Dengan demikian ancangan pendidikan yang memfokuskan diri pada satu atau dua dimensi tidak akan menghasilkan iklim belajar yang nyaman. Proses pembelajaran yang efektif dan terwujud apabila seluruh dimensi individu yang meliputi dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik dapat dilibatkan (to be addressed).
Dimensi yang kerap kali terlalaikan dalam kehidupan manusia, termasuk dunia pendidikan, adalah dimensi afektif yakni satu dimensi yang sangat berpengaruh terhadap tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai budaya dan karakter suatu bangsa pada setiap siswa. Sebagai akibat kekurang peduli guru pada dimensi ini, suasana kelas selalu diwarnai oleh ketegangan atau kecemasan (pada siswa dewasa), munculnya perilaku-perilaku siswa yang tidak bertanggung jawab ditambah ribut (pada siswa anak-anak). Hal ini jelas berdampak pada kegiatan pembelajaran tidak berjalan secara optimal.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dirumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam upaya mengembangkan pendidikan di Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karenanya, rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang implementasinya terintegrasi pada setiap kegiatan pembelajaran, pada setiap mata pelajaran, dan pada semua satuan pendidikan yang ada tak terkecuali pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar.
Oleh karena itu, pembelajaran bahasa Indonesia yang mendidik penting untuk dilakukan mengingat pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar mempunyai peranan yang sangat strategis. Pembelajaran bahasa Indonesia bertujuan memberikan bekal kemampuan dasar Baca- Tulis- Hitung, serta memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang bermanfaat bagi siswa sesuai dengan tingkat perkembangannya. Peranan pengajaran bahasa Indonesia itu semakin tegas utamanya bila dihubungkan dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di bidang pendidikan termasuk sekolah dasar. Penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar bagi siswa sekolah dasar akan sangat membantu mereka dalam mengikuti semua kegiatan pembelajaran baik bahasa Indonesia maupun mata pelajaran mata pelajaran lainnya (Syafi’ie, 1994).
PEMBAHASAN
Apa itu Bahasa?
Bahasa adalah ungkapan atau ucapan pikiran dan perasaan manusia. Bahasa digunakna secara turun temurun. Meski demikian, kemampuan berbahasa bukanlah kemampuan yang dimiliki seseorang karena factor keturunan, melainkan karena belajar. Seorang anak, tidak dengan sendirinya menguasai bahasa yang dikuasai orang tuanya. Bayi yang dilahirkan dari pasangan orang tua yang berasal dari Jawa misalnya, tidak dengan sendirinya mampu berbahasa Jawa tanpa belajar. Jika dalam proses perkembangannya dia berhadapan dengan bahasa Indonesia dikarenakan keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya berbahasa Indonesia, dia akan menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa pertamanya atau bahasa ibu dan bukan bahasa Jawa.
Bahasa ibu yang dimaksud mengacu pada bahasa yang diperoleh sejak lahir, secara informal dan alami, tanpa perencanaan dan melalui banyak guru. Guru-guru bahasa ibut tidak menggunakan acuan berupa kurikulum, tidak juga menggunkan metode atau pun berbagai landasan teori. Berbeda jika seseorang belajar bahasa kedua, ktiga, keempat, dan seterusnya. Belajar bahasa kedua dan seterusnya ini. Pada umumnya dilakukan anak setelah mencapai umur tertentu, secara formal, terencana, dalam waktu dan dengan guru tertentu. Belajar bahasa dan berbahasa terjadi di tengah-tengah kehidupan bersosialisasi. Berbicara, menyimak, membaca, dan menulis bermula dan tumbuh dengan subur seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan dirinya dari sejak usia dini dalam kehidupannya yang utuh. Keterampilan berbahasa tersebut menjadi penting untuk selalu dikembangkan karena 3 alasan. Pertama, sebagai makhluk social secara naluriah manusia memerlukan hubungan dengan sesamanya. Kedua, belajar bahasa diperlukan untuk memahami dunia yang menjadi bagian dari kehidupannya. Ketiga, belajar bahasa perlu untuk mengekspresikan diri.
Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar
Berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran di sekolah dasar, baik pada pembelajaran bahasa Indonesia maupun pada pembelajaran mata pelajaran lain, pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia sampai saat ini belum berlangsung secara optimal menciptakan siswa-siswa yang terampil berbahasa, berbudaya, dan berkarakter. Pembelajaran yang teramati berlangsung secara konvensional yakni guru menjelaskan materi sesuai buku pegangan dan topic yang diajarkan, siswa mendengarkan, mengerjakan tugas, dan mengumpulkan tugas. Dengan cara yang demikian seolah-olah guru dan buku pegangan adalah sumber segara informasi. Dampak dari semua itu, pembelajaran yang diharapkan memunculkan interaksi timbale balik yang aktif antara guru- siswa, siswa- siswa, dan siswa- guru jarang terjadi. Cara pembelajaran seperti itu selain kurang menarik dan tidak memberikan variasi, juga tidak menumbuhkan ide-ide kreatif siswa yang baik sebagai salah satu nilai yang perlu dikembangkan. Hasil pengalaman pengamatan ini semakin nyata dan benar adanya dengan temuan penelitian Rofi’uddin, Rini (1990, 1995) tentang interaksi kelas bahasa Indonesia di sekolah dasar bahwa 95% interaksi kelas di kuasai oleh guru.
Meskipun Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan sebagai kurikulum operasional, kurikulum terdepan yang disusun dan dilaksanakan oleh satuan pendidikan diberlakukan untuk mengatasi kelemahan kurikulum sebelumnya, faktanya di lapangan, masih banyak ditemukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia bahwa bahasa disajikan sebagai butir yang terpotong serta menekankan pada pembelajaran tentang bahasa, bukan keterampilan berbahasa sesuai tujuan yang diharapkan. Jika dilihat dari sudut pandang dampak kurikulum terhadap perilaku isswa setelah mengikuti pembelajaran, pada dasarnya yang eksis hanyalah kurikulum local yang berupa pengalaman belajar yang bermakna yang digelar oleh guru dari hari ke hari. Hal ini berarti apapun kurikulum formal yang digunakan (Kurikulum 1994, KBK, KTSP) tidak akan berarti tanpa penerjemahan yang setia di lapangan. Penerjemahan secara setia kurikulum formal menjadi kurikulum eksperriensia atau operasional mempersyaratkan penggelaran berbagai pengalaman belajar yang mendidik (Joni, 2000). Pengalaman belajar yang dicerminkan dalam bentuk tindak pembelajaran guru yang bervariasi di kelas.
Dengan kata lain, tersampai pesan pendidikan sangat tergantung bukan pada materi pesan yang ingin disampaikan melainkan lebih pada cara penyampaiannya. Dampak dari proses penyampaian pesan itulah yang seyogyanya dimanfaatkan untuk mewujudkan sisi pesan pendidikan lain yang juga penting dalam kerangka tujuan utuh pendidikan yang justru tidak tepat apaibila disampaikan hanya dalam kerangka piker content transmission model (Joni, 2000). Sebaliknya sasaran pembentukan nilai budaya dan karakter bangsa seperti kebiasaan bekerja secara sistematis, adanya kepekaan social, tanggung jawab, kepemimpin dan keterampilan berbahasa itu harus diwujudkan sebagai dampak pengiring atau nurturant effect dari keterlibatan siswa dalam berbagai kegiatan dan peristiwa pembelajaran yang dialami siswa.
Untuk mewujudkan harapan tersebut, para ahli menyarankan penggunan pendekatan pembelahjaran bahasa yang memandang membaca dan menulis, berbicara, dan menyimak sebagai bagian terpadu. Karenanya bahasa harus diajarka dengan cara yang utuh.
Pendekatan bahasa utuh (whole language) merupakan pembaharuan di bidang pembelajaran bahasa. Pendekatan ini berupaya memberdayakan kedua belah pihak pelaku kegiatan belajar di kelas yaitu guru dan terutama pembelajaran bahasa (siswa). Dengan pendekatan ini pembelajar bahasa diharapkan lebih banyak terlibat dengan kegiatan menggunakan bahasa dalam kehidupan nyata. Pendekatan yang dikembangkan atas dasar temuan penelitian menyatakan bahwa belajar bahasa itu bersifat alamiah. Pembelajaran bahasa kedua akan lebih mudah jika pembelajar bahasa diajak menggunakan bahasa dalam kegiatan berbaha yang sebenarnya (authentic purpose), bukan belajar tentang bahasa yang memaksa siswa menghafalkan kaidah bahasa saja tanpa terlibat dalam penggunaan bahasa yang berhubungan dengan peri kehidupan siswa (Ghazali, 2003). Dengan pendekatan ini siswa akan mudah mengembangkan kemampuan berbahasanya.
Di dalam proses belajar bahasa yang pernah dialami oleh sisw dalam kehidupan nyata, tidak pernah terjadi bahasa dipisahkan menjadi unsure bahasa yang kecil seperti fonem, morfem, frase, atau kalimat yang berdiri sendiri. Ketika anak berada di lingkungan orang yang menggunakan bahasa secara bermakna menyatakan maksud tertentu, anak telah diajari cara memahami tuturan orang lain. Dan ketika anak ingin menyatakan sesuatu kepada orang lain, secara social ia telah didorong oleh lingkungannya untuk menghasilkan tuturan yang dapat dipahami oleh orang-orang disekitarnya (Kristiantari, 2005)
Untuk itu, Goodman (1986) berkeyakinan bahwa belajar berbahasa di kelas pun harus berangkat dari pengalaman belajar yang telah dialami oleh siswa secara alami. Guru harus menyajikan bahasa dalam penggunaan yang bermakna dan bertujuan (Keeep language whole and involve children in using it functionally and purposefully to meet their own need). Dengan demikian siswa diajak menggunakan bahasa yang dipelajarinya tersebut secara actual untuk keperluan mereka sehari-hari seperti mengirimkan surat kepada teman, memperkenalkan diri kepada teman baru atau saudara, bercerita tentang makanan kesukaran, dan sebaliknya.
Lebih lanjut Goodman (1982) menyatakan bahwa pembelajaran bahasa dengan pendekatan utuh ini menjadikan pembelajaran bahasa sebagai sarana komunikasi alamiah, sebagai kegiatan belajar bahasa yang aktif dan kreatif, bukan kegiatan belajar yang pasif karena hanya mendengarkan penjelasan guru. Berikut sejumlah ciri yang membuat pebelajaran bahasa menjadi mudah atau sukar bagi siswa.
Tabel 2.1 Ciri Pembeda Pembelajaran Bahasa dalam Kelas
PEMBELAJARAN BAHASA | |
MENJADI SUKAR APABILA | MENJADI MUDAH APABILA |
· Bahasa yang diajarkan tidak asli · Di urai menjadi bagian yang tidak saling berhubungan · Kurang bermakna · Membosankan/ kurang menarik · Tidak berhubungan dengan dunia siswa · Bukan bahasa siswa sendiri · Tidak berhubungan dengan konteks · Tidak mempunyai nilai social · Tidak mempunyai maksud yang jelas · Kegiatan berbahasa tidak melibatkan anak secara langsung baik mental maupun social · Dipaksa oleh orang lain, bukan atas dasar kemauan sendiri | · Bahasa alami · Utuh seperti bahasa sehari-hari yang ditemui siswa · Digunakan dalam komunikasi yang bermakna membicarakan hal yang menarik bagi siswa · Topic yang dibicarakan berhubungan dengan diri siswa dan dunianya · Berbicara tentang hal yang nyata · Bermanfaat bagi pergaulan siswa di masyarakat · Siswa dibiasakan menggunakan bahasa yang dipelajarinya · Siswa memiliki kenangan dalam berbahasa |
(Sumber: Ghazali, 2003)
Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa
Pembangunan karakter yang merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini, seperti: disorientasi dan belum dihayatinya nilai Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai Pancasila; bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; memudarnya kesadaran terhadap nilai budaya bangsa; ancaman disintegrasi bangsa; dan melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-2025). Untuk mendukung perwujudan cita-cita pembangunan karakter sebagaimana diamanatkan dalam Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengatasi permasalahan kebangsaan saat ini, maka Pemerintah menjadikan pembangunan karakter sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional.
Terkait dengan upaya mewujudkan pendidikan karakter, sesungguhnya hal yang dimaksud itu sudah tertuang dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional- UUSPN).
Atas dasar apa yang telah diungkapkan di atas, pendidikan karakter bukan hanya sekedar mengejarkan nama yang benar dan mana yang salah. Lebihdari itu, pendidikan karakter adalah usaha menanamkan kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak berdasrkan nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Dengan kata lain, implementasi pendidikan karakter yang baik harus melibatkan pengetahuan yang baik (morak knowing), perasaan yang baik atau loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.
Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi: (1) mengembangakn potensi pserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warga Negara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.
Pendidikan karakter berfungsi (1) membangun kehidupan kebangsaan yang multicultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkonstribusi terhadap pengembangan kehidupan umat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warga Negara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampngan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yaitu keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan media masa (Puskur, 2011).
Telah teridentifikasi 18 nilai budaya dan karakter yang bersumer dari agama. Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disipilin, (5) kerja keras, (6) kreatif (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tahanh air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/ komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli social, (18) tanggung jawab (Pusat Kurikulum. Pengembangan dan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. 2009: 9-10).
Meskipun telah dirumuskan 18 nilai pembentuk karakter bangsa, namun satuan pendidikan dapat menentukan prioritas pengembangan untuk melanjutkan nilai pra kodisi yang telah dikembangkan. Pemilihan nilai tersebut beranjak dari kepentingan dan kondisi satuan pendidikan masing-masing, yang dilakukan melalui analisis konteks, sehingga dalam implementasi dimungkinkan terdapat perbedaan jenis nilai karakter yang dikembangkan antara satu sekolah dan atau daerah yang satu dengan yang lainnya. Implementasi nilai karakter yang akan dikembangkan dapat dimulai dari nilai yang esensial, sederhana, mudah dilaksanakan, seperti: bersih, rapi, tanggung jawab, disiplin, dan santun dalam berbicara.
Implementasi Nilai-nilai Budaya dan Karakter Bangsa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Mendidik
Pembelajaran bahasa Indonesia di semua satuan pendidikan menjadi sorotan. Ini terjadi manakala persentase nilai bahasa Indonesia yang diperoleh siswa pada setiap ujian akhir tingkat nasional mengalami penurunan. Sebab dari keadaan itu guru yang selalu ditunjuk sebagai kambing hitamnya. Guru adalah ujung tombak pendidikan, satu-satunya orang dewasa yang berada di garda paling depan yang bertugas membuka pintu kesuksesan bagi siswa,
Guru merupakan salah satu factor penting di kelas dan kunci sentral terjadi keberhasilan suatu kegiatan pembelajaran (Borich, 1996; Dick dan Carey 1985). Nosi ini didukung oleh Kundjono (19994-15) dalam pernyataannya sebagai berikut “…the school is not just the building. It is not just a collection of textbooks and blackboards and notebooks. We can get an education without any of these, just as our ancestors did. The most important thing in the school is the teacher”.
Adanya pandangan baru berkaitan dengan tindakan pembelajaran yang mendidik membawa konsekuensi bagi guru untuk meningkatkan kompetensi dan performansi, karena hasil belajar siswa akan sangat bergantung pada input dan pengalaman belajar yang dicerminkan dalam tindak pembelajaran guru. Guru yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelasnya sehingga hasil belajar siswa berada pada tingkat optimal.
Di samping kompetensi teknis yang memadai, para guru juga harus di lengkapi dengan seperangkat asas kependidikan yang terdiri dari principles of reactionyang bertolak dari gambaran mengenai manusia dan masyarakat masa depan yang dikehendaki. Pada gilirannya, pemilik wawasan kependidikan ini menempatkan guru pada posisi untuk mengambil berbagai keputusan kependidikan yang tepat baik dalam merancang program pembelajaran, namun dalam mengelola lingkungan belajar yang optimal bagi pencapaian tujuan utuh pendidikan (Joni, 2000). Sebagaimana diketahui, Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, mencetuskan salah satu principle of reaction yang dimaksud secara bijak sebagai asas tut wuri handayani.
Satu kenyataan yang pasti adalah bahwa tugas dan tanggung jawab guru sekolah dasar berbeda dengan guru di jenjang sekola selanjutnya. Guru sekolah dasar adalah guru kelas. Guru pada jenjang ini selalu dituntut menguasai pengetahuan yang luas mengenai beberapa mata pelajaran dan sejumlah besar keterampilan professional pembelajaran (Wragg, 1997). Guru sekolah dasar dituntut tidak hanya mampu menyajikan satu materi, melainkan mampu membangun kerangka pengajaran yang bermakna yang dalam interaksi kelasnya mampu menyajikan berbagai materi secara integrative berdasarkan kurikulum, serta mampu membangkitkan suasana kelas yang aktif yang mengarah kepada keberhasilan proses pembelajaran. Dalam konteks yang demikian ini, guru harus mengembangkan interaksi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan dan taraf perkembangan anak (Developmentally-Appropriate Practice, DAP). Ini berati bahwa pendidikan yang demokratis harus memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan secara aktif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan belajar, sifat, sikap, dan minatnya (Satori, 1995; Semiawan dan Joni, 2000).
Lebih lanjut disampaikan oleh beberapa pakar pendidikan bahwa dalam setiap interaksi pembelajaran tatap muka, tindakan pembelajaran guru tidak hanya dilakukan dengan menggunakan pola komunikasi verbal (bahasa verbal) tetapi juga menggunkan pola komunikasi non verbal (bahasa tubuh). Dengan demikian konteks komunikasi yang dikemukakan di dalam kelas sejalan dengan komunikasi sehari-hari (Olivia, 1985; Sanders, 1990; Richmond dkk, 1991). Bahasa verbal dan non verbal yang digunakan guru merupakan alat komunikasi strategis dalam interaksi pembelajaran antara guru dan siswa di kelas juga sarana tepat pengembangan pendidikan karakter bangsa. Dalam pandangan Thompson (1973), tindak verbal yang dikomplementasikan dengan tindakan non verbal dalam proses pembelajaran dapat memperjelas makna pernyataan verbal guru, membangkitkan motivasi, serta memicu berkembangnya rasa percaya diri siswa. Sebagai contoh, etika guru memberikan pujian kepada seroang siswa, dapat digunkan ungkapan verbal tertentu yang diikuti dengan gerakan non verbal, seperti mengacungkan jempol dengan ekspresi wajah yang simpatik, dan mengangguk tanda setuju. Pendapat Thompson ini diperkuat oleh Sadtono (1987) yang dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa proses komunikasi verbal yang dikuatkan dengan isyarat (signal) atau gerakan tertentu yang mereflesikan rasa simpatik dan impresif dapat membantu terciptanya suasana dan impresif dapat membantu terciptanya suasana pembelajaran yang memangkitkan aktivitas belajar siswa.
Tindak verbal dan non verbal ini pada gilirannya akan dapat membantu siswa dalam membangun konsep berbahasa dalam dirinya. Berbagai konsep tersebut terwdahi dalam kata, frasa, kalimat, dan wacana. Oleh karena itu, tindakan verbal dan non verbal guru dalam mengelola proses pembelajaran secara langsung akan meningkatkan perbendaharaan bahasa siswa.
Mengacu pada konteks kemampuan yang diuraikan di atas, Gaies (dalam Ellis, 1988;96) menyarangkan perlu adanya perbedaan pola komunikasi guru-siswa, orang dewasa-anak-anak, guru- teman sejawat. Dalam berkomunikasi dengan siswa sekolah dasar kelas rendah, guru harus menggunakan ragam bahasa yang sederhana, berinteraksi secaral ebih informal dan luwes (flexible) dan adaptif dengan lingkungan siswa. Dengan demikian kebermaknaan komunikasi dapat saling dipahami oleh guru dan siswa yang akhirnya mengarah pada proses pembelajaran yang efektif, yakni pembelajaran bahasa yang bukan saja menghasilkan seroang siswa yang terampil berbahasa baik lisan maupun tulis, melainkan pembelajaran bahasa yang dapat menciptakan siswa yang berkarakter dan cerdas.
Bila demikian permasalahannya, semakin jelaslah bahwa hasil dari proses pembelajaran di sekolah dasar termasuk pengembangan nilai budaya dan karakter bangsa yang akan dikuasai lebih baik jika proses pembelajaran yang diwujudkan dalam tindak pembelajaran guru dari hari ke hari mencakup berbagai pengalaman belajar. Berbagai pengalaman belajar yang dimaksud adalah pengalaman belajar yang mendidik dan kreatif yang tidak sebatas mengacu pada substansi GBPP saja, atau yang terjadi secara tradisional hanya dengan mendengarkan ceramah guru di dalam kelas (ruang belajar biasa) naun lebih kepada proses keterbentukan berbagai pengetahuan, ketrampilan, dan sikap, serta niali yang tersurat dan tersirat sebagai utuh pendidikan (Joni, 2000).
Lebih lanjut pembelajaran di sekolah dasar diupayakan juga dapat memfasilitasi terwujudnya mepat pilar pendidikan yang dicanangkan UNESCO, yakni, belajar mengetahui, belajar berbuat, belajar hidup bersama, dan belajar menjadi seseorang (Delors, 1996). Dengan mengacu empat sendi pendidikan yang dicanangkan UNESCO di atas, Tilaar (2002) mengemukakan empat sendi pendidikan tersebut dengan urutan sebagai berikut: belajar untu mengembangkan pengertian dan kesadaran diri yang siap menghadapi segala tantangan (learning to be), belajar untuk mencari tahu guna menguasai bidang ilmu (Learning to knowi), belajar melatih diri untuk memperoleh ketrampilan dalam menerapkan bidang ilmu (learning to do), dan belajar untuk dapat bermasyarakat (Learning to live together). Urutan keempat pilar tersebut tidaklah baku, melainkan bergantung pada cara pandang dan strategi yang dilakukan dalam mencapai suatu tujuan. Dalam praktik pembelajaran sains misalnya, tidak seharusnya guru memposisikan siswa hanya sebagai pendengar ceramah ibarat botol kosong yang perlu di isi ilmu pengetahuan. Melalui interaksi dengan lingkungannya baik fisik maupun social, siswa dapat membangun kepercayaan diri sekaligus membangun jati diri (learning to bei), sehingga mampu membangun pemahaman dan pengetahuan terhadap dunia disekitarnya (learning to know). Selanjutnya siswa diberdayakan agar mampu dan mau berbuat sesuatu untuk memperkaya dan mempraktikan pengalaman belajarnya tersebut (learning to do). Kesempatan berinteraksi dengan berabgai individu atau kelompok individu yang bervariasi, akan membentuk kepribadiannya untuk memahami serta menghargai kemajukan dan melahirkan sikap positif serta toleransi terhadak keanekaragaman dan perbedaan hidup (learning to live together) (Balitbang). Kesemuanya itu menceriminkan betapa pentingya menanamkan nilai budaya dan karakter bangsa pada setiap siswa.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar misalnya, beberapa nilai budaya dan karakter bangsa yang tepat untuk dikembangkan di antaranya: disiplin, mandiri, kreatif, kritis, empati, tanggung jawab, berbicara santun, penyayang, toleran, gotong royong. Pengembangan nilai-nilai terintegrasi dlaam amta pelajaran ini dapat dilakukan melalui kegiatan pembiasaan, pengembangan diri, dan budaya sekolah.
Contoh Skenario Implementasi Nilai-nilai Budaya dan Karakter Bangsa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia yang Mendidik di Sekolah Dasar
Pertama, Mengawali pembelajaran, guru mengucapkan salam kepada siswa. Selanjutnya, guru mengajak siswa bernyanyi bersama lagu-lagu yang telah dikenal siswa. Pilihan lagu diupayakan yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa, seperti contoh yang berikut ini.
KE SEKOLAH OH IBU DAN AYAH
SELAMAT PAGIKU PERGI
SEKOLAH SAMPAI KAN
NANTI SELAMAT BELAJAR NAK
PENUH SEMANGAT RAJINLAH
SELALU TENTU KAU
DAPAT HORMATI GURUMU
SAYANGI TEMAN ITULAH
TANDA KAU MURID
BUDIMAN (lagu 1)
KASIH IBU KASIH IBU, KEPADA
BETA TAK TERHINGGA
SEPANJANG MASA HANYA
MEMBERI TAK HARAP
KEMBALI BAGI SANG SURYA
MENYINARI DUNIA (lagu 2)
Kedua, setelah suasana kondusif tercipta, guru segera memulai kegiatan pembelajaran inti yakni bercerita atau membacakan sebuah cerita dengan topic yang menarik, sesuai dengan tingkat perkembangan bahasa dan kognisi siswa. Topic Keluarga Harmonis dapat disampaikan karena di dalamnya memuat pendidikan budaya dan karakter bangsa yang perlu dikenalkan dan ditanamkan pada siswa. Keluarga Harminis bercerita tentang sebuah keluarga yang meskipun dari sisi ekonomi termasuk keluarga kurang mampu, tetapi mereka dapat hidup rukun, damai, dan tampak sehat serta bahagia. Cerita yang dibawakan guru adalah cerita yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari siswa sekolah dasar, cerita yang bersifat “membumi” yang di dalamnya memuat nilai budaya dan karakter yang perlu dikembangkan sebagai dampak pengiring dari tujuan utama pembelajaran bahasa Indonesia. Seperti halnya lagu yang dibawakan pada awal kegiatan pembelajaran, cerita anak ini pun merupakan media dalam bahan pembelajaran yang sangat efektif.
Ketiga, untuk mengetahui apakah siswa benar-benar menyimak cerita guru dan memahami isinya, guru meminta beberapa siswa untuk memberikan komentar atau pendapat tentang jalan cerita, tokoh, atau pun peristiwa yang terjadi dalam cerita yang dibacakan. Kegiatan selanjutnya, dapat juga guru menugaskan kepada beberapa siswa untuk bermain peran, memerankan tokoh yang ada dalam cerita.
Keempat, pada akhir kegiatan pemeblajaran guru mengajak siswa bersama-sama merangkum inti pembelajaran yang baru saja dilakukan. Pada saat yang bersamaan, guru dapat memberikan penguata serta pesan mendidik yang sarat dengan nilai budaya dan karakter bangsa.
SIMPULAN
Pendidikan karakte didasarkan pada totalitas psikologis yang mencakup seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, psikomotorik) dan fungsi totalitas sosio kulutral pada konteks interaksi pembelajaran di kelas, dalam keluarga, satuan pendidikan serta masyarakat. Pembelajaran bahasa Indonesia yang mendidikan merupakan salah satu media yang dapat dijadikan sebagai wahana dalam mengembangkan nilai budaya dan karakter bangsa. Kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat menggunkan pendekatan belajar aktif sepert pendekatan belajar kontekstual, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis malasah, pembelajaran berbasis proyek, dan pembelajaran berbasis kerja. Hal ini perlu dipahami karena nilai budaya dan karakter bangsa tidak untuk diajarkan melainkan dikembangkan.
Daftar Rujukan
Borich, G.D. 1996. Effective Teaching Methods. New Jersey: Prentice Hall (Edisi Ketiga)
Curran, Charlie, A. 1976. Counseling- Learning in Secon Language. Apple River, III: Apple River Press.
Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Dasar. Garis-garis Besar Program Pengajar. Jakarta: Depdikbud.
Dick, W., and Carey, L. 1985. The Systematic Design of Instruction. England: Scott Foresman and Company.
Ghazali, Syukur. 2003. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Pendekatan Utuh: Kajian Teori dan Aplikasi. Universitas Negeri Malang: LP3.
Goodman, K. 1982. Whats, Whole in Whole Language.Poustmouth: Heinemann Educational ooks, Inc.
Joni, Raka. 2000. Juli-Agustus. Memicu Perbaikan Pendidikan Melalui Kurikulum. Basis: Edisi Khusus Pendidikan. No 07-08. Tahun ke-49, halaman 41-48.
Koendjono, Th. S. J. 1994. Menggalakkan Intelegensi Mahasiswa dengan Bhasa. Yogyakarta: JBSS Sanata Dharma.
Kristiantari, Rini. 2005. Konstribusi Tindakan Pembelajaran Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar: Disertasitidak diterbitkan. Malang: PPS.
Kristiantari, Rini. 1998. Pernyataan Guru dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar: Tesis tidak diterbitkan. Malang: PPS
Puskur, Balitbang Kemdiknas. 2010. Bahasa Pelatihan pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemdiknas.
Syafi’ie, Imam, 1999. Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Berdasarkan Kurikulum 1994 dalam Syafrawi (ed) Sekolah Dasar Kajian Teori dan Praktik Pendidikan.Malang: UPPPGSD.
Tilaar, H. A. R. 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalm Perspektif Abad ke-21. Magelang: Tera Indonesia.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Wragg. E. C. Ketrampilan Mengajar di Sekolah Dasar:Terjemahan oleh Anwar Yasin. 1997. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
.IN ENGLISH (with google translate Indonesian-english):
REFRACTION EFFORTS THAT CHARACTER IN CULTURAL LEARNING INDONESIAN
IN PRIMARY SCHOOL 1 WRINGINAOM Sambit-PONOROGO
Abstract: One of the efforts to implement the cultural values and national character in order to realize the vision of national development, can be done at the school through a series of learning activities. Indonesian language learning in primary schools which educate not only rely on the achievement of the objectives but rather the instructional semaata keterbentukan skilled individuals who speak, cultured, competent, independent, and polite in thought, spoken word, as well as a vehicle behaves exactly the development of value- cultural values and national character is expected. It was given the elementary school students are the future generation that must be guided and directed to individuals who are resilient in the face of challenges. Strategy implementation values in the nation's cultural fabric and character of Indonesian language learning teachers educate done with reference to the active learning, fun, and meaningful.
Key words: cultural values and character, learning Indonesian.
Learning is a complex activity that involves the whole person figure (whole person). Person's success in learning is determined by various factors, namely the mind, the body, and the emotions. As well as the need to eat and sleep, each person also needs to learn to education, both for himself and to help others.
In the era of information and globalization currently most people believe, education is seen sebaga mere intellectual process. In learning, the most decisive is the intellect (cognition). Humans are viewed as intellectual beings. Patterns of reasoning such as this should be abandoned, especially after Abraham Maslow's humanistic theory hum. In this theory was viewed as a human individual who not only has full intellectual capabilities, but also have an emotional reaction and somatic reactions (Curran, 1976).
Consistent with that view. Brown (1987) claims that humans are emotional creatures. The essence of mind, meaning, and action is emotion. This means that people are always influenced by emotion. Thus Definition of education that focuses on one or two dimensions will not result in a comfortable learning climate. Effective learning process and realized if all the individual dimensions that include dimensions of cognitive, affective, and psychomotor may be involved (to be addressed).
Which is often neglected dimension in human life, including education, is the affective dimension of the one-dimensional highly affect the growth and development of the cultural values and character of a nation in every student. As a result of lack of caring teachers in this dimension, the classroom atmosphere is always colored by tension or anxiety (on adult students), the emergence of student behaviors are not responsible plus noisier (on student children). It is obviously an impact on the learning activities are not running optimally.
In the Law of the Republic of Indonesia Number 20 of 2003 on National Education System (Education Law) and function formulated national education goals that must be used in order to develop education in Indonesia. Article 3 of the Law on National Education System says, "working to develop national education and character development and civilization of the nation's dignity in the context of the intellectual life of the nation, aimed at developing the potential of students to become a man of faith and fear of God Almighty, noble, healthy, knowledgeable , capable, creative, independent, and become citizens of a democratic and responsible ". National education goals it is a formulation of the quality of the Indonesian people that should be developed by each educational unit. Therefore, the formulation of national education goals into basic education in the development of culture and national character that implementation is integrated in each learning activity, in every subject, and in all educational units there is no exception Indonesian language learning in primary schools.
Therefore, learning Indonesian is important to educate Indonesian do remember learning in elementary school has a very strategic role. Indonesian language learning aims to provide basic skills provision Write-Read-Compute, as well as provide basic knowledge and skills that are beneficial to students according to their level of development. The role of the Indonesian teaching increasingly assertive main when linked with the function of Indonesian as a language of instruction in the field of education including elementary school. The Indonesian language is good and true for elementary school students will greatly assist them in following all the learning activities both Indonesian and other subjects subjects (Syafi'ie, 1994).
DISCUSSION
What is language?
Language is the expression or utterance human thoughts and feelings. Language used directly for generations. However, language is not the ability of a person due to heredity, but for learning. A child, not necessarily controlled master the language of their parents. Babies born to couples who originated from Java, for example, is not by itself able to speak without learning Java. If in the process of development, he is dealing with family due to Indonesian and Indonesian-speaking neighborhood where he lived, he would master the Indonesian language as the first language or mother tongue and not Javanese.
Mother tongue refers to the language in question acquired since birth, informally and naturally, without planning and go through a lot of teachers. Ibut language teachers do not use the baseline of the curriculum, not also use the various methods or theoretical basis. In contrast, if a person learns a second language, ktiga, fourth, and so on. Learning a second language and so on this. Generally performed after the child reaches a certain age, formal, planned, in time and with a certain teacher. Language and language learning occurs in the midst of social life. Speaking, listening, reading, and writing began and flourished along with the growth and development of her early age in his life intact. Language skills will be important to always be developed because of 3 reasons. First, as social beings instinctively humans need relationships with others. Second, learn the language needed to understand the world that are part of life. Third, learn the language necessary to express themselves.
Learning Indonesian in Primary Schools
Based on observations of teaching practices in elementary school, learning both the Indonesian and the other subjects of learning, learning Indonesian implementation has yet to take place optimally create skilled students language, culture, and character. Learning takes place conventionally observed the teacher handbook describes the materials and topics are taught, students listen, do chores, and collecting duties. In such a way as if the teacher and the handbook is a source of immediate information. The impact of all of that, the expected learning raises an active reciprocal interaction between teacher-student, student-student and student-teachers are rare. Such that in addition to learning how to not interesting and does not provide variation, also not foster creative ideas good student as one of the values that need to be developed. The results of this observation experience more real and true to the research findings Rofi'uddin, Rini (1990, 1995) on the Indonesian classroom interaction in elementary school that the 95% controlled by the interaction of the teacher in the classroom.
Although the Education Unit Level Curriculum as operational curriculum, curriculum leader who organized and carried out by the educational unit in place to overcome the weaknesses of previous curriculum, the facts on the ground, still commonly found in Indonesian language learning that language served as the grain is cut and the emphasis on learning about the language, language skills not fit the expected goals. If viewed from the perspective of the impact of the curriculum on isswa behavior after participating in learning, which basically exists only in the form of local curriculum meaningful learning experiences held by teachers from day to day. This means the use of any formal curriculum (Curriculum 1994, CBC, SBC) would be meaningless without a faithful translation in the field. Translation is faithful to the formal curriculum or curriculum eksperriensia operational deployments require a variety of learning experiences that educate (Joni, 2000). Learning experience that is reflected in the form of teacher acts that varied learning in the classroom.
In other words, tersampai educational message depends not on the material your message but rather on the mode of delivery. The impact of the process of delivering a message that should be utilized to realize the educational message is also important in terms of the purpose of education is precisely intact improper apaibila piker delivered only within the framework of content transmission model (Joni, 2000). Otherwise target the formation of cultural values and character of the nation as a systematic work habits, their social sensitivity, responsibility, leadership and speaking skills that should be realized as an accompanist or nurturant effect the impact of student involvement in various activities and events experienced by students learning.
To realize these expectations, experts suggest the use of language pembelahjaran approach which views reading and writing, speaking, and listening as an integral part. Therefore language must diajarka the whole way.
Whole language approach (whole language) is a renewal in the field of language learning. This approach seeks to empower both parties offender learning in the classroom is the teacher and especially language learning (students). With this approach language learners are expected to be more involved with the activities using the language in real life. The approach was developed on the basis of the findings of the study stated that learning a language that is natural. Learning a second language would be easier if language learners are invited to use the language in a real dangerous activities (authentic purpose), not to learn about the language that force students to memorize rules of language without engaging in the use of language related to student life fairy (Ghazali, 2003). With this approach students will easily develop language skills.
In the language learning process experienced by sisw in real life, it never occurred languages separated into smaller elements of language such as phonemes, morphemes, phrases, or sentences that stand alone. When children are in an environment of people who use the language meaningfully stated purpose, the child has been taught how to understand the speech of another person. And when the children want to express something to others, as he has been encouraged by the social environment to produce a narrative that can be understood by the people around him (Kristiantari, 2005)
To that end, Goodman (1986) believes that language learning in the classroom must be set off from the experience of learning that had been experienced by the students naturally. Teachers must present the language in a meaningful and intended use (whole language and involve; keeep children in using it functionally and purposefully to meet their own needs). Thus, students are invited to use the language learned in actual for their daily needs such as sending a letter to a friend, introduce yourself to a new friend or relatives, telling stories of food hardship, and vice versa.
Further Goodman (1982) states that language learning with this whole approach makes learning the language as a natural means of communication, as an active learning activities and creative, not passive learning activities because just listening to the teacher's explanation. Here are a number of characteristics that make pebelajaran be easy or difficult language for students.
Table 2.1 Distinguishing Characteristics of Language Learning in the Classroom
LANGUAGE LEARNING
SHOULD BE EASY TO BE DIFFICULT IF
• native language is not taught
• In the decomposition into parts that are not interconnected
• Lack of meaningful
• Boring / less attractive
• Not related to the students' world
• Not the students' own language
• Not related to the context
• Do not have a social value
• Not having a clear purpose
• Activities are not speaking directly involve children, both mental and social
• Forced by others, not on the basis of their own accord • Natural Language
• Whole like everyday language that students encounter
• Used in meaningful communication to discuss things of interest to students
• Topic discussed related to the student and his world
• Speaking of the real thing
• Beneficial for students in the community association
• Students accustomed to using language learned
• Students have the memories in speaking
(Source: Ghazali, 2003)
Education Culture and National Character
Character development is the realization of the mandate of the efforts of Pancasila and the Preamble to the Constitution of 1945 was motivated by the reality of a growing national problem today, such as: disorientation and yet dihayatinya Pancasila, the limitations of the integrated policy in realizing the principles of Pancasila shifting of values and ethics in the life of the nation state; waning awareness of the cultural values of the nation; threat of national disintegration, and the weakening of the nation's independence (Parent Book National Policy Development National Character 2010-2025). To support the realization of the ideals of character development as envisaged by the Preamble to the Pancasila and the 1945 Constitution as well as address the current national issues, the government made the development of character as one of the priorities of the national development program.
Associated with efforts to realize the educational character, the real thing is it is contained in function and purpose of national education, which "works to develop national education and character development and civilization of the nation's dignity in the context of the intellectual life of the nation, aimed at developing the potential of students to become human the faith and fear of God Almighty, noble, healthy, knowledgeable, skilled, creative, independent, and become citizens of a democratic and responsible "(Law of the Republic of Indonesia Number 20 Year 2003 on National Education System-UUSPN) .
On the basis of what has been stated above, character education is not just a name send in pursuit of right and wrong. Lebihdari it, is a character education effort instill good habits (habituation) so that learners are able to behave and act based on those values that have become his personality. In other words, a good implementation of character education should involve a good knowledge (knowing Morak), loving feeling good or good (moral feeling) and behavior (moral action) to form the embodiment of the unity of the behavior and attitudes of learners.
Character education aims to develop values that shape the character of the nation, namely Pancasila, include: (1) mengembangakn pserta potential students to become good-hearted, good thoughts, and good behavior, (2) build the nation's character Pancasila, (3) developing the potential of citizen in order to have a confident attitude, pride in the nation and the country and love of mankind.
Character education work (1) construct a multicultural national life, (2) building an intelligent civilization, noble cultured and able to contribute to the development of human life; basis in order to develop the potential to be a good, good thoughts, and good behavior and good example; (3) establish an attitude of peace-loving citizens, creative, independent, and able to live berdampngan with other nations in harmony. Character education is done through a variety of media, namely the family, educational unit, the community, government, business, and mass media (Puskur, 2011).
Has identified 18 cultural values and character bersumer of religion. Pancasila, culture, and national education goals, namely: (1) Religious, (2) fair, (3) tolerance, (4) discipline, (5) hard work, (6) creative (7) independent, (8) democratic , (9) curiosity, (10) the national spirit, (11) love tahanh water, (12) the achievements, (13) friends / communicative, (14) love peace, (15) likes to read, (16) care environment, (17) social care, (18) responsibility (Curriculum Center. Development and Culture and the National Character Education: Guidelines for Schools. 2009: 9-10).
Although it has formulated 18 national character-forming values, but educational unit can set priorities to continue the development of the value of pre Events that have been developed. The selection of the value of getting out of the interests and conditions of each educational unit, which is done through analysis of context, so it is possible there are differences in the implementation of a value type character that developed between the school and or region to another. Implementation of character values that will be developed can be started from the essential value, simple, easy to implement, such as: clean, neat, responsibility, discipline, and courtesy in speech.
Implementation of Cultural Values and National Character in Educating Learning Indonesian
Indonesian language learning in all educational units into the spotlight. This occurs when the percentage of the value obtained Indonesian students at the end of each exam national level has decreased. Because of the state's teachers are always designated as the scapegoat. Teacher is spearheading education, the only adults who were in the front guard on duty to open the door of success for students,
Guru is one important factor in the classroom and central locking occurs the success of a learning activity (Borich, 1996; Dick and Carey 1985). This notion is supported by Kundjono (19994-15) in the following statement "... the school is not just the building. It is not just a collection of textbooks and blackboards and notebooks. We can get an education without any of these, just as our ancestors did. The most important thing in the school is the teacher ".
Any new insights related to the act of learning that educates consequences for teachers to improve their competence and performance, because student learning outcomes will depend on the input and the learning experience that is reflected in the follow-learning teachers. Competent teachers will be able to create an effective learning environment and will be able to manage the class so that student learning outcomes are at an optimal level.
In addition to adequate technical competence, teachers should also be equipped with a set of educational principles consisting of principles of reaction which is based on an idea of human society and the desired future. In turn, this educational insights owner puts teachers in the position to make decisions appropriate education both in designing learning programs, but in managing the optimal learning environment for the attainment of educational goals intact (Joni, 2000). As known, Ki Hajar Dewantara, Mr. Pendidikan Indonesia, sparking one of the principle of reaction is wise as a principle wuri handayani tut.
One fact is certain is that the duties and responsibilities of the different elementary school teachers with teachers at school level next. Elementary school teachers are classroom teachers. Teachers at this level are always required to master a broad knowledge of several subjects and a large number of professional skills learning (Wragg, 1997). Elementary school teachers are required not only able to present the material, but was able to build meaningful teaching framework that is able to present in class interaction in a variety of materials integrative curriculum based, and able to generate active classroom atmosphere that leads to the success of the learning process. In such context, the teacher must develop according to the needs of the learning interaction and level of development of children (Developmentally-Appropriate Practice, DAP). This means that a democratic education must impose a variety of methods to explore the ability of students to play an active role, by recognizing differences in intellectual ability, speed of learning, personality traits, attitudes, and interests (Satori, 1995; Semiawan and Joni, 2000).
Further education delivered by some experts that in every interaction face to face learning, action learning of teachers is not only done by using a pattern of verbal communication (verbal language) but also use the pattern of non-verbal communication (body language). Thus communication is presented in the context of the classroom in line with the day-to-day communication (Olivia, 1985; Sanders, 1990; Richmond et al, 1991). Verbal and non-verbal language that teachers use a communication tool in the strategic interaction between teacher and student learning in the classroom also means proper development of the nation's character education. In view of Thompson (1973), which is complemented by a follow verbal non verbal actions in the learning process to clarify the meaning of verbal statements teacher, motivational, and led the development of students' self-confidence. For example, ethical seroang teacher gave praise to the students, can digunkan certain verbal expression followed by a non-verbal movements, such as the thumbs-up with a sympathetic expression, and nodded in agreement. This opinion was reinforced by Sadtono Thompson (1987) that the results of his research found that the process of verbal communication cues boosted (signal) or a certain movement that reflects the sympathetic and impressive sense can help create an impressive atmosphere and can help create a learning environment that memangkitkan student learning activities .
Verbal and non-verbal acts in turn will be able to assist students in developing the concept in her language. Various concepts terwdahi in words, phrases, sentences, and discourse. Therefore, verbal and non-verbal actions of teachers in managing the learning process will directly improve student vocabulary.
Refers to the ability of the context described above, Gaies (in Ellis, 1988: 96) scored the need for different patterns of teacher-student communication, adult-child, teacher-colleagues. In communicating with low-grade elementary school students, teachers must use a variety of simple language, interact informally secaral ore and supple (flexible) and adaptive to the student environment. Thus the significance of communication can be mutually understood by teachers and students that ultimately leads to effective learning process, learning the language that not only produce students who are skilled seroang both oral and written language, but that language learning can create a character and intelligent students.
If so the problem, it becomes clear that the outcome of the learning process in primary schools including the development of cultural values and national character which would be better controlled if the learning process is embodied in acts of teacher learning from day to day includes a variety of learning experiences. Variety of learning experiences is a learning experience that educates and creative are not limited to referring to the substance GBPP alone, or that traditionally occur only by listening to teachers lecture in class (regular classroom) naun keterbentukan more to process a variety of knowledge, skills, and attitude, as well as the explicit and implicit niali as a whole education (Joni, 2000).
Further learning in primary schools also sought to facilitate the realization of mepat pillars of UNESCO for education, namely, learning to know, learning to do, learning to live together, and learning to be a person (Delors, 1996). With reference to the four joint UNESCO for education above, Tilaar (2002) suggested four joints such education in the following order: learn untu develop understanding and self-awareness are ready to face any challenge (learning to be), learn to find out to master the field science (Learning to knowi), learn to train themselves to acquire skills in applying science (learning to do), and learning to be a society (Learning to live together). The fourth pillar is not raw, but depends on the perspective and strategies undertaken to achieve an objective. In the practice of science learning for example, teachers should not only as a listener positioned students talk like empty bottles that need to be in the content of science. Through interaction with both physical and social environment, students can build confidence while building self (learning to bei), so as to build understanding and knowledge of the world around them (learning to know). Furthermore students are empowered to be able and willing to do something to enrich the learning experience and practice (learning to do). Opportunity to interact with individuals or groups of individuals berabgai varied, will form a personality to understand and appreciate the positive attitude kemajukan and childbirth as well as tolerance of diversity and difference terhadak life (learning to live together) (Research and Development). All of them menceriminkan how the importance of instilling cultural values and national character in every student.
In the Indonesian language learning in primary schools for example, some of the nation's cultural values and character appropriate to be developed including: discipline, independent, creative, critical, empathy, responsibility, talk mannered, compassionate, tolerant, mutual cooperation. Development of integrated values AMTA dlaam this lesson can be done through habituation, self-development, and school culture.
Examples of Implementation Scenarios Cultural Values and National Character in Educating Indonesian Learning in Primary Schools
First, Venturing learning, teachers greeting students. Furthermore, the teacher invites students to sing along the songs that have been known to students. Option pursued song laden with cultural values and national character, as the following example.
OH TO SCHOOL MOTHER AND FATHER
CONGRATULATIONS my morning GO
SCHOOL TO KAN
CONGRATULATIONS TO LEARN LATER NAK
FULL OF SPIRIT rajinlah
OF COURSE YOU ALWAYS
CAN RESPECT your teacher
Dear FRIEND THAT
SIGNS YOU STUDENTS
BUDIMAN (track 1)
MOTHER LOVE YOU MOM, TO
BETA infinity
ALL TIME ONLY
PLEASE DO NOT GIVE
BACK TO THE SOLAR
Irradiate WORLD (track 2)
Second, after a conducive atmosphere is created, the teacher immediately start telling the core learning activity or read a story with an interesting topic, according to the level of students' language development and cognition. Topic Family Harmony can be delivered because it contains educational and cultural character of the nation that need to be introduced and inculcated in students. Harminis family tells the story of a family that despite the economic side including underprivileged families, but they can live in harmony, peace, and looks healthy and happy. The story that brought teachers are stories relating to everyday life elementary school students, a story that is "grounded" in which cultural values and contains characters that need to be developed as an accompanist impact of the main objectives of learning Indonesian. As well as songs performed at the beginning of learning activities, children's story in the media is also a very effective learning materials.
Third, to determine whether students really listen to stories of teachers and understand its contents, the teacher asked some students to provide comments or opinions about the storyline, characters, or events that occur in the stories read. The next activity, the teacher can also assign the students to play multiple roles, playing the character in the story.
Fourth, at the end of the activity the teacher invites students pemeblajaran together encapsulate the core learning just done. At the same time, teachers can provide penguata and educate messages laden with cultural values and national character.
Conclusion
Education based on the totality of psychological chara covering all potential human individual (cognitive, affective, psychomotor) and function in the context of the totality of socio kulutral learning interactions in the classroom, in the family, education and community units. Educate Indonesian language learning is one medium that can be used as a vehicle for the promotion of cultural values and national character. Learning activities within the framework of character development that learners can use the active learning approach sepert contextual learning approach, cooperative learning, malasah based learning, project-based learning and work-based learning. It is important to understand because of cultural values and national character are not to be taught but developed.
List of References
Borich, G.D. , 1996. Effective Teaching Methods. New Jersey: Prentice Hall (Third Edition)
Curran, Charlie, A. , 1976. Counseling-Learning in Secon Language. Apple River, III: Apple River Press.
Department of Education. , 1994. Basic Education Curriculum. Outlines of Teaching Program. London: Department of Education.
Dick, W., and Carey, L. , 1985. The Systematic Design of Instruction. England: Scott Foresman and Company.
Ghazali, Gratitude. , 2003. Learning Indonesian with Whole Approach: Theory and Application Studies. State University of Malang: LP3.
Goodman, K. 1982. Whats, Whole in Whole Language. Poustmouth: Heinemann Educational ooks, Inc..
Joni, Raka. In 2000. July to August. Triggering Repair Education Through Curriculum. Base: Special Edition Education. No. 07-08. Year-to-49, pages 41-48.
Koendjono, Th. S. J. , 1994. With Promote Intelligence Students Bhasa. Yogyakarta: JBSS Sanata Dharma.
Kristiantari, Rini. , 2005. Contribution Actions Learning in Learning Indonesian Teachers in Primary Schools: Unpublished dissertation. Malang: PPS.
Kristiantari, Rini. , 1998. Statement of Learning Indonesian Teachers in Primary Schools: Unpublished Thesis. Malang: PPS
Puskur, Research MONE. 2010. Language Training and Cultural development and National Character. Jakarta: Ministry of National Education.
Syafi'ie, Imam, 1999. Learning Indonesian in Elementary School Based Curriculum 1994 in Syafrawi (ed) Primary School Assessment Theory and Practice Pendidikan.Malang: UPPPGSD.
Tilaar, H. A. R. , 1999. Some National Education Reform Agenda preformance 21st Century Perspective. Magelang: Tera Indonesia.
Law Number 20 Year 2003 on National Education System
Wragg. E. C. Skills Teaching in Primary Schools: Translation by Yasin Anwar. , 1997. New York: Scholastic Widiasarana Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar