Makalah Ekologi

PENDAHULUAN

Permasalahan lingkungan hidup mendapat perhatian penting di hampir seluruh negara di dunia pada dasawarsa 1970 an. Hal ini terjadi setelah diadakan Konperensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm pada tahun 1972. Terdapat kesan bahwa masalah lingkungan ialah sesuatu yang baru. Padahal sebenarnya, permasalahan tersebut sudah ada sama dengan umur kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karena itu faktor yang sangat penting dalam permasalah lingkungan hidup ialah besarnya populasi manusia. Pertumbuhan populasi manusia yang cepat, menyebabkan kebutuhan akan pangan, bahan bakar, pemukiman dan kebutuhan lain serta limbah domestik meningkat dengan pesat. Perubahan manusia yang cepat dan besar cenderung mengakibatkan perubahan yang besar pula dalam lingkungan hidup.

Permasalahan lingkungan hidup menjadi besar karena kemajuan teknologi. Akan tetapi yang perlu diingat bahwa teknologi bukan saja sebagai penyebab kerusakan lingkungan, tapi diperlukan pula untuk mengatasi lingkungan hidup. Pertumbuhan populasi manusia menyebabkan timbulnya permasalahan lingkungan, seperti: kerusakan hutan, pencemaran, erosi dan lain-lain; karena manusia selalu berinteraksi (inter-related) dengan makhluk hidup lainnya dan benda mati dalam lingkungan. Hal ini dilakukan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, dalam rangka mempertahankan jenis dan keturunannya.

Pemenuhan kebutuhan manusia dapat terpenuhi karena adanya pemanfaatan lingkungan yang berbentuk pengelolaan lingkungan hidup. Melalui pengelolaan lingkungan hidup, terjadi hubungan timbal balik antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Ini berarti menunjukkan ada keterkaitan dengan konsep ekologi, terutama tentang konsep hubungan timbal balik (inter-related) antara lingkungan biofisik dengan lingkungan sosial. Oleh karena itu setiap kita membicarakan lingkungan hidup, maka konsep ekologi akan selalu terkait, sehingga permasalahan lingkungan hidup tidak lain adalah permasalahan ekologi itu sendiri (Riberu, 2002).


PEMBAHASAN

A. Konsep Ekologi

Ekologi adalah ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup. Ekologi bermakna hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup yang lain dan dengan benda mati di sekitarnya. Oleh karena Manusia sebagai makhluk hidup maka keberadaan dan kesejahteraannya tergantung pada kelangsungan perikehidupan makhluk hidup yang lain. Jadi kerumah tanggaan manusia akan berhasil dikelola dengan baik apabila kerumah tangga makhluk hidup secara keseluruhan dapat dikelola dengan baik (Soerjani et al., 2008). Lebih jauh dikemukan bahwa ekologi mencoba memahami seluruh aktivitas, proses, keterkaitan dan interaksi antar satu komponen dengan komponen lainnya dan dengan spesies lain, toleransi makhluk hidup menghadapi keterbatasan dan perubahan, dan bagaimana individu-individu dalam spesies sebagai bagian dari populasi atau komunitas mengalami pertumbuhan.

Di alam, suatu organisma tidak dapat hidup sendiri. Untuk kelangsungan hidupnya suatu organisme akan sangat bergantung pada kehadiran organisme lain dan berbagai komponen lingkungan yang ada disekitarnya. Kehadiran organisme lain dan berbagai komponen lingkungan sangat dibutuhkan untuk keperluan pangan, perlindungan, pertumbuhan, perkembangan dan sebagainya. Hubungan antar organisme atau dengan lingkungannya akan sangat rumit dan kompleks, mereka saling berinteraksi satu sama lain dari suatu populasi dengan berbagai aspek didalamnya (organisme-organisme) dengan lingkungannya yaitu mencakup pula seluruh hal di luar organisme yang bersangkutan. Tidak hanya cahaya, suhu, curah hujan, kelembaban dan topografi namun juga parasit, predator dan kompetitor (http://staff.ui.ac.id/internal/131661520/material/). Secara keseluruhan interaksi antara organisme dengan lingkungan membentuk suatu sistem sistem ekologi atau yang dikenal sebagai ekosistem (http://eprints.ums.ac.id/553/1/1.). Lebih jauh dikemukanan oleh Riberu (2002), di dalam ekologi arus transaksi dalam suatu komunitas atau beberapa komunitas merupakan hal penting, ialah berupa materi, energi dan informasi.

Secara konsep pengelolaan lingkungan hidup bersifat Antroposentris, artinya perhatian utama dikaitkan dengan kepentingan manusia. Kelangsungan hidup suatu jenis tumbuhan atau hewan, dikaitkan dengan peran tumbuhan dan hewan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, baik secara material (bahan makanan) maupun non material (keindahan, estetika dan nilai ilmiah). Oleh karena itu kelangsungan hidup manusia dalam lingkungan hidup sangat dipengaruhi oleh unsur biotik (tumbuhan dan hewan) dan unsur abiotik (tak hidup).

Menurut Odum (1979), lingkungan hidup didasari oleh beberapa konsep ekologi dasar, seperti: biotik, abiotik, ekosistem, produktivitas, biomass, hukum thermodinamika I dan II, siklus biogeokimia dan konsep faktor pembatas. Selanjutnya di dalam komunitas terdapat konsep biodiversitas, konsep carrying capacity (daya dukung) dalam populasi, konsep distribusi dalam populasi dan konsep suksesi dan klimaks dalam interaksi. Satuan dasar ekologi ialah ekosistem atau sistem ekologi. Ekosistem adalah satuan kehidupan yang terdiri dari suatu komunitas makhluk hidup dengan berbagai benda mati yang berinteraksi membentuk suatu sistem. Ekosistem memiliki ciri terjadinya pertukaran materi dan transformasi energi yang secara keseluruhan berlangsung di antara berbagai komponen dalam sistem itu sendiri dan dengan sistem lain di luarnya. Kehidupan berproses dalam berbagai fenomena kehidupan berdasarkan prinsip, tatanan, dan hukum alam atau ekologi, seperti: homeostasis (keseimbangan), resillience (kelenturan), kompetisi, toleransi, adaptasi, suksesi, evolusi, mutasi, hukum minimum dan hukum entropi. 


B. Konsep Keserasian Dalam Alam (Lingkungan)

Sumber alam ialah segala sesuatu yang memungkinkan organisme hidup untuk meningkatkan pengubahan energi (Watt, 1973 dalam Soeriaatmadja, 1997). Sumber Daya Alam adalah semua kekayaan bumi, baik biotik maupun abiotik yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan kesejahteraan manusia, misalnya: tumbuhan, hewan, udara, air, tanah, bahan tambang, angin, cahaya matahari, dan mikroba (jasad renik).

Alam memiliki sifat yang beraneka ragam, namun serasi dan seimbang. Oleh karena itu, perlindungan dan pengawetan alam harus terus dilakukan untuk mempertahankan keserasian dan keseimbangan tersebut. Semua kekayaan yang ada di bumi ini, baik biotik maupun abiotik, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia merupakan sumber daya alam. Tumbuhan, hewan, manusia, dan mikroba merupakan sumber daya alam hayati, sedangkan faktor abiotik lainnya merupakan sumber daya alam nonhayati. Pemanfaatan sumber daya alam harus diikuti oleh pemeliharaan dan pelestarian karena sumber daya alam bersifat terbatas.

Manusia di dalam kehidupannya tidak terlepas dari berbagai kebutuhan. Kebutuhan tersebut secara umum dapat dibagai menjadi , yaitu: 1) kebutuhan dasar ialah kebutuhan mutlak berupa sandang, pangan, papan dan udara bersih, dan 2) kebutuhan sekunder ialah segala sesuatu yang diperlukan untuk dapat lebih menikmati hidup berupa rekreasi, pendidikan, transportasi dan hiburan. Setiap orang memandang dan memenuhi kebutuhannya berbeda-beda, dipengaruhi oleh faktor ekonomi, pertimbangan kebutuhan, sosial budaya dan waktu. Semakin tinggi tingkat pemenuhan kebutuhan untuk kelangsungan hidup, maka semakin baik pula mutu hidup. Derajat pemenuhan kebutuhan dasar manusia dalam kondisi lingkungan disebut mutu lingkungan. Keinginan manusia terhadap sumber daya untuk memenuhi Kebutuhan dasarnya dibatasi oleh daya dukung lingkungannya, yaitu ketersediaannya di alam dan adanya cukup ruang untuk hidup pada tingkat kestabilan sosial tertentu. Daya dukung lingkungan dalam hal ini dapat dinyatakan sebagai kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan semua makhluk hidup.

Penyebaran sumber daya alam di bumi ini tidaklah merata letaknya. misalnya ada bagian bagian bumi yang sangat kaya akan mineral, ada pula yang tidak. Ada yang baik untuk pertanian ada pula yang tidak. Oleh karena itu, agar pemanfaatannya dapat berkesinambungan, maka tindakan eksploitasi sumber daya alam harus disertai dengan tindakan perlindungan. Pemeliharaan dan pengembangan lingkungan hidup harus dilakukan dengan cara yang rasional antara lain adalah sebagai berikut:
  • Memanfaatkan sumber daya alam yang dapat diperbaharui dengan hati-hati dan efisien, misalnya: air, tanah, dan udara.
  • Menggunakan bahan pengganti, misalnya hasil metalurgi (campuran).
  • Mengembangkan metoda menambang dan memproses yang efisien, serta pendaurulangan (recycling).
  • Melaksanakan etika lingkungan berdasarkan falsafah hidup secara damai dengan alam.
Alam merupakan suatu kesatuan, terdiri dari banyak bagian, seperti organisme dengan organ-organnya. Semua bagian berjalan dalam harmoni, saling melayani dan berbagi. Tiap organ memiliki peran masing-masing, saling melengkapi dan memberikan sinergi untuk menghasilkan keseimbangan secara optimal, dan berkelanjutan. Setiap komponen tidak berpikir dan beraksi hanya demi ‘aku’, tetapi untuk ‘kita’: keseluruhan alam. Demikian halnya Alam, melindungi dan mengayomi bagian-bagiannya secara harmonis. Serasi dengan alam secara etika artinya ialah pengubahan sikap, paradigma cara berpikir superioritas manusia terhadap alam, tidak ada anggapan manusia berkuasa terhadap makhluk lain. Sehingga apa yang diekspresikan atau dikreasikan di alam adalah memanfaatkan energi yang bebas beredar, relatif tidak berbahaya, melalui pemanfaatan sumberdaya alam, dengan tidak meniadakan bentuk kehidupan lain di alam. Tindakan selaras alam yang dapat dilakukan adalah dengan pengubahan cara hidup, berupa tindakan untuk mulai berbuat sesuatu sekecil apapun dalam efisiensi energi di kehidupan sehari-hari, tanpa mengorbankan sesuatu yang bernilai.

Pembangunan dalam prakteknya seharusnya diarahkan pada Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah : (a) tercapainya keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup; (b) terwujudnya manusia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup; (c) terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; (d) tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup; (e) terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana.


C. Peran Ekologi Dalam Keserasian Alam

Ekologi berkembang karena adanya interaksi manusia (man and culture) dan alam (nature), yang sebenarnya telah berlangsung sejak sejarah mencatat eksistensi kehidupan di planet bumi ini. Ilmu ekologi berkaitan dengan manusia dibutuhkan kehadirannya dalam dunia ilmu pengetahuan, dikarenakan kemampuannya dalam memberikan landasan teoretik dan konseptual yang berguna untuk memaknai dan memahami fenomena dan fakta hubungan interaksional manusia dan alam serta perubahan sosial dan ekologis (ecological change) yang terjadi di alam. Perubahan ekologis itu, terutama berkenaan dengan munculnya destabilitas ekosistem sejak terjadinya penurunan jumlah dan kualitas sumberdaya alam oleh karena meningkatnya jumlah populasi dan kualitas aktivitas manusia. Perubahan ekologis adalah dampak yang tidak dapat dielakkan dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran (exchange). Proses pertukaran itu sendiri melibatkan energi, materi dan informasi yang saling diberikan oleh kedua belah pihak (kedua sistem yang saling berinteraksi). 

Manusia meminta materi, energi dan informasi dari alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup (pangan-sandang-papan atau sustenance needs) mereka. Sementara itu alam, lebih banyak mendapatkan energi, materi dan informasi dari manusia dalam bentuk waste and pollutant (termasuk radio-active waste) yang lebih banyak mendatangkan kerugian bagi kehidupan seluruh penghuni planet bumi. 

Secara keseluruhan mekanisme-mekanisme adaptif (adaptive mechanism) tersebut menghasilkan akibat yang sama, yaitu: cenderung terus-menerus menggerus sumberdaya alam secara cepat, memperlemah daya dukung lingkungan (weakening the carrying capacity of the ecosphere) yang mengarah pada terjadinya krisis ekologi (ecological crisis) secara berkepanjangan. Krisis ekologi di planet bumi yang sangat tampak nyata itu antara lain ditunjukkan oleh situasi seperti: (1) kelangkaan sumber pangan yang mengakibatkan bencana kelaparan dan insiden gizi-buruk yang makin meluas; (2) kelangkaan sumber energi, pasca habisnya fossil-fuel energy yang makin serius; (3) pemburukan kualitas kehidupan akibat polusi dan ledakan penduduk di atas habitat yang makin sempit (4) eskalasi erosi, banjir, dan longsor akibat ekspansi kegiatan manusia hingga ke kawasan rawan bencana alam, (5) biodiversity loss akibat eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, dan last but not least (6) kriminalitas, perilaku menyimpang, dan masalah sosial lain akibat tingginya kompetisi karena terbatasnya relung kehidupan yang memadai bagi kehidupan lestari.

Dalam kehidupan, manusia memerlukan udara (O2) serta sumber protein nabati dan hayati sebagai sumber kelangsungan hidupnya. Oleh karenanya telah sejak lama manusia memanfaatkan ekosistem hutan/taman sebagai penyedia energi dan materi manusia. Untuk memperoleh O2, dan sumber proteinnya manusia mengembangkan berbagai macam cara dan peralatan (teknologi) memperoleh/menghasilkan sumber-sumber tersebut. Praktek bertanam pohon yang telah berlangsung berabad-abad memberikan pelajaran-asli (indigenous knowledge) yang berguna bahwa, bentuk pohon, jenis pohon atau jenis tanaman akan memberikan kehidupan bagi makhluk hidup lain. Karenanya masuk hutan dan menebang pohon dan mengambil buah sembarangan dalam suku Baduy dilarang, karena akan membahayakan populasi keseluruhan jenis pohon dan hewan (ekosistem) yang ada (Gunggung, 2003). Sedang bagi komunitas Karampuang di Sulawesi lembaga adat melarang memukul tandang buah enau pada saat dewan adat belum bangun, jangan pula memukul tandang buah enau pada saat ayam sudah masuk kandangnya, yang memiliki makna jangan menyadap enau di pagi hari dan jangan pula menyadap enau di petang hari. Hal tersebut merupakan himbauan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, khususnya hewan dan burung, karena menyadap pohon enau pada pagi hari dikhawatirkan akan mengganggu ketentraman beberapa jenis satwa yang bersarang di pohon enau tersebut, demikian pula pada sore hari akan menggangu satwa yang akan kembali ke sarangnya (Andi dan Syarifuddin, 2007). 

Dari perspektif dinamika kependudukan, krisis ekologi bermula dari jumlah penduduk manusia di planet bumi yang terus meningkat secara signifikan (dua milyar jiwa di akhir abad 19 menjadi sekitar enam milyar jiwa di akhir abad 20). Ledakan populasi manusia itu menyebabkan interaksi manusia dan alam mengalami dinamika yang luar biasa. Dinamika itu menghasilkan perubahan status stabil ke status instabil sebuah ekosistem yang sangat cepat, dimana sebagai konsekuensinya alam mengalami tekanan ekologis yang luar biasa atas

perubahan-perubahan tersebut. Destabilitas kesetimbangan ekosistem itu bisa dijelaskan oleh sifat hubungan interaksional antara manusia dan alam yang lebih banyak berada dalam mekanisme pertukaran yang timpang dibandingkan beberapa abad yang lalu manakala jumlah penduduk masih terbatas. Makin terbatasnya ruang kehidupan (Lebensraum) sebagai akibat tekanan penduduk, telah memaksa manusia untuk mengembangkan proses pemanenan energi dan materi yang semakin eksploitatif. Alam dipaksa untuk terus berkompromi terhadap kehadiran manusia yang semakin berlipat jumlahnya. Dua akibat yang pasti dari proses ini adalah: kehancuran lingkungan dan kemiskinan.

Dari perspektif developmentalisme, modernitas peradaban yang disongsong melalui strategi pertumbuhan telah menumbuhkan growth-mania-syndrome hampir di seluruh negara di dunia. Sindroma ini telah memaksa pemerintahan di setiap negara memacu pembangunan melalui eksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran dan habis-habisan tanpa mengindahkan usaha konservasi secara seimbang. Dalam hal ini alam dipandang sebagai energi-pembangunan yang seolah memiliki kemampuan tak terbatas. Dalam suasana greediness seperti itu, semua tatanan kelembagaan, norma-norma dan nilai-nilai yang mengatur “tatakrama berperilaku” (etika-moral keberpihakan) terhadap alam diterabas dan tidak dihiraukan lagi keberadaannya. Semua ini dilakukan karena, manusia perlu hidup dan meneruskan eksistensi (survival) mereka. Perilaku eksploitatif-manipulatif itu menyebabkan ko-eksistensi manusia dan alam (kehidupan bersama manusia dan alam) kini berada dalam relasi kekuasaan (power relation) yang tidak setara. Proses penyesuaian “organisasi sistem kehidupan” yang harus dilakukan secara cepat, telah menyebabkan mekanisme pertukaran berlangsung dalam suasana chaotic-organization dimana alam semata-mata menjadi obyek kooptasi, dominasi dan pemuasan kebutuhan manusia tanpa ada ruang dan waktu yang mencukupi baginya untuk meregenerasi dan memberdayakan kemampuannya di alam. Artinya, harkat dan martabat alam menjadi sangat rendah saat berhadap-hadapan (vis a vis) dengan martabat manusia. Proses pertukaran materi, energi dan informasi antara alam dan manusia tak hanya menjadi tidak setara (inequal) lagi, namun juga makin multi-dimensional (melibatkan faktor-faktor yang tidak sederhana: sosial, politik, ekonomi, teknologi, dan budaya) serta menghasilkan ekses-ekses yang dampaknya tidak saja lokal, melainkan juga global.

Dalam sebuah rumahtangga alam, selalu terkandung asumsi bahwa kondisi internal suatu sistem ekologi (ekosistem) akan senantiasa berada dalam kondisi yang dinamis atau berubah-ubah sesuai bekerjanya kekuatan-kekuatan pengaruh alam (lingkungan atau environment) dan living organism (terutama manusia) dalam melakukan aktivitas. Pertumbuhan penduduk yang berjalan sangat pesat dan mengarah pada krisis pangan merupakan kekhawatiran pertama tentang kelangsungan hidup umat manusia di planet bumi. Setelah itu, industrialisasi yang memproduksi berbagai sampah berbahaya dan mengancam status kesehatan manusia menjadi ancaman berikutnya. Kehancuran ekosistem hutan, tanah, udara dan air sebagai akibat tekanan penduduk yang makin tinggi serta aktivitas ekonomi yang sangat eksploitatif, merupakan keprihatianan komunitas dunia yang juga dirasakan meluas.

Dalam hal ini, krisis ekologi global yang menghantui banyak orang adalah berlangsungnya proses-proses technometabolism – proses pengubahan bahan dan materi melalui sentuhan teknologi yang rakus energi – yang terjadi pada masyarakat industri maju. Berbeda dengan natural metabolism, proses produksi industrial itu mengandalkan input materi, bahan baku dan sumberdaya alam serta energi extra-tinggi (yang didatangkan dari luar sistem ekologi setempat) dan sekaligus menghasilkan sampah beracun yang sangat membahayakan eksistensi bumi dan isinya. Proses-proses produksi berlangsung dalam suasana heavy-pressure on ecosystem, dimana aktivitas pertukaran dan perekonomian dilangsungkan melalui platform kelembagaan ekonomi korporatisme-kapitalisme yang sangat rakus terhadap sumber energi tak terbarukan. Tiga sub-sistem (biologi, sosial, dan ekologi) yang ditelaah pada sistem “masyarakat konsumsi energi tinggi” menunjukkan kecenderungan-kecenderungan yang mengkhawatirkan bila dibandingkan dengan “masyarakat berburu dan meramu ataupun pertanian tradisional”.

Semua parameter pada masyarakat konsumsi energi tinggi mengarah pada percepatan tercapainya doomsday scenario (skenario kiamat) bagi planet bumi. Industri-industri berteknologi modern yang sangat rakus energi di kebanyakan negara-negara maju, setiap hari menghasilkan karbondioksida 12000 kali lebih besar daripada apa yang dihasilkan oleh masyarakat pertanian di seluruh planet bumi. Dampak langsung yang ditimbulkan adalah green-house effect (pemanasan global), produksi CFC (Chlorofluorocarbons) berlebihan, sampah industri berbahaya termasuk sampah nuklir, dan munculnya berbagai degenerative and infectious diseases bagi semua mahluk di planet bumi akibat aktivitas industri padat energi.

Berkaca pada berbagai permasalahan diatas bahwa agar ekologi dapat serasi dan selaras dengan lingkungannya maka kita harus dapat menilai kualitas ekologi yang dimiliki oleh suatu tapak, melalui derajat penilaian yang menggambarkan status keadaan yang dimiliki oleh lingkungan tersebut. Status keadaan lingkungan disebut baik jika nilai kualitasnya tinggi dan sebaliknya. Penilaian kualitas ekologi suatu tapak memerlukan indikator yang berasal dari komponen ekologi. Komponen ekologi merupakan indikator yang dapat diukur secara kuantitatif atau dijelaskan secara kualitatif. Komponen tersebut ialah siklus energi, kestabilan lingkungan abiotik, daya lenting (balik) lingkungan, suksesi ekologi, biodiversitas, nilai unik tapak, dan kestabilan spesies (Thompson dan Steiner, 1997).

Lingkungan alam memiliki suatu keteraturan. Lingkungan hidup disadari atau tidak oleh kita, memiliki kemajemukan pola, organisasi dan hubungansatu sama lain. Pola keteraturan disadari, karena unsur-unsurnya dapat diduga sebelumnya. Manusia dengan berbagai keterbatasan panca inderanya (pandangan mata dan dan penglihatan) dapat mengantisipasi alam melalui berbagai cara, walaupun umumnya mengandalkan pada generalisasi pengalamannya dimasa lampau. Manusia dengan pandangan mata dan pendengarannya, seringkali lupa bahwa makhluk hidup lain memandang lingkungan hidup berbeda dengan apa yang manusia pandang. Setiap orang dapat melihat dan mendengar di lingkungan sekitarnya, mencium bau tanpa sengaja dan memiliki cita rasa yang tidak tajam. Manusia juga telah biasa menginterpretasi fenomena alam lingkungan hidup di sekelilingnya sebagai sesuatu yang biasa terjadi. Kemampuan manusia memahami fenomena alam dibatasi oleh pengetahuan tentang alamnya serta skala ruang dan waktu. Pemahaman manusia terhadap lingkungannya karena indera manusia banyak dibantu oleh pemanfaatan teknologi. Manusia semakin sadar bahwa kegiatannya memiliki dampak terhadap lingkungan alam, tetapi manusia harus tahu bahwa dia merupakan bagian dari lingkungan. 

Perilaku manusia terhadap lingkungan disebabkan karena perilaku manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor dasar, pendukung, pendorong dan persepsi, serta faktor lingkungan baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, seperti pada Gambar 1. Di antara faktor-faktor pengaruh adalah faktor dasar, yang meliputi pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat. Faktor pendukung meliputi pendidikan, pekerjaan, budaya dan strata sosial. Sebagai faktor pendorong meliputi sentuhan media massa baik elektronik maupun tertulis, penyuluhan, tokoh-tokoh agama dan masyarakat. Sejauh mana penyerapan informasi oleh seseorang tergantung dimensi kejiwaan dan persepsi terhadap lingkungan, untuk selanjutnya akan direfleksikan pada tatanan perilakunya. (Ritohardoyo, 2006).

Selanjutnya tatanan perilaku seseorang dapat digambarkan dalam suatu daur bagan, yaitu rangkaian unsur hubungan interpersonal, sistem nilai, pola pikir, sikap, perilaku dan norma (Ronald, 1988 dalam Ritohardoyo, 2006). Pada dasarnya manusia sebagai anggota masyarakat sangat tergantung pada lahan dan tempat tinggalnya. Di sini terdapat perbedaan antara lahan dan tempat tinggal. Lahan merupakan lingkungan alamiah sedangkan tempat tinggal adalah lingkungan buatan (binaan). Lingkungan binaan dipengaruhi oleh daur pelaku dan sebaliknya (Gambar 2 dan 3.).

Dalam pengelolaan lingkungan hidup kita juga membutuhkan moralitas yang berarti kemampuan kita untuk dapat hidup bersama makhluk hidup yang lain dalam suatu tataran yang saling membutuhkan, saling tergantung, saling berelasi dan saling memperkembangkan sehingga terjadi keutuhan dan kebersamaan hidup yang harmonis. Refleksi moral akan menolong manusia untuk membentuk prinsip-prinsip yang dapat mengembangkan relasi manusia dengan lingkungan hidupnya. Manusia harus menyadari ketergantungannya pada struktur ekosistem untuk dapat mendukung kehidupannya itu sendiri. Manusia harus dapat beradaptasi dengan lingkungan hidup yang menjadi tempat ia hidup dan berkembang (Mateus dalam Sunarko dan Kristiyanto, 2008)


KESIMPULAN

Manusia adalah bagian dari alam. Panca indera manusia dalam menilai alam belum tentu sama dengan dengan pendapat makhluk hidup yang ada di alam ini, karena manusia dibatasi oleh pengetahuannya, dan oleh skala ruang serta waktu. Pemahaman manusia tentang alam banyak dibantu oleh teknologi, sehingga dapat berdampak baik dan dapat pula berdampak buruk. Perilaku manusia terutama moralitasnya memegang peran penting dalam menserasikan dan melestarikan lingkungan di alam. Intelektualitas dan emosional perlu selalu diperbaiki untuk menuju perubahan dan perkembangan Etika berlingkungan yang baik dan benar. 


DAFTAR PUSTAKA
  • Andi M. A. dan Syarifuddin, 2007. Mengungkap Kearifan Lingkungan Sulawesi Selatan. PPLH Regional Sulawesi, Maluku dan Papua, Kementerian Negara Lingkungan Hidup RI dan Masagena Press, Makasar
  • Dharmawan, A. H. 2007. Dinamika Sosio-Ekologi Pedesaan: Perspektif dan Pertautan Keilmuan Ekologi Manusia, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia | April 2007, p 1-40
  • Odum, U. P. 1983. Basic Ecology. Japan, Holt Saunders
  • Riberu, P. 2002. Pembelajaran Ekologi. Jurnal Pendidikan Penabur - No.01 / Th.I / Maret 2002
  • Ritohardoyo, Su. 2006. Bahan Ajar Ekologi Manusia. Program Studi Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, UGM, Yogyakarta
  • Senoaji, G. 2003. Kearifan Lokal Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan dan Lingkunyannya, Tesis S 2 Ilmu Kehutanan, UGM, Yogyakarta.
  • Soerjani, M; Rofiq Ahmad dan Rozy Munir, 1987. Lingkungan: Sumberdaya Alam Dan Kependudukan Dalam Pembangunan, UI Press, Jakarta.
  • Sunarko dan Kristiyanto, E, 2008. Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi : Tinjauan Teologis atas Lingkungan Hidup. Kanisius, Yogyakarta.
  • Suhartini, 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA,Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 16 Mei 2009
  • Thompson GF, FR Stainer. 1997. Ecological Design and Planning. J Wiley. New York. hlm 1-21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar